BincangMuslimah.Com – Sepekan terakhir, polemik tentang hukum musik kembali ramai diperbincangkan di media sosial. Dalam memandang musik ini pun ada perbedaan pendapat. Ragam pandangan ini sebenarnya telah ada bahkan di generasi awal Islam. Ada sahabat dan tabi’in yang memperbolehkan musik dan nyanyian, tetapi juga ada yang menganggap makruh bahkan mengharamkan dengan disertai alasan.
Adanya perbedaan pendapat di kalangan para ulama sejak zaman dahulu menunjukkan bahwa masalah musik dan lagu sebenarnya tidak terdapat dalil qath’i yang secara pasti dan tegas dari Alquran, hadis, maupun ijma’ ulama tentang pengharamannya secara mutlak.
Adapun pendapat ulama yang mengharamkan musik disebabkan ada alasan yang melatar belakanginya. Seperti keterangan Imam al-Ghazali dalam kitab Ihya ‘Ulumuddin pada bab Sima’ wa al-Wajd yang menyatakan bahwa pengharaman musik ini bukan pada musik atau alatnya, melainkan karena ada “sesuatu yang lain”, seperti kemaksiatan yang identik diiringi dengan musik.
Sedangkan ulama yang berpendapat bahwa hukum musik dan lagu itu boleh, seperti Ibnun Nahwi di dalam kitab Al ‘Umdah menyampaikan bahwa menyanyi dan mendengarkannya itu telah diriwayatkan dari sejumlah para sahabat dan tabi’in. Sementara Syekh Yusuf al-Qardhawi dalam kitab Nailul Authar mengutip Imam Syaukani menyampaikan banyak ulama yang berpendapat sama dengannya.
Di antara sahabat yang memperbolehkan musik ialah Zaid bin Tsabit. Zaid pernah mengadakan pesta di rumahnya dimana ia mengundang kaum Muhajirin dan Anshar, termasuk Hassan bin Tsabit, dan penyanyi Azza al-Mayla datang dengan membawa kecapi dan menyanyikan sebuah puisi karya Hassan bin Tsabit.
Riwayat lain oleh Ibnu Hazm dengan rangkaian sanad yang shahih menyampaikan bahwa Abdullah bin Umar bin al-Khattab mendengar nyanyian dengan iringan ‘aud (kecapi) bersama Abdullah bin Ja’far. Abdullah bin Ja’far ini terkenal sebagai sahabat Nabi yang suka mendengarkan nyanyian dengan menggunakan musik.
Di lain waktu, Abdullah bin Umar bin al-Khattab ketika sedang bertamu di rumah Abdullah bin Al-Zubair ia menemukan kecapi, dan berkata: Ini adalah timbangan syami. Ibnu Zaghdan mengutip perkataannya bahwa ia diperbolehkan memainkan kecapi.
Riwayat lain datang dari Ibnu Qutaybah dan Imam al-Mawardi menyampaikan bahwa Muawiyah bin Abi Sufyan bersama Amr bin al-Ash suatu waktu mendatangi rumah Abdullah bin Ja’far bin Abi Thalib. Mereka mendengar seorang budak perempuan bernyanyi sambil memainkan ‘aud. Lalu, Amr bin Ash bertanya, “Apa yang sedang kau nikmati?” Mu’awiyah menjawab: “Wahai Amr, sesungguhnya orang mulia sedang bernyanyi.”
Beberapa sahabat Nabi yang lain yang mendengarkan nyanyian di antaranya adalah Abdullah bin Zubair sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Thalib Al Makki, Abdullah Hamzah bin Abdul Muthalib, kisahnya ada dalam Ash-Shahihain. Barra bin Malik yang diriwayatkan oleh al Hafizh Abu Nu’aim, Abdullah bin Amr yang diriwayatkan oleh Zubair bin Bakr dalam kitab al Mawfiqiyyat, dan masih banyak atsar yang menceritakan bahwa para sahabat suka memainkan musik dan mendengarkan lagu.
Sebagaimana disampaikan Imam asy-Syaukani dalam kitab Nailul Authar bahwa penduduk Madinah dan orang-orang yang memperbolehkan musik dari kalangan ulama ahli dzhahir dan sejumlah ahli tasawwuf berpendapat memperbolehkan nyanyian bersamaan dengan ‘aud dan seruling.
Sementara dari kalangan tabi’in memperbolehkan musik ada Khalid bin Dhakwan, salah satu tabi’in yang dapat dipercaya. Diriwayatkan dari Ibnu Majah sanad yang shahih dari Khalid bin Dhakwan berkata, “Kami berada di Madinah pada hari Asyura, dan para budak perempuan sedang bermain rebana dan bernyanyi.”
Berikutnya ada Syuraih al-Qadhi. Dikatakan oleh Abu Mansur al-Baghdadi bahwa Hakim Syuraih biasa merumuskan melodi dan mendengarnya dari qinat dengan keagungan dan statusnya yang agung. Imam al-Ghazali juga menyampaikan hal yang sama bahwa dia biasa mendengarkan nyanyian dan memainkan melodi.
Dari kalangan tabi’it tabi’in yang membolehkan lagu dan musik lebih banyak lagi. Beberapa diantaranya Sa’ad bin Musayyab, Kharijah bin Zaid, Said bin Jubair, ‘Amir Asy-Sya’bi, Abdullah bin Abi Atiq, ‘Atha’ bin Rabah, Umar bin Abdul ‘Aziz, dan Sa’ad bin Ibrahim Az-Zuhri.
Demikian beberapa riwayat yang menyebutkan bahwa ulama terdahulu seperti sahabat dan tabi’in yang memperbolehkan musik. Mengenai perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang pemaknaan dan hukum musik jangan sampai dijadikan sebagai alat untuk berpecah belah. Namun ini sejatinya bisa diambil pelajaran bagaimana seharusnya kita memilah dan memilih musik, nyanyian mana yang berpotensi melalaikan atau yang bisa mengantarkan kepada kebaikan.[]