BincangMuslimah.Com – Undang-Undang (UU) Cipta kerja yang sudah disahkan pada 5 Oktober 2020, menuai banyak kontroversi. UU ini dinilai cacat formil, karena pembentukannya tidak melibatkan publik serta dikerjaan dengan sistem kebut semalam. Publik pun susah untuk mengakses draft final UU ini bahkan kabarnya masih belum ada. Namun, anehnya DPR dan pemerintah bisa mengesahkan RUU ini.
Terlepas dari itu semua, penulis ingin membahas terkait penyebutan hak cuti haid yang tidak lagi ada dalam UU Cipta kerja. Dalam UU ada beberapa hak cuti khusus yang tidak lagi tertulis, seperti pada UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
UU Ketenagakerjaan sudah sangat jelas mengatur hak cuti haid, cuti melahirkan, dan cuti keguguran bagi perempuan. Dalam Pasal 81 ayat (1) menyebutkan bahwa buruh perempuan yang dalam masa haid merasakan sakit dan memberitahukan kepada pengusaha, tidak wajib bekerja pada hari pertama dan kedua pada waktu haid.
Pasal 82 menyebutkan buruh perempuan berhak memperoleh istirahat selama 1,5 (satu setengah) bulan sebelum saatnya melahirkan anak dan 1,5 bulan sesudah melahirkan menurut perhitungan dokter kandungan atau bidan. Kemudian, juga buruh perempuan yang mengalami keguguran kandungan berhak memperoleh istirahat 1,5 bulan atau sesuai dengan surat keterangan dokter kandungan atau bidan.
Ketidakhadiran perempuan di tempat kerja karena sakit saat haid, melahirkan dan mengalami keguguran ini tetap mendapatkan upah, di Pasal 93 ayat (2) UU Ketenagakerajaan sudah menjamin hal ini. Bagi perusahaan yang tidak melaksanakan aturan tersebut akan mendapat sanksi pidana. Meski begitu tetap saja beberapa perusahaan tidak memberikan hak cuti bagi buruh perempuan.
Cuti haid bertujuan agar perempuan yang merasakan kesakitan yang luar biasa ketika haid untuk beristirahat dan berada di rumah, tanpa harus memberikan surat dokter. Indonesia sebenarnya termasuk dalam negara yang sangat progresif terkait pengaturan hak cuti haid.
Hanya terdapat lima negara yang dengan tegas menyebutkan dalam undang-undang terkait cuti haid bagi pekerja perempuan, yakni Jepang, Indonesia, Korea Selatan, Taiwan, dan Zambia. Hak cuti haid sudah disebutkan sejak lama dalam UU No. 12 Tahun 1948, yang kemudian dikukuhkan dalam UU No. 1 Tahun 1951 tentang ketenagakerjaan.
Maka sangat prihatin bahwa dalam draft UU Cipta kerja ini tidak lagi menyebutkan hak cuti haid, melahirkan, dan mengalami keguguran bagi buruh perempuan. Dengan tidak menyebutkan secara tegas dalam pasal hal ini dapat mengaburkan makna cuti haid sendiri bagi buruh perempuan. Padahal implementasi dilapangan kerja untuk mendapatkan hak cuti haid, melahirkan, dan mengalami keguguran buruh perempuan sangatlah sulit.
Pencapaian pemberian hak cuti bagi buruh perempuan ini tidak lepas dari perjuangan Marsinah, aktivis perempuann yang lantang menyuarakan hak-hak buruh perempuan dan terbunuh pada tahun 1993. Sebagai penghormatan bagi perjuangan buruh perempuan yang sudah memperjuangkan hak-hak pekerja perempuan, sudah semestinya kita menolak UU Cipta Kerja ini.
Bagaimana bisa UU yang baru bisa menghapuskan kebijakan yang sudah baik, bukan malah membuat kemajuan ataupun mempertahankan apa yang sudah baik. Seharusnya perusahaan, dan pabrik-pabrik saat ini mendukung hak-hak perempuan sebagai pekerja selain memberikan hak cuti juga menunjang dengan memberikan fasilitas yang ramah terhadap perempuan.
Salah satunya dengan menyediakan pembalut di toilet perempuan, juga memberikan ruangan khusus laktasi bagi ibu yang sedang menuyusui. Selain itu memberikan waktu yang fleksibel bagi buruh perempuan untuk menganti pembalut dan mempermudah pengambilan hak cuti haid di perusahaan.
Bahkan seharusnya siswa dan mahasiswa perempuan mendapat hak cuti haid ini. Jadi pelajar dan mahasiswa yang merasakan sakit haid di hari pertama dan kedua tidak usah mengajukan izin sakit dengan menunjukan surat dokter.
Ketika UU Cipta Kerja ini sudah sah, maka buruh perempuan menjadi elemen yang sangat terdampak dan rugi. Jadi ketimbang mensahkan peraturan yang tidak ramah terhadap perempuan maka sebaiknya pemerintah segera mensahkan RUU Penghapusan Kekerasan Perempuan yang saat ini malah terdegradasi dari agenda prolegnas 2020 dan RUU Pekerja Rumah Tangga yang sampai saat ini masih terabaikan.
1 Comment