BincangMuslimah.Com – Hari raya Idul Adha memang selalu identik dengan hari raya kurban. Di dalam ajaran Islam sendiri berkurban itu sangat dianjurkan, karena selain sebagai bentuk ibadah kepada Allah berkurban juga bernilai ibadah sosial.
Membagikan daging kurban kepada fakir miskin dan sesama orang muslim itu merupakan hal yang biasa. Yang menjadi problem adalah bagaimana ketika daging kurban itu juga diberikan kepada orang non-Muslim? Apakah boleh? Mari kita simak ulasannya berikut.
Perihal daging kurban yang diberikan kepada non-Muslim ini bersifat khilafiyah furu’iyyah yaitu menjadi perbedaan pendapat (Khilafiyah) yang cukup ramai di perbincangkan.
Pendapat pertama menyatkan tidak boleh memberikan daging kurban kepada non-Muslim secara mutlak. Argumentasi yang dibangun untuk menguatkan pendapat ini adalah bahwa tujuan kurban itu sendiri adalah untuk menunjukkan belas kasih kepada orang-orang Muslim dengan cara memberi makan kepada mereka.
Karena, hewan kurban adalah dhiyafatullah (jamuan Allah) untuk mereka pada hari raya Idul Adha. Konsekuensi logis dari cara pandangan ini adalah tidak boleh memberikan daging kurban kepada non-Muslim.
Pendapat kedua menyatakan boleh. Pendapat kebolehan daging kurban diberikan kepada non-Muslim ini berdasarkan pendapat Imam An-Nawawi dalam kitab Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, dan pendapat ini dianggap relevan dengan ketentuan dalam Madzhab Syafi’i itu sendiri.
Sedangkan argumentasi yang dibangun untuk menguatkan pandangan yang mengatakan bolehnya daging kurban diberikan kepada orang non-Muslim adalah bahwa berkurban itu merupakan sedekah. Sedangkan tidak ada larangan untuk memberikan sedekah kepada pihak non-Muslim. Ini adalah pendapat Syamsuddin Ar-Ramli yang terdapat dalam kitab Nihayatul Muhtaj, sebagaimana berikut,
لَوْ ضَحَّى عَنْ غَيْرِهِ أَوْ ارْتَدَّ فَلَا يَجُوزُ لَهُ الْأَكْلُ مِنْهَا كَمَا لَا يَجُوزُ إطْعَامُ كَافِرٍ مِنْهَا مُطْلَقًا , وَيُؤْخَذُ مِنْ ذَلِكَ امْتِنَاعُ إعْطَاءِ الْفَقِيرِ وَالْمُهْدَى إلَيْهِ مِنْهَا شَيْئًا لِلْكَافِرِ , إذْ الْقَصْدُ مِنْهَا إرْفَاقُ الْمُسْلِمِينَ بِالْأَكْلِ لِأَنَّهَا ضِيَافَةُ اللَّهِ لَهُمْ فَلَمْ يَجُزْ لَهُمْ تَمْكِينُ غَيْرِهِمْ مِنْهُ لَكِنْ فِي الْمَجْمُوعِ أَنَّ مُقْتَضَى الْمَذْهَبِ الْجَوَازُ
Artinya: Apabila seseorang berkurban untuk orang lain atau ia menjadi murtad, maka ia tidak boleh memakan daging kurban tersebut sebagaimana tidak boleh memberikan makan dengan daging kurban kepada orang kafir secara mutlak. Dari sini dapat dipahami bahwa orang fakir atau orang (kaya) diberi yang kurban tidak boleh memberikan sedikitpun kepada orang kafir. Sebab, tujuan dari kurban adalah memberikan belas kasih kepada kaum Muslim dengan memberi makan kepada mereka, karena kurban itu sendiri adalah jamuan Allah untuk mereka. Maka tidak boleh bagi mereka memberikan kepada selain mereka. Akan tetapi menurut pendapat ketentuan Madzhab Syafi’i cenderung membolehkanya, (Nihayatul Muhtaj ila Syarhil Minhaj, Beirut, juz 8 hal: 141).
Akan tetapi, kebolehan memberikan daging kurban kepada non-Muslim tidak bisa dipahami secara mutlak. Karena daging tersebut hanya boleh diberikan kepada non-Muslim yang bukan harbi (non-Muslim yang tidak memusuhi orang Islam). Dan juga bukan kurban wajib, namun kurban sunah.
Dalam artian diperbolehkan memberikan sedekah termasuk di dalamnya memberikan daging kurban selain kepada kafir harbi. Ibnu Qudamah dalam karyanya Al-Mughni mengatakan,
فَصْلٌ : وَيَجُوزُ أَنْ يُطْعِمَ مِنْهَا كَافِرًا .وَبِهَذَا قَالَ الْحَسَنُ ، وَأَبُو ثَوْرٍ ، وَأَصْحَابُ الرَّأْيِ وَقَالَ مَالِكٌ : غَيْرُهُمْ أَحَبُّ إلَيْنَا .وَكَرِهَ مَالِكٌ وَاللَّيْثُ إعْطَاءَ النَّصْرَانِيِّ جِلْدَ الْأُضْحِيَّةِ . وَلَنَا أَنَّهُ طَعَامٌ لَهُ أَكْلُهُ فَجَازَ إطْعَامُهُ لِلذِّمِّيِّ ، كَسَائِرِ طَعَامِهِ ، وَلِأَنَّهُ صَدَقَةُ تَطَوُّعٍ ، فَجَازَ إطْعَامُهَا الذِّمِّيَّ وَالْأَسِيرَ ، كَسَائِرِ صَدَقَةِ التَّطَوُّعِ .فَأَمَّا الصَّدَقَةُ الْوَاجِبَةُ مِنْهَا ، فَلَا يُجْزِئُ دَفْعُهَا إلَى كَافِرٍ لِأَنَّهَا صَدَقَةٌ وَاجِبَةٌ ، فَأَشْبَهَتْ الزَّكَاةَ ، وَكَفَّارَةَ الْيَمِينِ
Artinya: Boleh hukumnya memberikan makan dari hewan kurban kepada orang kafir. Inilah pandangan yang yang dikemukakan oleh Al-Hasanul Bashri, Abu Tsaur, dan kelompok rasionalis. Imam Malik berkata, ‘Selain mereka (orang kafir) lebih kami sukai’. Menurut Imam Malik dan Al-Laits, makruh memberikan kulit hewan kurban kepada orang Nasrani. Sedang menurut kami, itu adalah makanan yang boleh dimakan karenanya boleh memberikan kepada kafir dzimmi sebagaimana semua makanannya, (Al-Mughni, juz 11 hal: 105).
Berdasarkan keterangan di atas, maka kita dapat menarik kesimpulan bahwa dalam soal hukum memberikan daging kurban kepada non-Muslim terdapat dua pendapat. Pendapat pertama melarang secara mutlak, dan kedua membolehkan namun dengan catatan bukan kurban wajib dan penerimanya bukan kafir harbi.