BincangMuslimah.Com – Sejak pertengahan Agustus 2020, Komunitas Bincang Muslimah menggelar bedah buku Islam, Gender, and Democracy in Comparative Perspective (2017). Bagian kedua, esai berjudul Catholicism, Gender, Secularism, and Democracy: Comparative Reflections karya José Casanova dibahas oleh Neneng Maghfiro, pada Sabtu (12/9).
Secara teologis, setiap umat beragama, baik Katolik, Kristen maupun Muslim dan agama-agama lainnya mempunyai hak dan kewajiban untuk menjunjung tinggi apa yang dianggapnya sebagai perintah suci atau norma moral yang ditetapkan secara ilahi.
Tapi yang menjadi pertanyaan berikutnya adalah seberapa lama tradisi agama tertentu, khususnya seorang “katolik”, bisa menolak adopsi nilai moral baru dalam masyarakat? Di mana kondisi tersebut sangat dekat dengan anggapan nilai agama eksklusif yang muncul di masyarakat.
Kondisi tersebut mendorong sekularisasi perempuan yang mungkin menjadi pola khas. Hal tersebut relatif berhasil dalam proses demokratisasi di negara-negara Katolik mayoritas, proses demokratisasi yang lebih tidak pasti dan diperebutkan di negara-negara Muslim.
Saat isu “gender” yang sangat memecah belah dan diperdebatkan secara politik, seperti legalisasi perceraian, aborsi, atau pernikahan sesama jenis, muncul agenda legislatif di hampir negara-negara Katolik bahwa rezim demokratis sudah dikonsolidasikan.
Amerika Serikat dan banyak negara maju lainnya menganut demokrasi, mempertautkan masalah moral yang memecah belah dan menyebabkan “perang budaya” dan politik polarisasi yang dalam beberapa konteks bisa menghidupkan kembali ulama dan anti-ulama dan agama atau bisa disebut juga sebagai perpecahan sekuler.
Kini, kebenaran tidak bisa lagi dipaksakan, juga tidak diizinkan untuk memaksa hati nurani individu untuk mengikuti perintah eksternal. Pepatah lama “kesalahan tidak memiliki hak” telah ditinggalkan. Kini, bukan doktrin yang dinomorsatukan, tapi keyakinan bahwa orang punya hak dalam prinsip-prinsip demokrasi.
Dalam diskursus Katolik, keterlibatan politik dari orang-orang beriman, religius serta awam, dalam transformasi dunia dan tindakan atas nama perdamaian, sosial keadilan, hak asasi manusia, dan pembebasan dari segala jenis penindasan yang merusak martabat pribadi manusia, akan ditentukan mulai sekarang di Dokumen Konsili.
Dalam hal ini, penting untuk disadari bahwa perubahan kode sipil hukum menuju kesetaraan gender yang muncul di awal abad ke-20 dan telah menyebar secara global sejak 1960-an, belum ditentang oleh Gereja Katolik.
Sebaliknya, dengan adopsi wacana modern hak asasi manusia di tahun 1960-an, doktrin Katolik telah mendukung kesetaraan hukum penuh bagi laki-laki dan perempuan dalam keluarga serta dalam masyarakat.
Dalam hal ini, orang mungkin bisa menegaskan bahwa masalah gender yang memecah belah belum ada muncul secara terbuka selama transisi menuju demokrasi di negara-negara Katolik di tahun 1970-an.
Memang, gerakan perempuan yang baru jadi adalah bagian dari koalisi umum dari gerakan masyarakat sipil melawan berbagai otoriter rezim. Maka, dengan demikian, gerakan tersebut juga berada di bawah perlindungan sipil umum masyarakat oleh gereja.
Belum ada perpecahan agama atau sekuler yang muncul seputar masalah gender. Perpecahan seputar isu “gender” baru muncul setelah demokrasi terbentuk terkonsolidasi, setelah partai-partai sosialis dan kiri mulai memperkenalkan undang-undang melegalkan perceraian dan penggunaan kontrasepsi melawan oposisi yang gigih di Gereja Katolik.
Namun, terlepas dari penolakannya, Gereja Katolik tidak bisa menahan kecenderungan umum menuju liberalisasi hukum perceraian dan promosi negara bagian tentang penggunaan kontrasepsi sebagai bagian dari kebijakan kesehatan reproduksi di banyak negara Katolik.
Sebagai misal, hanya kasus aborsi yang cenderung disetujui oleh umat Katolik Amerika Latin dalam ajaran hierarki Katolik. Pada kebanyakan moral dan gender seksual lainnya, masalah Katolik Amerika Latin cenderung tidak setuju dengan ajaran resmi Gereja Katolik, mengadopsi sikap yang bisa disebut “kesetiaan dalam perbedaan pendapat”.
Permasalahan gender ini bisa dibilang tantangan yang paling serius dan kompleks menghadapi Gereja Katolik pada saat ini. Orang bisa menyatakan bahwa sampai kedatangan Paus Fransiskus tidak memadai dan cenderung hanya dilihat secara resmi untuk menggambarkan wacana tentang “gender” sebagai ideologi berbahaya yang diproduksi oleh feminisme.
Proses mengubah feminisme menjadi musuh ideologis memang menjadi hal yang ditakutkan meski tidak seperti komunisme di abad kesembilan belas. Padahal, prinsip moral modern kehidupan, kebebasan, kesetaraan, dan pengejaran kebahagiaan saling bertemu dan berkembang di seluruh dunia, terutama tentang masalah kesetaraan gender dan moralitas seksual.
Wacana feminisme dan sekularisme yang telah terjalin saat ini sama dengan komunisme dan ateisme di abad ke-19. Gender telah menjadi diskursus paling menonjol yang memperebutkan “pertanyaan sosial”. Sementara “agama” telah dilemparkan, dengan sukarela atau ogah-ogahan, ke pusaran kontestasi global.[]