BincangMuslimah.Com – Membaca secara kritis kondisi sosial-budaya masyarakat Arab di era Jahiliyah dan era Islam, akan membuat kita sadar akan fakta betapa transformasi wacana dan aturan menyangkut kebijakan Rasulullah sangatlah progresif dan ramah perempuan. Umar bin Khattab sempat memberikan reaksi yang mengesankan saat ia terkejut membaca teks-teks Islam transformatif itu.
Beliau bersabda, “Ketika masa Jahiliyyah, kami (orang-orang Arab) sama sekali tidak pernah memandang penting kaum perempuan. Tetapi ketika Islam datang dan Allah menyebut-nyebut mereka, kami baru menyadari bahwa mereka memiliki hak atas kami.” (HR. Bukhari)
Predikat perempuan yang sebelumnya merupakan “objek” lambat laun dikembalikan oleh Rasulullah kepada fitrahnya menjadi seorang “subjek”. Perempuan yang sebelumnya terkungkung dan hanya diposisikan sebagai alat untuk memberi kepuasan laki-laki, lambat laun mulai mengenyam apa itu arti merdeka. Sejak Rasulullah hadir, perempuan memiliki kedudukan yang setara dengan laki-laki, mendapatkan hak-haknya di ruang domestik, serta diberdayakan di ruang publik, sesuatu yang mustahil mereka dapatkan di masa Jahiliyyah.
Rasulullah Membongkar Ideologi Patriarkis dan Diskriminatif
Ide kesetaraan manusia dikemukakan oleh Rasulullah bersamaan dengan doktrin tauhid. Hakikatnya, doktrin tauhid bersifat universal, sehingga tidak hanya menyoal aspek ritualistik seperti penyembahan berhala, patung, dan lain sebagainya. Tetapi juga mengarah pada dimensi individual.
Tauhid berarti membebaskan manusia dari segala belenggu perbudakan dalam arti luas, yaitu perbudakan diri terhadap benda-benda, perbudakan diri terhadap segala bentuk kesenangan, dan perbudakan manusia atas manusia. Oleh karenanya, membebaskan perempuan dari belenggu ideologi patriarkis dan diskriminatif kala itu, menjadi hal yang tak terelakkan dari dakwah Rasulullah. Di periode Mekkah, misi membangun paham egalitarianisme yang menjadi fokus dakwahnya.
Rasulullah secara terus-terusan melakukan upaya menata kembali posisi perempuan yang ideal. Selain mengecam keras segala bentuk tindakan yang merendahkan perempuan, Rasulullah juga berkali-kali menegaskan posisi perempuan yang setara dengan laki-laki sebagai mitra dalam memakmurkan bumi. Tiga hadis berikut mencerminkan sikap Rasulullah dalam memperjuangkan kesetaraan dan keadilan bagi perempuan kala itu.
“Jangan kamu pukul hamba-hamba Allah dari kaum perempuan,” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi)
“Sungguh perempuan adalah saudara kandung laki-laki.” (HR. Abu Daud)
“Sebaik-baik kamu adalah yang paling baik terhadap istrinya. Aku adalah yang terbaik terhadap istriku.” (HR. Tirmidzi)
Rasulullah Menegaskan Hak-hak Perempuan di Ruang Domestik
Kultur perempuan Madinah di ruang domestik agak berbeda dengan perempuan Mekkah. Perempuan Madinah punya andil dalam mengatur urusan rumah tangga mereka. Maka dialog, musyawarah, atau bahkan perdebatan antara suami dan istri sudah menjadi hal biasa bagi penduduk Madinah. Fakta ini dituturkan oleh Ahmad Zaki Yamani dalam bukunya al-Islam wa al-Mar’ah.
Oleh sebab itu, saat muslim Mekkah berdatangan ke Madinah, perlahan mereka menerapkan pola berumah tangga masyarakat Madinah. Menyaksikan hal itu, Rasulullah tidak lantas menegur atau bahkan melarang tradisi tersebut. Justru beliau secara bertahap menerima wahyu dari Allah, yang berisi penegasan hak-hak perempuan di ranah domestik, di mana sebelumnya tidak pernah didapatkan oleh perempuan Arab. Baik itu hak mereka sebagai anak, istri, maupun ibu.
Aisyah Ra. dan Ibnu Abbas Ra. pernah meriwayatkan, ada seorang gadis yang mengadu ke Rasulullah bahwa ayahnya telah memaksanya menikah dengan seorang lelaki tanpa persetujuannya. Lalu Rasulullah menawarkan dua pilihan, ia bisa menerimanya atau membatalkannya. Lewat peristiwa itu, Rasulullah menegaskan bahwa perempuan sebagai anak memiliki hak untuk menentukan pilihannya sendiri dan tidak wajib baginya memenuhi paksaan dari orang tua.
Dalam kisah lain, Rasulullah menyatakan bahwa perempuan sebagai ibu memiliki hak yang sama untuk dihormati oleh anak sebagaimana bapak. Bahkan dalam hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, saat Rasulullah ditanya seorang pria tentang siapa yang harus dia hormati, Rasulullah menjawab “ibumu” sebanyak tiga kali dan yang keempat barulah ayah. Dua contoh peristiwa ini sudah sangat menjelaskan betapa Islam membawa perubahan besar terkait kedudukan perempuan.
Posisi perempuan sebagai istri dalam ruang domestik juga diatur oleh Islam. Jika sebelumnya orang Jahiliyyah bisa menikahi dan membuang istrinya kapan saja ia mau, di masa Islam para istri diberi hak-hak yang semestinya, seperti hak mendapat mahar, hak mencerai suami (khulu’), hak menuntut suami jika dia tidak memenuhi kewajibannya atau bahkan melakukan tindakan yang merugikan keluarga (nusyuz), dan lain sebagainya.
Rasulullah Memberdayakan Perempuan di Ruang Publik
Islam era Rasulullah tidak mengenal aturan yang melarang perempuan keluar rumah dan berinteraksi dengan laki-laki. Perempuan muslim kala itu sangat terbiasa saling bertegur sapa dengan laki-laki saat di jalanan. Imam Bukhari meriwayatkan bahwa suatu ketika Saudah istri Rasulullah pergi ke pasar dan bertemu Umar bin Khattab, lantas menceritakannya kepada Rasulullah. Beliau mengatakan, “Kamu boleh bepergian untuk memenuhi kebutuhanmu.”
Bukan hanya bertegur sapa, bahkan para sahabat perempuan kala itu bermitra dengan laki-laki dalam urusan-urusan sosial. Samra’ binti Nahik yang menjadi pengawas perdagangan di masa Rasulullah, misalnya. Tiap hari dia mengawasi kegiatan jual-beli di pasar-pasar, menegur para pelaku kecurangan, serta mengadili orang-orang yang melanggar aturan perdagangan kala itu. Riwayat ini termaktub di Mu’jam Kabir Musnad al-Nasa’i.
Selain itu, telah kita saksikan juga sahabat-sahabat perempuan yang ikut terlibat dalam aksi politik Rasulullah, seperti baiat, negosiasi dengan musuh, permufakatan, hijrah mencari perlindungan, hingga peperangan. Nusaibah binti Ka’ab dan Ummu Aiman adalah dua nama sahabat perempuan yang populer disebut-sebut sering terlibat dalam peperangan. Nusaibah merupakan seorang ahli pengobatan yang bertugas menangani luka-luka pasukan muslim. Sedangkan Ummu Aiman sebagai penanggung jawab persediaan minum pasukan Muslim. Aksi keduanya membuktikan bahwa perempuan boleh dan mampu bermitra dengan laki-laki dalam urusan politik, bahkan di posisi vital sekalipun.
Kitab Fathul Bari dalam bab jihad pun menceritakan kisah Ummu Haram yang didoakan oleh Rasulullah menjadi bagian dari tentara laut umat muslim suatu saat nanti. Maka Allah kabulkan doa beliau. Di masa Usman bin Affan, Ummu Haram ikut serta dalam perang Qibris yang membawa misi menghalang serangan pasukan Romawi terhadap umat Islam saat itu, di mana upaya perlawanan ini mengharuskan umat muslim mengarungi lautan. Ummu Haram pun mati syahid dalam peperangan tersebut. Kisah-kisah ini mengisyaratkan bahwa kala itu Rasulullah juga mendayagunakan sahabat perempuan di ruang-ruang publik.
Perubahan wacana dan aturan yang dibawa Rasulullah menyoal perempuan tersebut telah berhasil menempatkan perempuan sebagai subjek yang sepenuhnya merdeka. Bukan lagi aturan atau tradisi yang keji terhadap perempuan, tetapi aturan dan tradisi baru yang ramah bagi perempuan.
Jika kita mau jujur, ulasan ini tentu menjadi autokritik untuk kehidupan kita pada hari ini. Sebagian muslim masih beranggapan bahwa perempuan hanya dianjurkan untuk tunduk dan patuh kepada laki-laki, perempuan hanya didorong untuk beraktivitas di rumah dan dilarang berbaur dengan laki-laki secara mutlak. Padahal kita tahu bagaimana Rasulullah saat itu memperjuangkan keadilan bagi perempuan dan memberdayakan mereka di ruang publik.
Setelah membaca ulasan ini, mungkin menjadi saat yang tepat bagi kita untuk kembali mempertanyakan, apakah selama ini pandangan kita tentang konsepsi perempuan dalam Islam sudah benar-benar utuh?