BincangMuslimah.Com – Patriarki adalah sebuah sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai pemegang kekuasaan utama dan mendominasi dalam peran kepemimpinan politik, otoritas moral, hak sosial dan penguasaan properti. Mereka yang menganut sistem ini tidak jarang menggunakan dalih keagamaan. Serta memberi interpretasi terhadap teks-interpretasi yang lahir dari kesan atau pandangan lama ketika perempuan masih dilecehkan oleh dunia masa lalu.
Sebaliknya, mengutip Quraish Shihab dalam buku Perempuan, mereka yang memberi hak-hak yang melebihi kodrat mereka tidak jarang juga mengalami pembiasan tafsir ketika berhadapan dengan teks-teks keagamaan dengan menggunakan logika baru yang keliru lagi tidak sejalan dengan teks, jiwa dan tuntunan agama.
Sistem Patriarki Dalam Teks-Teks Hadis
Beberapa interpretasi terhadap ayat Al-Qur’an dan teks-teks Hadis dinilai melahirkan sistem patriarki yang merupakan produk budaya masa lalu. Ada pandangan yang menyatakan bahwa perempuan dilarang ke masjid. Pandangan ini salah satunya bersumber dari Hadis yang diriwayatkan Aisyah, Rasulullah bersabda;
وَصَلَاتُكِ فِي بَيْتِكَ خَيْرٌ مِنْ صَلَاتِكِ فِي حُجْرَتِكِ، وَصَلَاتُكِ فِي حُجْرَتِكِ خَيْرٌ مِنْ صَلَاتِكِ فِي دَارِكِ، وَصَلَاتُكِ فِي دَارِكِ خَيْرٌ مِنْ صَلَاتِكِ فِي مَسْجِدِ قَوْمِكِ، وَصَلَاتُكِ فِي مَسْجِدِ قَوْمِكِ خَيْرٌ مِنْ صَلَاتِكِ فِي مَسْجِدِ
“Shalatmu (perempuan) di bilikmu lebih baik daripada shalatmu di kamarmu. dan shalatmu di kamarmu lebih baik daripada shalatmu di rumahmu, dan shalatmu di rumahmu lebih baik daripada shalatmu di masjid kaummy dan shalat di masjid kaummu itu lebih baik daripada shalat di masjidku” (HR. Ibnu Hibban)
Menurut Muhammad Ibn Sa’id Ibn Habib dalam kitab Al-Mudawwanah Al-Kubrā, hadis di atas menunjukkan bahwa perempuan lebih baik salat di rumah dari pada di masjid. Padahal Hadis Aisyah di atas, merupakan bagian dari sadd dharī’ah, Karena waktu itu perempuan enteng terhadap batasan-batasan syariat dalam ziarah masjid.
Dan tokoh-tokoh ulama fikih di Madinah dan selain Madinah –sepanjang perjalanan sejarah- tidak pernah berpandangan bahwa larangan Aisyah tersebut mengubah hukum asal.
Imam Madinah, yakni Malik (Sebentar setelah masa Aisyah) berkata: ketika ia ditanya tentang larangan perempuan pergi ke masjid, ia menjawab : “perempuan tidak dilarang datang (keluar) ke masjid”.
Dalam Fath al-Bārī, Ibnu Hajar berkata bahwa sebagian ulama berpegangan pada perkataan Aisyah dalam melarang perempuan secara mutlak.
Perbedaan Pendapat
Sementara sebagaimana termaktub dalam Al-Mahalli bi al-athar, Auda juga mengutip perkataan Ibn Hazm yang berkomentar tentang Hadis tersebut, bahwa Hadis tersebut tertentu untuk sebagian perempuan saja. Maka mustahil melarang kebaikan pada orang yang tak pernah melakukan hal yang sama dengan perempuan yang dimaksud dalam Hadis tersebut.
Selain Ibnu Hazm, Auda juga mengutip perkataan Ibnu Qudamah dalam al-Mughni, bahwa sunah rasul lebih berhak untuk diikuti, sedangkan perkataan Aisyah hanya tertentu pada perempuan tertentu pada waktu itu, bukan lainnya.
Terdapat pula pandangan bahwa lewatnya perempuan di depan laki-laki yang sedang salat dapat memutus salatnya bahkan ada yang menduga kuat laki-laki tersebut harus mengulangi salatnya. Pandangan tersebut tentu pembiasan tafsir dan menyalahi makna mutawatir tentang masjid rasul. Dalam sebuah riwayat terdapat Hadis dari beberapa Hadis sahih yang diriwayatkan Abi Hurairah dan Abi Dzar bahwa Nabi bersabda; perempuan, anjing dan keledai dapat memutus salat seseorang.
Akan tetapi riwayat-riwayat Hadis tersebut bertentangan dengan riwayat Hadis lain. Bahkan Abu Hurairah sendiri pernah meriwayatkan Hadis dari Nabi Muhammad; bahwa perempuan, anjing maupun keledai tidak memutus salat. Tapi keabsahan Hadis tersebut tidak terbukti. Hal ini disinggung oleh Jasser Auda dalam kitabnya yang berjudul As’ilah Haula al-Mar’ah wa al-Masjid.
Hadis-Hadis Misoginis
Selain contoh di atas, terdapat pula beberapa hadis mesoginis yang terkesan menyudutkan kedudukan perempuan. Misalnya:
خَالِفُواالنِّسَاءَ فَاِنَّ فِيْ خِلَافِهِنَّ بَرَكَةً
“Berbeda pendapatlah dengan perempuan karena dalam berbeda dengan mereka terdapat keberkahan” (HR. Al-Askari melalui Umar ra.)
Ada lagi riwayat yang menyatakan:
طَاعَةُ النِّسَاءِ نَدَامَةٌ
“Menaati saran perempuan akan berujung penyesalan” (HR. Al-Ajluni)
Bahkan ada riwayat yang menyatakan:
أَعْدَى عَدُوِّكَ زَوْجَتُكَ الَّتِيْ تُضَاجِعُكَ
“Musuhmu yang paling utama adalah istrimu yang sepembaringan denganmu” (HR. Ad-Dailami melalui Abu Malik al-Asyari)
Riwayat di atas (dan semacamnya) sangat lemah baik dari segi sanad lebih-lebih dari segi matan. Bukankah Nabi Muhammad sendiri sering mengajak istri-istri beliau untuk berdiskusi? Bukankah Khadijah yang memberikan saran pada Nabi perihal wahyu pertama beliau?
Beliau juga menerima saran istri beliau yang lain-Ummu Salamah ra.- ketika beliau gundah. Melihat sikap sementara sahabat yang enggan bertahallul setelah perjanjian Hudaibiyah?
Riwayat terakhir yang mengatakan bahwa istri adalah musuh utama bagi suami. Hal ini tentu pembiasan tafsir dan tidak selaras dengan perintah Allah dan sunah Rasul untuk menikah. Lalu apa guna menikah apabila tidak menjadikan istri musuh? Padahal dalam Al-Qur’an Allah telah menjelaskan bahwa syariat pernikahan agar tercapai sakinah/ketenangan lahir dan batin (Lihat Al-Rum ayat 21). Dan masih terdapat literatur agama lainnya yang melahirkan sikap-sikap yang menyudutkan perempuan ataupun menjadikan perempuan sebagai makhluk dunia kelas bawah.
Dari beberapa kajian di atas maka dalam memahami literatur-literatur agama perlu interpretasi yang berlandas pada dalil-dalil sahih. Juga kesahihan sanad dalam suatu riwayat dan memperhatikan latarbelakang sosial-budaya ayat maupun hadis itu ketika turun. Serta tak kalah penting untuk mengutamakan maqashid syariah atau tujuan-tujuan utama dalam pensyariatan agama. Hal ini merupakan pondasi dasar dalam menginterpretasi suatu dalil.[]