BincangMuslimah.Com – Kata nikah dalam gramatika bahasa Arab termasuk pada bentuk masdar نكاح yang berasal dari kata نكح, mempunyai sinonim تزوج yang berarti perkawinan. Menurut bahasa, nikah berarti adh-dhammu waljam’u artinya bertindih dan berkumpul. Secara terminologi ilmu fikih nikah berarti akad yang mengandung kebolehan melakukan hubungan suami istri dengan memakai lafadz nikah atau tazwij. Dalam syariat Islam, anjuran menikah bahwa sudah diteladankan oleh Nabi dan Rasul Allah. Sebagaimana tergambar juga dalam firman Allah dalam surat ar-rum ayat 21:
ومن آياته أن خلق لكم من أنفسكم أزواجا لتسكنوا إليها وجعل بينكم مودة ورحمة. إن في ذلك لآيات لقوم يتفكرو
Artinya: “Dan di antara tanda-tanda kebesaran-Nya ialah Dia menciptakan untukmu Istri-istri dari jenismu sendiri, engkau cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”
Sebagaimana ayat di atas, anjuran menikah semata untuk mewujudkan kemaslahatan umat. Hal ini berkesinambungan dengan salah satu Maqasid Syariah (prinsip syariah) berupa Hifdzun Nasl atau menjaga keturunan. Bahkan menikah bisa dikatakan dengan menyempurnakan separuh agama menurut hadis riwayat Imam Baihaqi.
Dari aspek sosial, pelaksanaan pernikahan juga tidak bisa lepas dari unsur budaya dan adat istiadat setempat sebagaimana di Indonesia dan terlebih di daerah Jawa yang akan dibahas oleh penulis, di mana masyarakat jawa masih kental dengan kultur leluhurnya. Hal ini biasa kita sebut dengan istilah “kejawen”. Banyak sekali pokok ajaran (filosofi) Jawa yang harus diperhatikan seputar perkawinan mulai dari rangkaian ritual, pertimbangan waktu menurut weton, dan juga pemilihan tempat.
Lalu muncul persoalan perihal bolehkah melaksanakan pernikahan pada bulan Dzulqa’dah atau dalam kalender Jawa disebut bulan Selo?
Dzulqa’dah dalam kalender jawa diartikan dengan selo yang berarti seselane olo atau kesesel barang olo. Dalam bahasa Sunda dan lainnya kerap disebut dengan Hapit atau Apit, begitu pula orang madura menyebutnya Tekepe’ yang berarti terjepit atau terhimpit dua bulan besar (Syawal dan Dzulhijjah). Sebagian kultur masyarakat mempercayai bahwa bulan ini sedang banyak bala’ (bahaya) yang datang, maka dari itu mereka melarang adanya hajatan.
Dalam penelitiannya pada masyarakat Ponorogo, Aneka Tri Puji Lestari menyebutkan ada makna lain yang memungkinkan terjadi kesalahan persepsi masyarakat jawa terhadapnya yaitu kata Qo’dah yang bermakna duduk. Dalam bahasa jawa disebut dengan silo atau duduk bersila, di mana duduk bersila adalah kebiasaan orang yang berdzikir. Maka yang seharusnya mereka yakini, bulan Dzulqa’dah adalah waktu untuk meningkatkan ibadah dan dzikir kita kepada Allah swt. Namun, masyarakat sekitar sana tetap meyakini Dzulqa’dah dengan makna selo.
Dalam syariat Islam sendiri tidak ada bentuk larangan seperti yang demikian. Bahkan didapati dalam sejarah, Rasulullah saw melangsungkan pernikahan dengan ibunda Zainab binti Jahsy r.a di bulan Dzulqa’dah tahun ke-5 Hijriah. Larangan berhubungan badan dalam waktu tertentu memang ada dalam Islam, seperti dalam surat Al-Baqarah:187 tentang larangan jimak siang hari pada bulan Ramadhan. Atau hadis riwayat Muslim, at-Tirmidzi dan An-Nasa’i seputar larangan menikah, melamar serta berhubungan badan sewaktu ihram. Selebihnya tidak ada larangan menikah yang spesifik terlebih berhubungan dengan waktu pelaksanaannya.
Jika ditinjau dalam perspektif fikih, hal ini akan dikaitkan dengan عرف (kebiasaan) sebagai landasan penentuan hukumnya. Urf sendiri dibagi menjadi urf shahih dan fasid. Jika adat Jawa yang demikian ini dirasa bertentangan dengan Syara’, mendatangkan mudarat, dan menghilangkan maslahat, berarti termasuk pada urf fasid yang tidak boleh dilakukan bahkan bisa tergolong syirik pada Allah. Namun bila adat tersebut tidak bertentangan dengan Al-Quran Hadis, mengupayakan terhindar dari mudharat dan mendatangkan maslahat, serta tetap percaya bahwa bulan-bulan hijriah Allah sejatinya tetap mulia di sisi-Nya, maka hal ini termasuk urf shahih dan tetap bisa diterima dari segi agama serta sosialnya.
Wallahu A’lam, demikian penjelasan mengenai melaksanakan pernikahan di bulan Dzulqa’dah. Semoga tulisan ini bermanfaat khususnya untuk generasi muda yang sedang menjadi wasilah untuk masyarakatnya agar setiap apa yang dilakukan tetap berada pada koridor syariat Islam.
3 Comments