BincangMuslimah.Com – Keliru jika Islam dinilai mengunggulkan kaum laki-laki di atas perempuan. Tidak tepat jika Islam dikatakan mendiskriminasi kaum wanita dengan menempatkannya di bawah laki-laki. Anggapan-anggapan tersebut salah satunya berakar dari pemahaman yang keliru terhadap surat An-Nisa’ ayat 34 terutama pada ayat “Arrijal Qowwamun ‘alan Nisaa”, berikut redaksi ayatnya,
اَلرِّجَالُ قَوَّامُوْنَ عَلَى النِّسَاۤءِ بِمَا فَضَّلَ اللّٰهُ بَعْضَهُمْ عَلٰى بَعْضٍ
Yang jika menengok terjemahan Alquran buatan Kemenag kita akan menemukan ayat tersebut diartikan demikian, “Laki-laki (suami) itu pemimpin bagi perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian dari mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan).”
Anggap saja pemaknaan tersebut sesuai. Lantas, bagaimana kita memahami ayat-ayat Alquran lain yang berbicara tentang kedudukan setiap hamba di sisi Allah ditentukan oleh tingkat keimanan bukan atas dasar suku dan ras (Surat al-Hujurat ayat 13)?
Di surat Ali Imran ayat 195 Allah juga berfirman, “Aku tidak menyia-nyiakan amal sholeh di antara kamu sekalian, baik laki-laki maupun perempuan.” Pun, di surat an-Nahl ayat 97 Allah menegaskan, “Barang siapa melakukan kebaikan, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka pasti akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan Kami balas dengan pahala yang lebih baik dari apa yang dia kerjakan.”
Terjemahan tekstual ayat 34 surat al-Nisa’ di atas, cukup membingungkan bukan?
Dalam bukunya “Perempuan dalam Hukum Tirani Barat dan Hukum Islam Rabbani”, Syekh Ramadlan al-Buthi menafsirkan ayat tersebut dengan cukup menarik.
Lafadz قوامون dalam ayat tersebut berasal dari kata قوامة yang bermakna pengawasan, pengelolaan, manajemen, dan kepemimpinan. Dalam konteks keluarga, maka manajemen yang dimaksud mencakup semua aspek kehidupan berumah tangga. Seperti keuangan, kesehatan serta keamaan anggota keluarga, pendidikan anak, dan lain-lain yang mana masing-masing dari aspek tersebut bukanlah perkara mudah untuk mengelolanya.
Dalam sebuah hadits hasan, Rasulullah Saw. berkata “Jika tiga orang bepergian, maka tunjuklah satu orang pemimpin di antara kalian.” Keberadaan pemimpin tersebut tidak lain untuk mempermudah urusan selama perjalanan. Jika sesuatu terjadi, maka pemimpinlah yang paling bertanggung jawab, dengan tanpa mengurangi tanggung jawab setiap anggota yang lain. Jika dalam urusan bepergian saja diperlukan ada sosok koordinator untuk mempermudah, apalagi dalam urusan rumah tangga.
Menjadi pemimpin bukan berarti menjadikan seseorang lebih unggul atau lebih mulia di atas anggota lainnya. Justru dia mempunyai kewajiban dan tanggung jawab lebih yang harus dikerjakan. Pemimpin tidak lah harus orang yang paling mulia atau orang yang banyak beramal baik di antara para anggota. Pemimpin cukup orang yang dirasa sesuai dan mampu memegang tanggung jawab atas anggotanya.
Lantas dalam ayat 34 surat an-Nisa’ mengapa laki-laki yang disebut sebagai pemimpin atau pengelola?
Umumnya, dari sisi biologis perempuan melewati fase-fase yang mustahil dilalui seorang laki-laki. Seperti mengandung, melahirkan dan menyusui. Selama tiga fase ini perempuan mengalami banyak perubahan fisik yang tak jarang membuat mereka merasa aktivitas sehari-hari lebih berat.
Oleh karena perempuan secara biologis sudah menanggung tanggung jawab mengandung, melahirkan dan menyusui, maka akan cukup adil jika laki-laki lah yang memegang tanggung jawab dalam hal manajemen rumah tangga. Kalau perempuan lagi-lagi harus mengelola urusan rumah tangga di saat hamil atau menyusui, bisa dibayangkan betapa timpangnya pembagian tanggung jawab di dalam rumah.
Sangat keliru jika ayat 34 surat an-Nisa tepatnya pada redaksi “Arrijal Qowwamun ‘alan Nisaa” dinilai mengunggulkan laki-laki dan mendiskriminasi perempuan. Justru ayat tersebut ingin menyampaikan nilai-nilai kesetaraan antara suami dan istri dalam rumah tangga. Pertanyaan selanjutnya, bagaimana jika faktanya sang istri lebih kompeten untuk mengelola urusan rumah tangga sedangkan yang disebut dalam ayat adalah laki-laki?
Syekh Ramadhan al-Buthi secara lugas mengatakan, ayat tersebut adalah bentuk informasi atau kabar Allah tentang kondisi yang sering terjadi. Dan bukan bentuk sebuah kewajiban yang harus dilakukan oleh setiap keluarga. Sehingga sah-sah saja jika urusan menejemen rumah tangga disesuaikan dengan kapasitas masing-masing dari suami-istri atas kesepakatan kedua belah pihak. .
Lantas, di ayat 34 surat an-Nisa ada potongan yang berarti, “Allah memuliakan sebagian mereka di atas sebagian yang lain.” Tidak tepat jika yang dimaksud adalah Allah memuliakan laki-laki di atas perempuan. Sebab kata ‘mereka’ di sini bersifat umum, bisa laki-laki, bisa perempuan. Maksudnya, Allah menganugerahi mereka (laki-laki dan perempuan) kemampuan atau kapasitas di atas yang lain sehingga mereka dapat bekerja sama dengan baik.
Dari ulasan di atas, kita dapati bahwa maksud potongan ayat yang berbunyi “Arrijal Qowwamun ‘alan Nisaa” bermakna tanggung jawab memimpin dan mengelola rumah tangga. Lafaz قوامة yang bermakna tanggung jawab dalam surat an-Nisa tersebut tidak mutlak dipegang oleh seorang suami. Sekalipun suami yang memegang kendali tersebut, akan tetapi relasi kepemimpinan yang dimaksud bukanlah relasi penguasaan atas anggota keluarga lain sehingga boleh bersikap sewenang wenang. Akan tetapi relasi kepemimpinan yang dimaksud adalah relasi kerja sama dalam memanajemen dan mengolah urusan rumah tangga.
3 Comments