Ikuti Kami

Kajian

Kritik Kecia Ali terhadap Pandangan Ulama tentang Syahwat Perempuan

Tiga Alasan Munculnya Pemahaman Agama yang Tidak Ramah Perempuan

BincangMuslimah.Com – Membicarakan wacana Islam kontemporer dan kajian Islam dan gender di Amerika tak lepas dari peranan Kecia Ali. Dilansir www.bu.edu, Kecia Ali merupakan seorang professor yang mengajar berbagai kelas tentang religious studies. Pada tahun 2006 ia bergabung dengan fakultas Boston University sebagai pengajar sekaligus peneliti. Sebelumnya ia mengadakan penelitian dan pengajaran fellowship di Brandels University dan Harvard University. I

Dia berfokus pada penelitian di bidang hukum Islam, perempuan dan jenis kelamin, etika, dan biografi. Pada tahun 2014, kiprahnya semakin diakui dalam ruang lingkup The American Academy of Religion dengan ditetapkan sebagai presiden di The Society of Muslim Ethics. Di luar akademik, ia merupakan seorang aktivis yang membela dan mengadvokasi kaum papa dan masalah lingkungan.

Ia juga telah menerbitkan beberapa buku diantaranya adalah Sexual Ethics and Islam:Femist Reflections on Qur’an, Hadith, and Jurisprudence (2006), Marriage and Slavery in Early Islam (2010), Imam Syafii:Schonlar and Saint (2011) dan The Lives of Muhammad (2014), tentang biografi nabi Islam dan non-Muslim modern. Ia juga terlibat dalam penulisan edisi revisi A Guide for Women in Religion, yang memberikan panduan karier dalam studi agama dan teologi (2014). Dalam penelitiannya, ia juga membahas gender, etika dan budaya popular.

Konsep Persetujuan dan Mutualitas

Kecia Ali dalam setiap tulisannya mengajak para pembaca membicarakan tradisi fikih yang tidak sesuai dengan prinsip keadilan. Misalnya dalam karyanya mengenai biografi Muhammad untuk menengahi antara polemic di Barat yang terkesan menyudutkan sang nabi dan hagiografi di dunia Islam yang menyoroti kehebatannya, Ali juga melihat kecenderungan serupa mengenai seksualitas dan gender.

Di Barat, perempuan muslim diilustrasikan merupakan budak bercadar yang terkurung dalam harem. Sementara ulama muslim menangkis penggambaran tersebut dengan argument bahwa perempuan lebih dihargai dan aman di dalam Islam ketimbang agama lain. Dalam dua pandangan yang berbeda ini, ia ingin merefleksikan pengalaman pribadinya dalam melihat doktrin keagamaan dan hukum sekuler yang terlihat netral dan adil.

Baca Juga:  Lima Dosa Besar yang Harus Dijauhi di Bulan Ramadhan

Dalam buku Sexual Ethics and Islam:Femist Reflections on Qur’an, Hadith, and Jurisprudence ia memulai dengan menjelaskan berbagai pandangan dari para ahli fikih dan para penafsir al-Qur’an. Ia justru memunculkan pandangan adil itu dengan membandingkan berbagai tradisi yang sudah diterima dan oleh sebab itu, hal yang tabu harus dibicarakan. Perempuan dalam Islam lampau digambarkan sebagai makhluk dengan syahwat yang besar.

Atas pandangan ini al-Ghazali menulis bahwa lelaki harus bertanggung jawab untuk memuaskan seksual perempuan. Penegasan ini tertumpu pada kewajiban suami daripada hak istri, dengan alasan untuk menghindari malapetaka sosial jika sang istri tidak merasa puas. Pandangan al-Ghazali ini menjadi rujukan muslim saat ini untuk memperlakukan perempuan.

Sampai sini terlihat bagaimana para ulama klasik berpendapat tentang syahwat perempuan. Kecia Ali menuliskan bahwa pada umumnya tradisi Muslim klasik memandang perempuan tidak pernah merasa puas secara seksual dan rentan sekali menciptakan kekacauan sosial. Pandangan bias ini mendorong para ahli fikih untuk menulis jauh lebih banyak larangan bagi kehadiran dan aktivis perempuan dibandingkan lelaki yang dipresentasikan mampu menguasai diri. Pandangan dari ulama klasik mengenai batasan-batasan seksual perempuan yang dikutip dari kitab suci dan hadis kenabian, merembes ke dalam wacana muslim.

Menurut Ali, agar hubungan intim tetap terpuaskan dan memenuhi etika yang adil, maka prinsip consent (persetujuan) dan mutualitas harus dijunjung tinggi dalam hubungan suami istri. Kedua prinsip ini tidak bisa dipisahkan dari nilai-nilai kesetaraan dalam masyarakat Barat tapi harus mereduksi nilai keagamaan. Ia memandang hal ini sangat harus diterapkan berdasarkan sumber-sumber tekstual keagamaan seperti al-Qur’an dan hadis.

Ia juga menambahkan bahwa bahwa etika seksual yang cenderung egaliter tidak bisa membangun prinsip ini. Ia menggunakan istilah seni yakni metode pastische, untuk menamakan peniruan gaya masa lalu dalam merekonstruksi etika masa kini. Menurutnya yang harus kita pertanyakan dan pertimbangkan adalah apa yang membuat seks sah dalam pandangan Tuhan.

Baca Juga:  Hadis Maudhu’: Sebab-Sebab Munculnya Hadis Palsu

Sah menurut Ali tentunya mencakup syarat persetujuan dan mutualitas kedua belah pihak, tidak ada paksaan, tidak berat sebelah dan mempertimbangkan individual terutama perempuan dalam membangun keintiman yang menjadi ajaran agama. Setiap orang (individu) dalam logika feminis mempunyai hak yang sama untuk kebahagiaan seksual di dalam pernikahan terlepas dari keputusan masing-masing untuk memiliki anak atau tidak.

Pengalaman kehidupan perempuan seharusnya dilihat dari seratus persen manusia, bermoral dan tentunya makhluk seksual yang paripurna. Pandangan dan penafsiran agama yang menilai perempuan sebagai setengah dalam segala aspek tidak lagi relevan ditakar dari kacamata keadilan Tuhan.

Rekomendasi

Ditulis oleh

Mahasiswi UIN Jakarta dan volunter di Lapor Covid

1 Komentar

1 Comment

Komentari

Terbaru

mandi idul fitri perempuan mandi idul fitri perempuan

Niat Mandi Wajib Setelah Haid

Ibadah

Menikah Siri tanpa Izin Istri Sah, Apakah Masuk Kategori Perzinahan? Menikah Siri tanpa Izin Istri Sah, Apakah Masuk Kategori Perzinahan?

Menikah Siri tanpa Izin Istri Sah, Apakah Masuk Kategori Perzinahan?

Kajian

Menunda Bersuci Setelah Haid, Apakah Boleh? Menunda Bersuci Setelah Haid, Apakah Boleh?

Menunda Bersuci Setelah Haid, Apakah Boleh?

Kajian

Di Balik Candaan “Ibu Sambung”: Mengapa Sosok Ayah Seperti Daehoon Jadi Harapan Banyak Perempuan Indonesia Di Balik Candaan “Ibu Sambung”: Mengapa Sosok Ayah Seperti Daehoon Jadi Harapan Banyak Perempuan Indonesia

Di Balik Candaan “Ibu Sambung”: Mengapa Sosok Ayah Seperti Daehoon Jadi Harapan Banyak Perempuan Indonesia

Keluarga

hukum menggagalkan pertunangan haram hukum menggagalkan pertunangan haram

Bolehkah Istri Menjual Mahar Nikah dari Suami?

Kajian

pendarahan sebelum melahirkan nifas pendarahan sebelum melahirkan nifas

Apakah Darah yang Keluar Setelah Kuret Termasuk Nifas?

Kajian

Fenomena Jasdor yang Menjamur, Bagaimana Hukumnya? Fenomena Jasdor yang Menjamur, Bagaimana Hukumnya?

Fenomena Jasdor yang Menjamur, Bagaimana Hukumnya?

Kajian

Langkah mengesahkan Pernikahan Siri Langkah mengesahkan Pernikahan Siri

Langkah Hukum Mengesahkan Pernikahan Siri

Kajian

Trending

pendarahan sebelum melahirkan nifas pendarahan sebelum melahirkan nifas

Apakah Darah yang Keluar Setelah Kuret Termasuk Nifas?

Kajian

Darah nifas 60 hari Darah nifas 60 hari

Benarkah Darah Nifas Lebih dari 60 Hari Istihadhah?

Kajian

flek cokelat sebelum haid flek cokelat sebelum haid

Muncul Flek Coklat sebelum Haid, Bolehkah Shalat?

Kajian

Darah Kuning Larangan bagi Perempuan Istihadhah Darah Kuning Larangan bagi Perempuan Istihadhah

Apakah Darah Kuning dan Hitam Disebut Darah Haid?

Kajian

masa iddah hadis keutamaan menikah masa iddah hadis keutamaan menikah

Nikah Siri Sah dalam Islam? Ini Kata Pakar Perbandingan Mazhab Fikih

Keluarga

Darah Haid yang Terputus-putus Darah Haid yang Terputus-putus

Rumus Menghitung Darah Haid yang Terputus-putus

Kajian

Perempuan haid membaca tahlil Perempuan haid membaca tahlil

Hukum Perempuan Haid Membaca Tahlil

Kajian

ratu safiatuddin pemimpin perempuan ratu safiatuddin pemimpin perempuan

Ratumas Sina, Pahlawan Perempuan dari Jambi

Khazanah

Connect