BincangMuslimah.Com – Setiap bulan perempuan biasanya mengalami menstruasi atau haid. Namun, terkadang darah yang keluar tidak sesuai dengan kebiasaan siklus haid; keluar darah lebih dari 15 hari, bahkan sampai sebulan penuh. Pengalaman ini adalah salah satu potret istihadhah.
Baik haid maupun istihadhah memiliki fenomena yang sama, ada darah yang keluar dari vagina. Namun, apakah ketentuan hukum Islamnya juga sama? Apakah larangan bagi perempuan istihadhah sama dengan larangan bagi perempuan haid? Mari simak jawabannya dari artikel singkat ini.
Pengertian Istihadhah
Istihadhah adalah darah yang keluar dari kemaluan wanita dan tidak memenuhi syarat-syarat darah haid dan nifas.
Hadis yang menjadi dasar tentang ketentuan istihadhah adalah hadis shahih yang menceritakan tentang Fathimah binti Abu Hubaisy bahwa dirinya pernah mengalami istihadhah. Rasulullah saw bersabda kepadanya;
إِذَا كَانَ دَمُ الْحَيْضِ فَإنَّهُ أَسْوَدُ يُعْرَفُ فَإذَا كَانَ ذَلِكَ فَأَمْسِكِي عَنِ الصَّلَاةِ فَإِذَا كَانَ الآخَرُ فَتَوَضَّئِي وَصَلِّي فَإنَّمَا هُوَ عِرْقٌ
Artinya: “Jika darah tersebut adalah darah haid, maka warnanya adalah kehitam-hitaman sebagaimana telah diketahui. Jika ciri darahnya seperti itu maka tinggalkanlah shalat. Namun jika cirinya lain maka berwudhulah lalu kerjakanlah shalat; sebab darah tersebut tiada lain darah yang keluar dari urat (lantaran adanya gangguan).” (HR. Abu Dawud)
Apa Saja Larangan bagi Perempuan Istihadhah?
Tidak ada larangan bagi perempuan istihadhah seperti larangan yang ditujukan bagi perempuan haid. Perempuan istihadhah tetap wajib melaksanakan shalat dan puasa. Ia juga boleh thawaf, membaca Alquran dan membawanya. Begitu juga dengan berhubungan badan suami istri, boleh meskipun alangkah lebih baiknya dengan alasan kesehatan.
Tidak ada larangan ini bukan tanpa alasan. Hakikatnya, perempuan istihadhah termasuk kategori daimul hadas, selalu dalam keadaan hadas. Keadaan ini memberi konsekuensi hukum seseorang sama dengan orang suci.
Meskipun demikian, ada beberapa catatan bagi perempuan istihadhah ketika melaksanakan ibadahnya, seperti wudhu dan shalat.
Niat wudhu biasanya menggunakan kata ‘lirof’il hadatsi’ untuk menghilangkan hadas. Padahal, wudhu dalam keadaan istihadhah tidak menghilangkan hadas pada perempuan istihadhah. Maka, wudhunya bisa diganti dengan redaksi,
نَوَيْتُ الْوُضُوْءَ لاسْتِبَاحَةِ الضَّلَأةِ لِلَّهِ تَعَالَى
Artinya: “Saya niat wudhu agar diperbolehkannya shalat fardhu karena Allah Ta’ala”
Wudhu ini juga berlaku hanya untuk satu kali shalat fardhu dan beberapa shalat sunnah.
Begitu juga dalam ibadah shalat. Sebelum shalat, ia berwudhu setelah masuk waktu shalat, membersihkan najis pada vagina, kemudian menghentikan darah istihadhah, baik dengan kapas maupun pembalut.
Dari beberapa keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa tidak ada larangan bagi perempuan haid. Berbeda dengan haid yang dilarang melakukan beberapa ibadah.