BincangMuslimah.Com – Dalam masa jahiliyah perempuan digambarkan begitu tak berarti dan selalu diberdayai oleh dominasi laki-laki. Perempuan juga menjadi sasaran pelecehan dan tindak kekerasan. Tetapi kondisi dan situasi menjadi berbalik ketika Islam datang dan menganggap perempuan merupakan bagian penting dari suatu masyarakat beradab dan berkemanusiaan yang ingin digapai dan Islam itu sendiri.
Bahkan ketika nabi ditanya oleh para sahabat tentang siapakah orang pertama yang harus dihormati, maka nabi menjawab “ibumu, ibumu,ibumu”, sebanyak tiga kali setelah itu baru bapakmu. Bahkan untuk kapan penghormatan nan indah dan mulia itu tidak hanya berhenti sampai disana, seperti dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, bahwa surga berada dibawah telapak kaki ibu. Hal ini jelas menunjukkan bahwa Islam ingin mengangkat derajat dan posisi sosial mereka yang diabaikan pada masa jahiliyah.
Dalam perkembangannya, Islam jelas menyadari dan meyakini bahwa Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab sebagai petunjuk dan arahan yang sempurna bagi mereka agar mereka berpikir. Mengenai perempuan terjadi penafsiran-penafsiran yang berkembang dari awal turunnya al-Qur’an hingga masuknya ke dalam dunia modern. Terdapat tiga tafsir yang berkembang seiring bergulirnya zaman.
- Analisis Tafsir tentang Perempuan dalam Pandangan Ath-Thabari (periode tafsir klasik)
Dalam kitab “Jami’ al-Bayan an Ta’wili al-Qur’an” yang ditulis oleh Thobari merupakan kitab tafsir pertama yang secara sempurna mengkaji tentang tafsir perempuan. Dalam tafsir ini Ath-Thabari secara eksplisit dan telah berusaha untuk menafsirkan ayat-ayat perempuan dengan menggunakan bantuan penjelas dari ayat-ayat lain dan hadis lainnya.
Metode yang dipakai dalam menafsirkan perempuan adalah metode kalasik tradisional, karena Ath-Thabari menafsirkan ayat-ayat perempuan tersebut secara setara, atomistik dan parsial. Namun dalam menafsirkannya beliau kurang mengaitkannya denga kondisi dan situasi yang ada. Hal ini dapat dilihat dari penafsiran beliau mengenai surat al-Baqarah ayat 34 yang berbunyi:
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena itu Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita) dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka, sebab itu maka wanita yang sholeh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara mereka. …”
Dalam Jami’ al-Bayan an Ta’wili al-Qur’an, menurut Ath-Thabari, ayat di atas berkaitan dengan aturan hubungan suami istri. Ayat ini bermakna memberikan sebuah legislasi kepada kaum laki-laki bahwa mereka memilki otoritas yang lebih dari perempuan dalam urusan rumah tangganya, termasuk mendidik sang istri untuk taat kepadanya. Ketundukan seorang istri kepada suaminya dilakukan karena adanya relasi pernikahan.
- Analisis Tafsir tentang Perempuan dalam Pandangan Abduh (Periode Tafsir Modern)
Dalam Al-Amalwa At-Thalab al-Magd, Abduh memandang pesan Al-Qur’an merupakan cita-cita tertinggi yang harus dicapai oleh umat Islam. Hal ini dapat dilihat dari pandangannya dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan poligami. Pada surat An-Nisa’ ayat 3 dijelaskan bahwa :
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap hak-hak perempuan yang yatim (bilakamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita lain yang kamu senangi, dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka kawinilah seorang saja atau budak-budak yang kamu miliki yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”
Dalam ayat ini, Abduh memberikan komentarnya dengan mengatakan bahwa poligami membawa manfaat pada periode awal Islam karena dengan poligami itu mempererat pertalian darah antar mereka, sehingga rasa solidaritas kesukuan menjadi bertambah kuat. Poligami pada saat itu juga tidak membawa kemudharatan dan persaingan antara istri dan anak. Lain halnya pada zaman sekarang, poligami akan membawa kemudharatan baik kepada istri-istri maupun anak-anak.
Disini Abduh terlihat lebih menonjolkan pesan al-Qur’an dalam makna literal yang dikandungnya termasuk penafsir pertama yang mencoba memahami ayat-ayat perempuan secara modern. Dalam penafsiran ayat di atas mengisyaratkan adanya perlindungan secara berkesinambungan bagi hak-hak setiap perempuan untuk tetap dilindungi dan dijaga sesuai dengan kapasitasnya sebagai istri maupun posisinya dalam ranah domestik dan ranah publik.
- Analisis Tafsir tentang Perempuan dalam Pandangan menurut Fazlurrahman (Periode Tafsir Neo Modernis)
Dalam Islam and Modernity, Fazlurrahman berpandangan pegetahuan yang objektif tentang masa lalu bisa diketahui melalui penalaran terhadap sistem nilai al-Qur’an secara historis yang dinamakan “dimensi transendental”. Kemudian sistem nilai ini ditransformasikan ke dalam konstektual. Menurut Rahman, penafsiran masa lalu, baik hukum, teologi maupun filsafat sangat dibatasi oleh waktu dan tempat.
Maka dari itu Rahman melihat pentingnya membuat model teoritis yang membedakan antara makna “lierar” al-Qur’an yang berupa ulasan ratinis legis, yang berada di balik hukum. Menurutnya al-Qur’an adalah respon suci (wahyu), melalui pikiran Nabi, terhadap situasi sosial dan moral masyarakat Arab. Untuk mengaplikasikan kebenaran wahyu ini di sepanjang zaman, termasuk sekarang perlu dilakukan interpretasi dalam bentuk “double movement” dari situasi sosial dan moral masyarakat Arab.
Menurutnya, kesalahan tradisi hukum umat Islam adalah menganggap al-Qur’an sebagai buku hukum dan bukan sumber hukum keagamaan. Bagi Rahman, “rationes legis” yang dituju al-Qur’an lebih penting daripada ketentuan legal spesifiknya. Untuk itu berpendapat, ”jika hukum bertentangan dengan akal maka hukum harus diubah. “Misalnya dalam memahami al-Qur’an surat 4:34, yang mengatakan bahwa laki-laki lebih unggul atas perempuan, menurut Rahman ayat ini tidak bersifat mutlak melainkan bersifat fungsional.
Artinya, jika wanita secara ekonomis telah mampu mencukupi dirinya sendiri dan dapat mencukupi kebutuhan rumah tangganya, maka superioritas laki-laki atas perempuan akan berkurang, sehingga ia tidak merasa superior lagi atas istrinya.