BincangMuslimah.Com – Sering kita jumpai seseorang memberi hadiah kepada sahabatnya di acara wisuda, kakak memberi hadiah tas keinginan adiknya, dan kerabat memberi hadiah alat rumah tangga di acara resepsi pernikahan. Agar lebih bermakna, terdapat tujuh adab ketika seseorang menerima hadiah menurut Imam Ghazali.
Saling Memberi adalah Sunah Nabi
Sebelum membahas lebih jauh, perlu digaris bawah bahwa saling memberi termasuk sunah Nabi. Hal ini mengacu pada hadis Rasulullah saw. yang diriwayatkan dari Abu Hurairah sebagai berikut:
تَهَأدُوْا تَحَأبُّوْا
Artinya: “Salinglah memberi hadiah, maka kalian akan saling mencintai.” (HR. Muslim)
Adab Menerima Hadiah
Memberi hadiah sama dengan membagi kebahagiaan dengan orang lain. Walaupun nominal dari harga tidak mahal, namun sering kali makna memberi lebih berarti daripada isinya. Sebagai timbal balik, apa yang seharusnya dilakukan oleh penerima?
Menjawab ini, Imam Ghazali dalam Majmu’ah ar-Rasail halaman 439 menyebutkan adab-adab yang sebaiknya dilakukan oleh orang yang menerima hadiah.
آداب المهدى إليه: إظهار السرور بها وإن قلت ، والدعاء لصاحبها إذا غاب. والبشاشة إذا حضر ، والمكافأة إذا قدر ، والثناء عليه إذا أمكن ، وترك الخضوع له والتحفظ من ذهاب الدين معه ونفي الطمع معه ثانيا
Artinya: “Adab penerima hadiah: memperlihatkan rasa gembira walaupun hadiahnya sedikit, segera mendoakan kebaikan atas diri pemberi ketika ia sudah pergi, menampakkan keceriaan saat berhadapan dengan sang pemberi, membalas jika mampu, memujinya jika mungkin, tidak tunduk kepadanya, menjaga jangan sampai pemberian tersebut mengakibatkan hilangnya agama, dan jangan sampai berharap agar diberi hadiah lagi yang kedua kali dari orang yang sama.”
Mengacu pada keterangan di atas, terdapat delapan adab yang dianjurkan bagi penerima hadiah. Rinciannya adalah sebagai berikut:
Pertama, memperlihatkan rasa gembira walaupun hadiahnya sedikit
Penerima hadiah seharusnya menampakkan wajah yang ceria, bukan diam, apalagi menyinggung bahwa harga barang yang diberikan bernilai rendah. Berapapun nilai dari hadiahnya tidak menjadi masalah. Tidak semuanya diukur dari materi, tapi harus dilihat juga usaha pemberi untuk memberi hadiah. Mulai dari mencari, membungkus, dan membawanya pada penerima.
Kedua, segera mendoakan kebaikan atas diri pemberi ketika ia sudah pergi
Mungkin terdengar agak asing ya? Kenapa harus didoakan setelah kepergian si pemberi? Umumnya, jika ada yang memberi maka kita langsung mengucapkan جَزَأكَ اللَّهُ خَيْرًا yang artinya semoga Allah membalas kebaikan kamu. Kemudian dijawab oleh pemberi وَإيَّاك yang artinya semoga kamu juga.
Ternyata, ada hadis yang mengatakan, mendoakan dalam keadaan sirr atau secara pelan lebih dianjurkan. Keterangan ini berdasarkan hadis nabi yang berbunyi:
مَا مِنْ عَبْدٍ مُسْلِمٍ يَدْعُو لِأَخِيهِ بِظَهْرِ الْغَيْبِ، إِلَّا قَالَ الْمَلَكُ: وَلَكَ بِمِثْلٍ
Artinya: “Tidaklah ada seorang hamba Muslim yang mendoakan saudaranya muslim tanpa sepengetahuan orang yang didoakan kecuali malaikat mendoakan orang yang berdoa tersebut dengan kalimat, ‘Kamu juga mendapatkan sebagaimana doa yang kamu lantunkan itu.’” [HR Muslim]
Ketiga, menampakkan keceriaan saat berhadapan dengan sang pemberi
Wajah berseri dapat membuat pemberi merasa usahanya dihargai. Wajah berseri ini juga menunjukkan bahwa penerima merasa senang karena ia telah diberi hadiah. Meskipun hadiah yang diberikan mungkin bukan hal yang diinginkan penerima, menunjukkan rasa kecewa tentu tidak dibenarkan. Hal itu dikhawatirkan membuat hati pemberi tersakiti.
Keempat, membalas jika mampu
Adab ini berlaku bagi orang yang berkecukupan. Misalnya, seseorang memberikan hadiah di hari ulang tahun sahabatnya, alangkah baiknya untuk membalas perbuatan ini dengan memberi hadiah juga bagi sahabatnya di momentum tertentu.
Namun, jika dirasa memberatkan, tentu tidak harus dipaksakan. Karena pada dasarnya memberi hadiah termasuk salah satu akad tabarru’, yang artinya tidak perlu ada timbal balik bagi orang yang terlibat.
Kelima, memujinya jika mungkin
Dengan memuji hadiah yang diberikan akan membuat hati pemberi senang karena merasa apa yang dia lakukan bermanfaat. Misalnya, dengan mengucapkan, “Masyaallah, buku ini memang sebenarnya mau aku beli” atau “Bagus sekali hadiahnya, kamu pintar pilih warna yang cocok untukku”. Meskipun sederhana, kata-kata ini mampu meluluhkan hati pemberi.
Keenam, tidak tunduk kepada keinginan pemberi
Maksudnya adalah penerima tidak perlu mengiyakan semua keinginan pemberi. Jika kita kaitkan kasusnya dengan fenomena pemilu 2024, mungkin sering kita dijumpai contohnya. Calon-calon anggota legislatif memberikan hadiah kepada beberapa tokoh masyarakat dengan harapan adanya timbal balik agar mereka dipilih di hari pencoblosan Keinginan ini tidak perlu diikuti karena sama saja dengan perbuatan menyuap. Jelas, hal ini dilarang oleh agama.
Ketujuh, menjaga jangan sampai pemberian tersebut mengakibatkan hilangnya agama
Tidak berbeda dengan poin keenam, maksud poin ini adalah bahwa penerima harus menjaga dirinya akibat dari menerima hadiah. Jangan sampai dengan penerimaan tersebut, ia menjadi orang zalim. Jangan sampai hanya karena urusan duniawi, ia melupakan hal-hal ukhrawi.
Kedelapan, jangan sampai berharap agar diberi hadiah lagi yang kedua kali dari orang yang sama
Poin ini erat kaitannya dengan sifat tamak. Tamak harus dihindari karena tamak adalah sumber keburukan lain. Dalam kitab Al-Hikam karya Syekh Ibnu Atha’illah pada hikmah ke 60 menyebutkan,
مَا بَسَقَتْ أَغْصَانُ ذُلِّ إلَّا علَى بذْرِ طَمَعِ
Artinya: “Tidaklah menjulang tinggi cabang kehinaan kecuali dari benih-benih tamak”
Itulah delapan adab yang bisa kita praktikkan ketika menerima hadiah yang dipaparkan oleh Imam Ghazali. Dengan adanya adab ini, penerima bisa menjaga dirinya dan pemberi juga merasa usahanya dihargai.
4 Comments