Ikuti Kami

Kajian

Benarkah Nabi Menyebarkan Islam dengan Pedang?

nabi menyebarkan islam pedang
credit: photo from gettyimages.com

BincangMuslimah.Com – Kali ini saya akan mengulas sebuah hadits yang barangkali sering disalah artikan oleh muslim kebanyakan. Yang mana kekeliruan ini kemudian mendorong sebagian umat Islam untuk bertindak sewenang-wenang kepada orang-orang non-muslim. Akibatnya, Islam menerima banyak justifikasi negatif dari orang-orang non-muslim tersebut.  Di antaranya, Islam adalah agama yang keras, Islam agama intoleran, Nabi Muhammad menyebarkan Islam dengan pedang (peperangan), dan lain-lain. Hadits tersebut berbunyi:

عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوا أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّداً رَسُوْلُ اللهِ، وَيُقِيْمُوا الصَّلاَةَ وَيُؤْتُوا الزَّكاَةَ، فَإِذَا فَعَلُوا ذَلِكَ عَصَمُوا مِنِّي دِمَاءَهُمْ وَأَمْوَالَـهُمْ إِلاَّ بِحَقِّ الإِسْلاَمِ وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللهِ تَعَالىَ

( رَوَاهُ البُخَارِيُّ وَمُسْلِمٌ)

Secara tekstual, hadits ini berarti:

“Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak untuk diibadahi kecuali Allah dan Muhammad adalah Rasulullah, mendirikan shalat, menunaikan zakat. Jika mereka telah melakukan hal itu, akan terjagalah darah-darah dan harta-harta mereka dariku, kecuali dengan hak Islam, sedangkan perhitungan mereka diserahkan kepada Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim) [HR. Bukhari, no. 25 dan Muslim, no. 21] 

Mereka yang hanya memahami hadits ini secara tekstual, tidak jarang berujung menghalalkan darah sesama manusia atas nama Islam, membolehkan memerangi sekaligus membunuh orang-orang non-muslim di belahan bumi mana pun. Sehingga Islam akan menjadi agama satu-satunya yang tegak di bumi.

Adapun di sisi lain, ada kelompok Islam yang tidak menyetujui penghalalan darah non-muslim tersebut. Namun sayangnya, mereka tidak juga memahami maksud hadits ini dengan benar. Sehingga mereka menilai hadits ini sebagai aib umat Islam dan tak seyogianya hadits ini disyiarkan ke khalayak umum. Aneh bukan? Padahal sudah jelas hadits ini masuk dalam kategori hadits shahih, yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim. Oleh karena itu, menjadi sangat penting bagi kita untuk bisa memahami hadits ini dengan benar. 

Baca Juga:  Tafsir At-Taghabun 14: Apakah Hanya Istri yang Dapat Menjadi Musuh dalam Rumah Tangga?

Ada beberapa poin inti yang perlu kita ulas. Pertama, redaksi hadits ini menggunakan lafaz أُمِرْتُ yang berarti ‘saya’ diperintahkan. Rasulullah SAW. berkata dengan kata ‘saya’ sebagai pengganti subjek (sebab kata kerja pasif), bukan dengan kata أُمِرْتُمْ yang berarti ‘kalian diperintahkan’, bukan juga dengan kata أُمِرْنَا yang berarti ‘kita diperintahkan’. Lantas apakah segala hal yang Allah SWT. perintahkan kepada Rasulullah SAW. juga menjadi kewajiban kita? Tentu saja tidak.

Kedua, redaksi hadits ini menggunakan lafaz أُقَاتِلَ yang merupakan bentuk fi’il mudhari’ dari wazan فاعل dan mengandung faedah al-musyârakah bain al-tharfain (pekerjaan yang melibatkan dua pihak). Hadits ini tidak menggunakan redaksi  أَقْتُلَ yang berarti membunuh, tanpa ada serangan dari pihak lain. Sehingga yang dimaksud hadits ini adalah perintah Allah SWT. kepada Rasulullah SAW. untuk memerangi lawannya sebagai bentuk pertahanan diri, bukan untuk menyerang satu pihak. Rasulullah SAW. tidak akan melawan jika mereka tidak memulai peperangan terlebih dahulu. Yang mana penyerangan mereka tersebut jelas mengancam keselamatan kaum muslim. Sehingga umat muslim harus meladeni peperangan tersebut demi mempertahankan nyawa. Hal ini juga ditegaskan dalam Alquran surat al-Baqarah ayat 190 yang berbunyi, “Dan perangilah di jalan allah orang-orang yang memerangi kamu, tetapi janganlah kamu melampaui batas…” Pun di surat yang sama ayat 256 Allah SWT. menyatakan laa ikraaha fi al-dîn (tidak ada paksaan dalam beragama). Walhasil, mustahil Allah SWT. memerintahkan Rasulullah SAW. untuk memerangi mereka kecuali sebagai bentuk pertahanan diri. 

Ketiga, pada lafaz النَّاسَ Rasulullah SAW. menggunakan ال  ma’rifah yang berfaedah mengkhususkan. Pun di dalam kaidah ushul fikih ada istilah al-‘Âm yurâdu bihi al-khâsh (lafaz umum yang maknanya khusus). Demikian juga maksud lafaz ‘manusia’ dalam hadits tersebut. Dalam konteks saat itu, Rasulullah SAW. tengah mendapat berbagai serangan dari kaum kafir Makkah. Sehingga perintah Allah SWT. dalam hadits ini ditujukan untuk kaum kafir Quraisy saat itu. Jadi, keliru jika kemudian lafaz tersebut diartikan perintah Allah SWT. kepada Rasulullah SAW. untuk memerangi atau membunuh seluruh non-muslim yang ada di belahan dunia.

Baca Juga:  Apakah Dakwah Wajib bagi Setiap Muslim?

Keempat, hadits ini menggunakan redaksi حَتَّى يَشْهَدُوا  tidak menggunakan lafazأن  إلى. Jelas ada perbedaan makna antara حَتَّى dan أن إلى.  Adapun makna yang diinginkan dari hadits ini adalah syahadat sebagai tujuan (lil ghâyah). Yakni, sebab orang kafir Makkah memerangi kaum muslim maka dakwah Rasulullah SAW. menyebarkan ajaran Islam menjadi terhalangi. Oleh karenanya, umat muslim perlu melakukan upaya pertahanan untuk membendung serangan mereka, sehingga bisa kembali menyiarkan Islam dan semakin banyak orang yang bersyahadat. Sehingga keliru jika kemudian hadits ini diartikan sebagai upaya Rasulullah SAW. untuk menyiarkan Islam dengan peperangan. Yakni keliru jika diartikan bahwa darah non-muslim menjadi halal dibunuh selama mereka tidak mengimani Islam. Sebagaimana dalam Alquran Allah SWT. pun menegaskan, “Bagimu agamamu dan bagiku agamaku.”

Dari uraian di atas, sudah jelas bahwa hadits ini bukan dalam rangka meyakinkan bahwa Islam menghalalkan darah sesama manusia. Justru dengan pemahaman yang benar tentang hadits ini, kita akan menemukan betapa ramahnya ajaran Islam dan betapa Allah SWT. memuliakan darah manusia. 

Rekomendasi

Kisah Annemerie Schimmel Kisah Annemerie Schimmel

Kisah Annemerie Schimmel, Orientalis yang Terpesona dengan Islam

fomo media sosial islam fomo media sosial islam

Upaya Menghindari Fomo dalam Kacamata Islam

doa setelah membaca Alquran doa setelah membaca Alquran

Doa yang Dibaca Setelah Membaca Alquran

fatimah ahli fikih uzbekistan fatimah ahli fikih uzbekistan

Fatimah as-Samarqandi, Sang Ahli Fikih Perempuan dari Uzbekistan

Ditulis oleh

Tanzila Feby Nur Aini, mahasiswi Universitas al-Azhar, Kairo di jurusan Akidah dan Filsafat. MediaI sosial yang bisa dihubugi: Instagram @tanzilfeby.

1 Komentar

1 Comment

Komentari

Terbaru

satuharapan.com satuharapan.com

Paus Fransiskus: Bhinneka Tunggal Ika adalah Kekayaan Terbesar Indonesia

Berita

Pro-Kontra Azan Maghrib di Televisi Diganti Tulisan Berjalan

Berita

Pentingnya Sikap Toleransi dalam Kajian Hadis Nabi

Khazanah

Tafsir Surah al-Jatsiyah ayat 30: Bekerja Sebagai Bentuk Keimanan

Kajian

Bolehkah Non-Muslim Masuk ke Masjid?

Kajian

catholicnewsagency.com catholicnewsagency.com

Pandangan Paus Fransiskus tentang Anak-Anak

Khazanah

Pandangan Paus Fransiskus terhadap Hak-Hak Perempuan

Khazanah

Tafsir Surah al-Mumtahanah Ayat 8: Menghormati Pemeluk Agama Lain

Khazanah

Trending

Mariam al-‘Ijliya al-Asturlabi Mariam al-‘Ijliya al-Asturlabi

Mariam al-‘Ijliya al-Asturlabi: Ilmuwan Muslimah Berpengaruh di Balik Astrolab

Muslimah Talk

doa baru masuk islam doa baru masuk islam

Doa yang Diajarkan Rasulullah pada Seseorang yang Baru Masuk Islam

Ibadah

Doa Nabi Adam dan Siti Hawa saat Meminta Ampunan kepada Allah

Ibadah

Doa menyembelih hewan akikah Doa menyembelih hewan akikah

Doa yang Diucapkan Ketika Menyembelih Hewan Akikah

Ibadah

Pratiwi Sudarmono Pratiwi Sudarmono

Pratiwi Sudarmono: Muslimah, Putri Ningrat dan Astronot Pertama Asia

Muslimah Talk

Perempuan Mengembalikan Cincin Tunangan Perempuan Mengembalikan Cincin Tunangan

Haruskah Perempuan Mengembalikan Cincin Tunangan Jika Pernikahan Batal?

Kajian

Mengeraskan Bacaan Niat Puasa Mengeraskan Bacaan Niat Puasa

Doa Qunut: Bacaan dan Waktu Pelaksanaannya

Ibadah

Zubaidah binti Ja’far: Muslimah Ahli Konstruksi

Muslimah Talk

Connect