Ikuti Kami

Kajian

Ijtihad Ulama tentang Sab’ah Ahruf

bantahan ketuhanan nabi isa

BincangMuslimah.Com – Istilah sab’ah ahruf  mulanya bersumber dari hadits Rasulullah SAW. yang berbunyi, “Sesungguhnya Alquran diturunkan dengan tujuh huruf. Maka bacalah dengan yang mudah (bagimu) di antaranya.” Sayangnya, Rasulullah SAW. tidak menjelaskan lebih detail tentang definisi sab’ah ahruf  tersebut. Bahkan tidak ditemukan juga riwayat atau nash-nash yang mengatakan bahwa ada dari kalangan sahabat atau perawi hadits yang menjelaskan tentang makna sab’ah ahruf. Hal ini dikarenakan makna sab’ah ahruf  saat itu sudah masyhur diketahui. Oleh karenanya, para ulama kita di generasi selanjutnya melakukan berbagai ijtihad ulama untuk mendapatkan maksud sab’ah ahruf.

Hasil ijtihad mareka pun berbeda-beda. Bahkan di antara mereka ada yang tidak menemukan hasil. Mereka menilai makna sab’ah ahruf terlalu sulit untuk ditelisik, sebab orang-orang Arab terbiasa menyebut suatu rangkaian kata sebagai sebuah huruf, sedangkan kasidah/puisi disebut sebagai sebuah kata.

Adapun hasil ijtihad ulama lainnya, berbeda-beda dalam memaknai sab’ah ahruf. Pendapat pertama mengatakan tujuh huruf tersebut kembali ke tujuh macam bahasa Arab yang masyhur di antara suku-suku Arab ada saat itu. Pendapat kedua mengatakan tujuh huruf dalam Alquran merujuk pada tujuh klasifikasi ayat-ayat Alquran, yang masing-masing merupakan bagian dari Alquran itu sendiri. Sebagian di antaranya adalah perintah dan larangan, halal dan haram, janji dan ancaman, cerita-cerita, dan lain-lain. 

Adapun pendapat ketiga mengatakan bahwa tujuh huruf tersebut merujuk pada bentuk-bentuk perbedaan dan perubahan yang ada dalam bacaan-bacaan Alquran (qirâ’at al-Quran). Pendapat terakhir inilah yang diamini oleh kebanyakan ulama. Berikut bentuk-bentuk perbedaan sab’ah ahruf.

Pertama, perbedaan lafaz dari segi tunggal-ganda-jamak, juga dari segi tadzkîr (laki-laki) dan ta’nîts (perempuan). Seperti lafaz tunggal miskîn dalam  طَعَامُ مِسْكِيْنٍ yang juga dibaca jamak menjadi مَسَاكِيْن. Contoh lain ada lafaz yuqbalu dalam وَلَا يُقْبَلُ مِنْهَا شَفَاعَةٌ  yang juga dibaca tuqbalu dengan ta’.

Baca Juga:  Mengapa Puasa Perempuan Haid Perlu Diqadha Sedangkan Shalat Tidak?

Kedua, perbedaan bentuk kata kerja (tashrîf) dari fi’il mudhori’ (masa akan datang), fi’il madhi (masa lampau), dan fi’il amr (kata perintah). Seperti lafaz tathawwa’a dalam ayat وَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا  yang juga dibaca يَطَّوَّعْ dengan huruf ya’, tha’ yang ditasydid, dan ‘ain dibaca sukun karena jazm.

Ketiga, perbedaan wajah i’rab (harakat lafaz). Seperti lafaz yusabbihu dalam ayat يُسَبِّحُ لُهُ فِيْهَا بِالْغُدُوِّ  وَالآصَالِ yang dibaca juga yusabbahu dengan huruf ba’ yang difathah.

Keempat, perbedaan dengan pengurangan atau penambahan lafaz. Seperti وَسَارِعُوْا yang juga dibaca tanpa وَ.

Kelima, perbedaan dengan mengakhirkan atau mendahulukan. Seperti ayat وَقَاتَلُوْا وَقُتِلُوْا yang juga dibaca dengan sebaliknya. Yaitu وَقَاتَلُوْا  وَقُتِلُوْا.

Keenam, perbedaan sebab ibdâl atau mengganti satu huruf dengan huruf yang lain. Seperti lafaz tablû dalam ayat هُنَالِكَ تَبْلُوْا كُلُّ نَفْسٍ مَّا أسْلَفَتْ yang juga dibaca tatlû dengan mengganti huruf ba’ dengan huruf ta’.

Dan yang terakhir, ketujuh, adalah perbedaan lahjat (logat). Di antaranya ada bacaan imalah dan taqlil, idgham, tafkhim dan tarqiq, dan lain-lain. Jika kita membaca ayat لَقَدْ جَاءَكُمْ dengan membaca jelas huruf dal sukunnya, maka ada qiraat lain yang membaca huruf dal sukun dimasukkan huruf jim. Sehingga menjadi laqajjâ’akum.

Lantas apakah perbedaan redaksi lafadz tersebut sah-sah saja meskipun makna yang terkandung pun menjadi beragam? 

Perlu kita garis bawahi, bahwa berbeda dan bertentangan adalah dua hal yang berbeda. Dua hal berbeda belum tentu bertentangan satu sama lain. Oleh karenanya jika perbedaan itu tidak berlawanan satu sama lain, maka tidak menjadi masalah. Sebab dalam ilmu qiraat, di antara syarat sebuah qiraat dinilai mutawatir selain ketersambungan sanadnya, adalah redaksi lafadz sesuai dengan rasm usmani, secara makna tidak keluar dari konteks ayat, dan tidak menyalahi kaidah bahasa arab yang benar. Jika salah satu syarat saja tidak terpenuhi, maka qiraat tersebut masuk kategori qiraat syâd.

Baca Juga:  Haruskah Shalat yang Bersuci dengan Tayamum Diulang?

Adapun istilah tujuh qiraat yang biasa kita dengar dan biasa diajarkan di pondok pesantren, semuanya masuk kategori qiraat yang mutawatir. Sehingga membacanya dinilai ibadah dan sah dibaca ketika sholat. Akan tetapi, yang perlu kita garis bawahi juga adalah maksud sab’ah ahruf dalam hadits Rasulullah SAW. tersebut bukanlah tujuh qiraat tersebut. Melainkan tujuh qiraat tersebut merupakan bagian dari sab’ah ahruf . Pun hakikat sab’ah ahruf  tidak terbatas di  tujuh atau sepuluh qiraat tersebut

 

Rekomendasi

Hukum haul orang meninggal Hukum haul orang meninggal

Hukum Haul untuk Memperingati Orang yang Sudah Meninggal

single mom ulama besar single mom ulama besar

Kisah Ibu dari Rabi’ah Ar-Ra’yi, Single Mom yang Didik Anaknya Jadi Ulama Besar

ulama memiliki hafalan kuat ulama memiliki hafalan kuat

Mengapa Ulama Terdahulu Memiliki Hafalan yang Kuat?

abdul qadir sekelompok perampok abdul qadir sekelompok perampok

Kejujuran Syekh Abdul Qadir al-Jailani Saat Bertemu Kawanan Perampok

Ditulis oleh

Tanzila Feby Nur Aini, mahasiswi Universitas al-Azhar, Kairo di jurusan Akidah dan Filsafat. MediaI sosial yang bisa dihubugi: Instagram @tanzilfeby.

2 Komentar

2 Comments

Komentari

Terbaru

Surah ar-Ra’du Ayat 28: Menjaga kesehatan Mental dengan Berzikir Surah ar-Ra’du Ayat 28: Menjaga kesehatan Mental dengan Berzikir

Surah al-Ra’du Ayat 28: Menjaga kesehatan Mental dengan Berzikir

Muslimah Daily

Dua Pendapat Imam As-Syafi’i Mengenai Air Musta’mal Dua Pendapat Imam As-Syafi’i Mengenai Air Musta’mal

Dua Pendapat Imam As-Syafi’i Mengenai Air Musta’mal

Ibadah

Sekjen IIFA: Syariat Islam Terbentuk Dari Fondasi Kemaslahatan Sekjen IIFA: Syariat Islam Terbentuk Dari Fondasi Kemaslahatan

Sekjen IIFA: Syariat Islam Terbentuk Dari Fondasi Kemaslahatan

Berita

Prof. Dr. Nasaruddin Umar: Syariah Bukan fenomena Agama Tetapi Fenomena Ekonomi Juga Prof. Dr. Nasaruddin Umar: Syariah Bukan fenomena Agama Tetapi Fenomena Ekonomi Juga

Prof. Dr. Nasaruddin Umar: Syariah Bukan fenomena Agama Tetapi Fenomena Ekonomi Juga

Berita

Prof. Dr. Phil. Kamaruddin Amin, M.A. : SHARIF 2024 Membahas Prinsip Syariah yang inklusif Prof. Dr. Phil. Kamaruddin Amin, M.A. : SHARIF 2024 Membahas Prinsip Syariah yang inklusif

Prof. Dr. Phil. Kamaruddin Amin, M.A. : SHARIF 2024 Membahas Prinsip Syariah yang inklusif

Berita

Apakah Komentar Seksis Termasuk Pelecehan Seksual?

Diari

Jangan Insecure, Mari Bersyukur

Muslimah Daily

Pentingnya Self Love Bagi Perempuan Muslim

Diari

Trending

Jangan Insecure, Mari Bersyukur

Muslimah Daily

anjuran menghadapi istri haid anjuran menghadapi istri haid

Haid Tidak Stabil, Bagaimana Cara Menghitung Masa Suci dan Masa Haid?

Ibadah

Siapa yang Paling Berhak Memasukkan Jenazah Perempuan Ke Kuburnya?

Ibadah

keadaan dibolehkan memandang perempuan keadaan dibolehkan memandang perempuan

Adab Perempuan Ketika Berbicara dengan Laki-Laki

Kajian

Pentingnya Self Love Bagi Perempuan Muslim

Diari

Sya’wanah al-Ubullah: Perempuan yang Gemar Menangis Karena Allah

Muslimah Talk

anak yatim ayah tiri luqman hakim mengasuh dan mendidik anak anak yatim ayah tiri luqman hakim mengasuh dan mendidik anak

Hukum Orangtua Menyakiti Hati Anak

Keluarga

ayat landasan mendiskriminasi perempuan ayat landasan mendiskriminasi perempuan

Manfaat Membaca Surat Al-Waqiah Setiap Hari

Ibadah

Connect