BincangMuslimah.Com- Pernikahan dini merupakan pembahasan yang tidak pernah ada habisnya. Beberapa masyarakat juga mewajarkan, bahkan ada yang tetap melegalkan hal tersebut. Meskipun pemerintah sudah mewanti-wanti dengan memberi batas minimum usia pernikahan, sebagaimana dengan UU No. 16 Tahun 2019, bahwa batas minimal umur pernikahan adalah 19 tahun baik laki-laki maupun perempuan.
Namun, dalam realitanya, masih banyak yang melakukan pernikahan dini (pernikahan di bawah umur yang sesuai peraturan pemerintah), baik diperkotaan maupun pedalaman. Menurut data dari Kementrian PPN/Bappenas per 2020 menyatakan pernikahan usia dini masih banyak terjadi mencapai 11,21% dari anal Indonesia, atau 1 dari 9 perempuan menikah di bawah 18 tahun, kemudian 1 dari 100 laki-laki menikah di bawah usia 18 tahun. Tingginya angka pernikahan dini inilah yang masih disoroti sampai sekarang.
Faktor Penyebab Pernikahan Dini
Ada beberapa faktor yang menjadi alasan untuk menikah di usia dini, ekonomi yang sulit, daerah pedesaan yang jauh akan pendidikan dan agama. Dalam tulisan ini akan membahas faktor agama.
Seperti yang kita ketahui, salah satu alasan yang sering masyarakat awam gunakan adalah alasan agama. Mereka beranggapan bahwa pernikahan dini di usia belia adalah sunnah Nabi. Sebagaimana Sayyidah Aisyah menikah dengan Nabi di usia sangat belia, yakni di usia 9 tahun. Hal ini yang menjadi sebagai alibi untuk tujuan melegalkan menikah di usia muda. Melihat fenomena ini, ada beberapa hal yang harus di garis bawahi.
Pertama, Tidak bisa menyamakan Nabi dengan manusia lainnya. Maksud dari kalimat tersebut adalah, Nabi tentunya mendapat kepercayaan dari Allah yang mengemban tanggung jawab sebagai makhluk sempurna di bumi. Berbeda dengan manusia pada umumnya yang belum bisa mengimbangi akhlak maupun ibadah Nabi. Maka dari itu, Manusia belum bisa menyamakan adilnya Nabi terhadap istrinya, karena Nabi pun menjalankan pernikahan atas seizin Allah.
Menurut Abi Quraisy Syihab, ketika seseorang ingin menyamakan diri dengan Nabi dalam pernikahan (poligami) dan menganggap ia mampu berbuat adil sebagaimana dengan Nabi, maka bisa mengkategorikan orang tersebut sebagai seseorang yang sombong. Karena ia berani menyamakan diri dengan Nabi. Padahal, masih ada banyak ibadah yang menjadi rujukan selain menikah.
Menikah Bukan Solusi Pencegahan Zina
Kedua, menikah dengan siap mental dan finansial. Dua hal tersebut adalah hal yang paling dasar ketika seseorang menikah. Siap mental bukan hanya melihat dari segi umurnya, akan tetapi kesiapan ini lebih kompeks cakupannya. Bagaimana seseorang harus meredam ego dan keinginannya ketika menikah, atau siap untuk meninggalkan kesibukan maupun hobinya ketika menikah. Maka dari itu, perlu menggarisbawahi kesiapan secara mental.
Kemudian siap secara finansial. Fenomena tersebut sudah banyak yang menjadi korban dari ketidaksiapan finansial. Di beberapa fenomena, banyak kasus KDRT yang meregang nyawa karena banyak dari mereka yang terlilit hutang maupun pinjol. Maka dari itu, finanasial dalam pernikahan juga menjadi poin yang tidak bisa luput.
Ketiga, menurut Abi Quraisy, bahwa tidak bisa mengobati zina dengan hanya menikah. Jalan untuk mengobati penyakit zina ada beberapa macam. Di dalam hadis salah satu perbuatan untuk mengobati adalah dengan berpuasa. Karena, dengan berpuasa menjadi salah satu jalan untuk menahan syahwat seseorang. Selain bernilai ibadah, puasa juga menjadi solusi mejaga syahwat, karena, yang menjadi kekhawatiran adalah menikah hanya sebagai pemuas nafsu.
Demikian adalah poin-poin yang harus diperhatikan terhadap pernikahan dini. Karena, pernikahan bukanlah satu-satuya solusi mencegah zina. Karena kita perlu menyuarakan pernikahan indah dan beribadah sesuai dengan kemampuan kita.
3 Comments