BincangMuslimah.Com – Ketika shalat, muslimah harus menutupi auratnya yang mencakup seluruh anggota badan, kecuali muka dan telapak tangan. Yang sering luput dari perhatian adalah bahwa dagu juga termasuk dari aurat sehingga harus wajib ditutupi ketika shalat.
Sebelum membahas diskusi para ulama terkait dagu, mari kita simak batasan aurat yang telah disebutkan oleh Imam Nawawi. Dalam kitab fenomenalnya Safinatun Naja, Imam Nawawi mengklasifikan aurat berdasarkan status dari seorang muslim itu sendiri dan keadaannya.
الْعَوْرَاتُ أَرْبَعٌ عَوْرَةُ الرَّجُلِ مُطْلَقًا والْأمَةِ فِي الصَّلَاةِ مَا بَيْنَ السُّرَّةِ وَالرُّكْبَةِ, وَعَوْرَةُ الْحُرَّةِ فِي الصَّلَأةِ جَمِيْعُ بَدَنِهَا مَاسِوَى الْوَجْهِ والْكُفَّيْنِ, وَعَوْرَة الْحُرَّةِ والْأمَةِ عِنْدَ الْأجَانِبِ جَمِيْعُ الْبَدَنِ وَعِنْدَ مَحَارِمِهَا وَالنِّسَاء مَابَيْنَ السُّرَّةِ وَالرُّكْبَةِ.
Macam-macam aurat ada empat, yaitu :
- Aurat semua laki-laki (merdeka atau budak) dan budak perempuan ketika salat yaitu antara pusar dan lutut.
- Aurat perempuan merdeka ketika shalat yaitu seluruh badan kecuali muka dan telapak tangan.
- Aurat perempuan merdeka dan budak terhadap laki-laki ajnabi (bukan mahram) yaitu seluruh badan.
- Aurat perempuan merdeka dan budak terhadap laki-laki muhrimnya dan perempuan lainnya yaitu antara pusar dan lutut.
Dalam kitab Hasyiyah al-Bajuri, Syekh Ibrahim al-Bajuri mengatakan bahwa para ulama menyepakati akan adanya larangan membuka wajah bagi para wanita. Tujuan dari adanya syariat ini adalah sebagai tindakan preventif terhadap perbuatan yang bisa menjerumuskan kepada perzinaan, sebab memandang wajah mereka berpotensi akan menimbulkan syahwat dan godaan.
Namun, para ulama Syafi’iyah lainnya ada yang berpendapat bahwa hukum membuka wajah masih diperbolehkan karena masih dalam cakupan potongan ayat yang mereka tafsiri dengan wajah dan telapak tangan.
وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا
“….Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) tampak dari padanya.” (QS. an-Nur [24]: 31)
Potongan ayat tersebut juga ditafsiri oleh para ulama seperti Abu Ishaq as-Suba’i bahwa yang dimaksud dengan kata “kecuali yang (biasa) tampak dari padanya” adalah anting-anting, gelang tangan, dan gelang kaki.
Persoalan berikutnya adalah mengenai batasan yang dianggap sebagai wajah yang menjadi masalah khilafiyah di kalangan para ulama. Salah satu ulama yang menjelaskan batasan wajah adalah imam asy-Syirazi dengan mengatakan dalam kitabnya al-Muhadzdzab:
والوجه ما بين منابت شعر الرأس إلى الذقن و منتهى اللحيين طولاً، ومن الأذن إلى الأذن عرضاً
Artinya: “Dan adapun wajah adalah wilayah antara tempat tumbuhnya rambut kepala sampai ke dagu dan ujung dua rahang. Sementara batas membentangnya adalah antara telinga sampai telinga yang lainnya.”
Lebih lanjut, Imam Nawawi menyebutkan di dalam kitab al-Majmu’ bahwa batasan yang telah dijelaskan oleh imam Syairazi merupakan pendapat yang benar dan sesuai dengan apa yang ditegaskan oleh imam Syafii
Berdasarkan penjelasan tentang batasan wajah yang telah dipaparkan di atas, maka dapat diketahui bahwa menurut ulama Syafi’iyah bagian bawah dagu (yang merupakan wilayah antara ujung janggut dan leher) bukanlah termasuk dari bagian yang dinamakan dengan wajah. Oleh karenanya, bagian bawah dagu merupakan daerah yang dihitung sebagai aurat dan wajib ditutupi ketika shalat.
Berdasarkan hal ini pula yang menjadi landasan sebagian ulama yang mengatakan bahwa hukum bercadar tidaklah wajib karena wajah adalah bagian yang boleh ditampakkan, sebagaimana definisi wajah yang telah disebutkan di atas.
Bagian bawah dagu ini adalah daerah yang seringkali tidak diketahui oleh para perempuan sebagai aurat yang wajib ditutupi ketika shalat. Oleh karenanya, sangat perlu untuk kembali mengedukasi para perempuan muslimah yang ada di Indonesia secara khusus mengenai aurat yang wajib mereka tutupi ketika shalat, mengingat mayoritas penduduk muslim yang adalah mereka yang bermazhab Syafii yang berpendapat bahwa bagian bawah dagu wajib ditutupi karena merupa aurat bagi perempuan.