BincangMuslimah.Com – Perempuan rentan menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Baik penganiayaan dan kekerasan seksual secara fisik atau verbal. Meski tidak dapat terbantahkan pula laki-laki pun pernah menjadi korban kekerasan secara fisik dan seksual, namun angka perempuan lebih dominan.
Angka kekerasan pada perempuan terus saja menanjak tiap tahunnya. Dalam lima tahun terakhir, catatan tahunan (Catahu) dari Komisi Nasional (Komnas) Perempuan mengungkapkan kasus ada sebanyak 431.471 kasus kekerasan. Sekitar 421.752 kasus berbentuk perdata yang diproses oleh Pengadilan Agama.
Sisanya yaitu sekitar 14.719 kasus ditangani oleh lembaga mitra dan 1.419 kasus dari Unit Pelayanan dan Rujukan (UPR). Kedua lembaga ini merupakan unit yang dibentuk oleh Komnas Perempuan sebagai tempat penyedia penanganan kekerasan. Korban bisa melakukan pengaduan dengan menelepon atau mendatangi secara langsung.
Setidaknya sepanjang tahun 2019 ada 239 lembar formulir pengaduan yang masuk ke Komnas Perempuan. Angka di atas adalah sekitar 35% dari formulir yang disebarkan ke lembaga atau unit pengaduan yang bekerjasama dengan Komnas Perempuan.
Selain itu masa pandemik nyatanya juga tidak menyurutkan kasus kekerasan. Sedikitnya ada 97 laporan pengaduan kasus kekerasan perempuan dari Lembaga Bantuan Hukum APIK Jakarta. Dilansir dari CNN Indonesia, dari 97 kasus kekerasan pada perempuan, 33 kasus di antaranya merupakan KDRT. Sedangkan 30 kasus lainnya adalah kekerasan gender berbasis daring, 8 pelecehan seksual dan 7 lainnya merupakan kekerasan dalam berhubungan.
Perempuan cenderung menjadi korban kekerasan. Menurut survei yang dilakukan oleh Kementerian Pemberdayaan dan Perlindungan Anak (KPPA) menyatakan bahwa satu dari tiga perempuan di Indonesia pernah mengalami kekerasan (fisik atau pun seksual). Dan itu berada di rentang usia 15-64 tahun.
Kenapa perempuan rentan menjadi korban? Menurut Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) di tahun 2016 mengungkapkan ada beberapa faktor yang menyebabkan kekerasan pada perempuan. Pertama adalah dari perempuan itu sendiri. Adanya diskriminasi gender atau struktur perilaku dominan dalam gender membuat korban menjadi pasrah dan takut untuk bertindak berani.
Sebagian besar perempuan juga kurang mendapatkan pemahaman sejak dini jenis terkait bentuk dari kekerasan itu sendiri. Sehingga ketika dewasa, korban yang mengalami kekerasan secara verbal maupun fisik, ragu dalam mengidentifikasi apa yang telah terjadi pada dirinya. Sebagian perempuan bahkan tidak menahu jika yang dilakukan pelaku adalah bentuk kekerasan dan merasa yang dilakukan pelaku adalah benar. Dengan dalih memberi hukuman.
Di sisi lain, Ketua Sub Komisi Pemulihan Komnas Perempuan, Sri Nurherwati mengungkapkan jika adanya pola pendidikan relasi antara perempuan dan laki-laki. Sri Nurherwati melihat adanya ketidaksetaraan. Situasi ini lah yang dimamfaatkan oleh relasi yang memiliki kekuasaan, semisal laki-laki.
Faktor kedua adalah ekonomi. Perempuan yang berada di dalam rumah tangga dengan tingkat kesejahteraan yang rendah berpotensi lebih besar mendapatkan kekerasan. Setelahnya ada faktor sosial dan budaya, dimana stigma memegang peranan penting. Dalam rumah tangga seringkali ada pandangan jika laki-laki punya kuasa penuh atas istri atau posisi perempuan berada di bawah laki-laki sehingga. Tak jarang kekerasan terjadi karena stigma tersebut.
Padahal Islam sama sekali tidak membenarkan segala bentuk kekerasan atau penghinaan terhadap manusia lain. Entah itu diskriminasi yang memicu terjadinya penganiayaan karena gender, kulit, agama, ras dan suku bangsa. Ini juga tercantum di dalam Al-Quran yaitu QS. Al-Hujarat (49:11):
“Hai orang-orang beriman, janganlah suatu kaum menghina kaum yang lain, karena boleh jadi mereka dihina justru lebih baik dari mereka yang menghina. Dan janganlah kaum perempuan menghina kaum perempuan yang lain, karena boleh jadi kaum perempuan yang dihina justru lebih baik dari kaum perempuan yang menghina..” (QS. Al-Hujarat (49:11)
Dari ayat di atas jelas sudah bahwa Allah sungguh melarang seseorang untuk memandang rendah orang lain. Bahkan sampai melakukan tindak keji seperti kekerasan.