BincangMuslimah.Com – Dalam banyak literatur, seorang nabi atau rasul digambarkan sebagai sosok manusia utusan Allah Swt. yang dikirim ke bumi untuk menyebarkan risalahNya. Mereka adalah orang-orang yang berakhlak mulia, taat beribadah, dan tidak pernah melakukan suatu perbuatan dosa (maksum). Sehingga meniru, mentaati, dan meneladani mereka adalah suatu hal yang bisa mengantarkan umat manusia menuju ketenangan, kedamaian dan ketentraman hidup.
Dewasa ini, mungkin kita bisa menyebutkan dua puluh lima nama nabi dan rasul Allah SWT. yang wajib diketahui dengan lancar, berkat nyanyian-nyanyian di waktu kecil yang diajarkan guru dan orang tua. Sayangnya, memori nama-nama nabi dan rasul yang semuanya laki-laki tersebut telah menempel di ingatan, seolah membangun asumsi bahwa mereka semua berasal dari kalangan laki-laki, tidak ada seorang nabi yang berasal dari kalangan perempuan. Hal ini pun didukung dengan tradisi penyebutan nabi dan rasul selama ini yang selalu disandarkan kepada lelaki sholeh. Berbeda dengan sosok wanita sholehah, sekalipun ia telah banyak dikaruniai Allah Swt. kelebihan-kelebihan di luar kebiasaan, seperti Maryam Ibunda Nabi Isa a.s. Padahal ulama kita masih berbeda-beda pendapat terkait hal ini.
Menyoal kemungkinan adanya seorang rasul dari kalangan perempuan, memang ulama kita telah sepakat bahwa seluruh rasul dari kaum laki-laki. Hal ini selaras dengan firman Allah Swt. yang termaktub berulang-ulang dalam Alquran. Salah satunya dalam surat Yusuf ayat 109.
وَمَآ اَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ اِلَّا رِجَالًا نُّوْحِيْٓ اِلَيْهِمْ
“Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu (Muhammad), melainkan orang laki-laki yang Kami beri Wahyu.”
Akan tetapi, soal kebolehan seorang nabi dari kalangan perempuan para ulama berbeda pendapat. Mayoritas ulama mengatakan bahwa seorang nabi mesti dari kalangan laki-laki. Menolak pendapat tersebut, beberapa ulama terkemuka mengatakan bahwa seorang Nabi tidak mesti dari kalangan laki-laki. Mereka adalah Imam Qurthubi, Imam Abul Hasan al-Asy’ari dan Imam Ibnu Hazm. Kelompok ini meyakini ada segolongan perempuan yang juga merupakan sosok Nabi. Seperti Maryam, Asiyah, Ibunda Nabi Musa a.s, Hajar, dan lain-lain. Menyikapi kedua pendapat tersebut, ada juga segolongan ulama yang mengambil jalan tengah. Yakni tidak memihak keduanya dan menyerahkan jawaban tersebut kepada Allah Swt.
Imam Abul Hasan al-Asy’ari berpendapat bahwa setiap insan yang didatangi oleh malaikat Allah dengan membawa sebuah hukum, baik baik berupa perintah, larangan, atau pun pernyataan kenabian, maka insan tersebut merupakan seorang Nabi Allah Swt. Merujuk pendapat ini, dalam kisah Maryam saat diberitahu akan mengandung seorang anak oleh malaikat dan dan Ibunda Nabi Musa As. saat diperintahkan untuk menghanyutkan Nabi Musa a.s. di sungai, maka keduanya masuk kriteria seorang Nabi. Bahkan tidak hanya Maryam dan Ibunda Nabi Isa a.s, banyak sosok perempuan lain yang telah didatangi oleh malaikat dengan membawa sebuah kabar dan kisahnya termaktub dalam Alquran. Seperti kisah Asiyah istri Fir’aun, Sarah dan Hajar istri Nabi Ibrahim a.s.
Lebih dalam lagi, Imam Ibnu Hazm dalam kitabnya al-Fashl fi al-Milal wa al-Hawâ’ wa al-Nihal menjelaskan asal muasal kalimat “nabi” adalah lafaz al-inbâ’ yang artinya memberi berita. Artinya, siapa saja yang mendapat kabar dari Allah Swt. lewat malaikat tentang sesuatu yang akan terjadi di masa mendatang, atau tentang suatu hukum (bisa berupa perintah atau larangan), maka sudah jelas orang tersebut adalah seorang nabi. Sebagaimana maksud asal katanya.
Secara tegas, Imam Ibnu Hazm mengatakan “Tidak ada suatu hal apapun yang menghalangi kebolehan kenabian seorang perempuan. Jika ayat Alquran mengatakan وما أرسلنا من قبلك إلا رجالا نوحي إليهم (Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu (Muhammad), melainkan orang laki-laki yang Kami beri Wahyu), maka ayat ini hanya berlaku untuk rasul. Tidak dengan Nabi.”
Mayoritas ulama yang mengamini keharusan nabi dari kalangan laki-laki berasaskan ayat 109 Surat Yusuf tersebut. Bahwa Allah hanya mengutus seorang laki-laki dari hambanya untuk menjadi rasul maupun nabi, berbeda dengan penafsiran Imam Ibnu Hazm. Selain itu, mereka juga berpendapat bahwa setiap orang yang pernah didatangi oleh malaikat tidak menjamin bahwa dia sebagai seorang nabi. Sebab ada beberapa riwayat di mana malaikat mendatangi seorang laki-laki shalih, dan dia memberi kabar bahwa Allah mencintainya. Dalam kasus Maryam, Ibunda Nabi Isa a.s, mereka menyebutnya sebagai seorang Shiddiqah, tidak sampai derajat Nabi. Hal ini merujuk pada Alquran surat Al-Maidah ayat 75.
وَاُمُّهٗ صِدِّيْقَةٌ
“Dan ibunya adalah perempuan yang berpegang teguh pada kebenaran.”
Demikianlah sekilas bagaimana perbedaan pendapat ulama kita tentang pendapat ulama mengenai seorang nabi dari kalangan perempuan. Masing-masing pendapat memiliki argumentasi yang kuat, sekalipun salah satunya dibenarkan oleh banyak ulama. Akan tetapi, juga bukan masalah yang besar jika kita mengamini pendapat minoritas. Sebab perdebatan persoalan ini tidak merusak rukun-rukun iman yang krusial. Pun pendapat-pendapat di atas masih dalam koridor Ahlussunnah wal-Jama’ah. Wallahu a’lam bi al-shawâb.
1 Comment