BincangMuslimah.Com- Bolehkah anak menjadi wali nikah ibunya? Pasalnya di era modern saat ini banyak perempuan menjadi janda karena ditinggal mati atau dicerai oleh sang suami. Demi menyambung hidup sebagian dari mereka pun memilih untuk menikah lagi. Lantas apakah anak laki-lakinya yang sudah dewasa boleh menjadi wali atas pernikahannya?
Menurut Syafi’iyyah seorang anak tidak mempunyai hak perwalian atas ibunya. Oleh karena itu ia tidak bisa menikahkan ibunya. Dengan kata lain ia tidak boleh menjadi wali atas pernikahan ibunya. Jika dia bersikeras menjadi wali dalam pernikahan, maka pernikahan tersebut hukumnya tidak sah.
Sedangkan menurut Hanabilah seorang anak bisa menjadi wali nikah ibunya jika ayah atau kakek si ibu tidak ada. Oleh karenanya jika ayah atau kakek ibunya masih ada, maka dia tidak boleh menjadi wali nikah ibunya.
Adapun Hanafiyyah dan Malikiyyah mempunyai pandangan berbeda dengan dua mazhab sebelumnya. Mereka berpendapat dan sepakat bahwa seorang anak boleh/bisa menjadi wali nikah atas pernikahan ibunya. Bahkan, menurut mereka, si anak adalah orang yang paling berhak dibandingkan yang lain untuk menjadi wali nikah ibunya.
Hal ini sebagaimana keterangan dalam kitab al-Fiqh ‘ala al-Mazahib al-Arba’ah [IV/52] berikut;
اتفق الشافعية، والحنابلة على أن حق الأولياء غير المجبرين الأب، ثم الجد. ولكن الحنابلة قالوا: إن الابن يلي الجد في الولاية. والشافعية قالوا: إنه لا ولاية للابن على أمه مطلقاً
وخالف المالكية فقالوا: إن أحقهم بالولاية الابن ولو من زنا، بمعنى أن المرأة إذا تزوجت بعقد صحيح صارت ثيباً، ثم زنت وجاءت بولد يكون مقدماً على الأب والجد. أما إذا زني بها قبل أن تتزوج بعقد صحيح وجاءت من هذا الزنا فإنه لا يقدم على الأب في هذه الحالة لأن الزنا عندهم لا يرفع البكارة فيكون الأب ولياً مجبراً، والكلام في غير المجبر، ووافقهم الحنفية على أن أحق الأولياء في النكاح الابن
“Syafi’iyyah dan Hanabilah sepakat bahwa yang paling berhak menjadi wali nikah (yang bukan wali mujbir) adalah ayah kemudian kakek. (Hanya saja mereka berbeda pendapat apakah seorang anak berpeluang menjadi wali nikah ibunya atau tidak).
Syafi’iyyah mengatakan; seorang anak mutlak tidak mempunyai hak perwalian atas pernikahan ibunya. Sedangkan Hanabilah mengatakan; seorang anak mempunyai hak perwalian akan tetapi ia terletak di urutan ketiga setelah ayah dan kakek ibunya.
Sementara Malikiyyah mengatakan; bahwasanya yang paling berhak menjadi wali nikah adalah anak walaupun anak tersebut merupakan hasil zina.
Artinya, apabila seorang perempuan yang sudah menikah secara sah berzina lalu melahirkan anak dari hasil zinanya itu maka anak tersebut didahulukan dari ayah dan kakek (untuk menjadi wali nikah perempuan tersebut).
Sehingga jika perempuan itu berzina sebelum adanya akad nikah yang sah, maka anak yang terlahir tidak didahulukan dari ayah dan kakeknya. Alasannya karena zina menurut mereka tidak menghilangkan status keperawanan sehingga si ayah dan kakek tetap berstatus wali mujbir. Dan yang dibahas di sini adalah wali non mujbir.
Hanafiyyah dalam hal masalah ini sepakat dengan Malikiyyah bahwa yang paling berhak menjadi wali nikah seorang ibu adalah anaknya.”
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa menurut syafi’iyyah, seorang anak mutlak tidak boleh menjadi wali nikah ibunya. Menurut Hanabilah, boleh dengan catatan ayah dan kakek ibunya tidak ada. Dan menurut Malikiyyah dan Hanafiyyah, seorang ana bukan hanya boleh melainkan dialah yang paling berhak menjadi wali nikah ibunya.
*Tulisan ini sudah pernah diterbitkan di Bincangsyariah.com.