BincangMuslimah.Com – Pada acara “Temu Konsultasi Lembaga Konsultasi Syariah” yang dilaksanakan 3-5 September 2021 di hotel Qubika, Serpong, KH. Asrori Ni’am Sholeh, Ketua Bidang Fatwa MUI Pusat menjelaskan proses perumusan fatwa berbasis moderasi beragama yang terus digalangkan oleh Kemenag.
KH. Asrori Ni’am Sholeh merupakan akademisi sekaligus tokoh agama yang telah memiliki banyak jam terbang di bidang pendidikan, keislaman, bahkan perlindungan anak. Sebelumnya, beliau pernah menjabat sebagai ketua Komisi Perlindungan Anak periode 2014-2017. Kiprah beliau di MUI dimulai sejak tahun 2015 sebagai Sekretaris Komisi Fatwa MUI. Lalu kini beliau menjabat sebagai Ketua Bidang Fatwa MUI.
Dalam kesempatan Temu Konsultasi ini, beliau memaparkan secara detil tentang proses perumusan fatwa yang dilakukan oleh MUI beserta contoh fatwa apa saja yang telah dilahirkan. Sebagai lembaga yang bertanggung jawab dan berperan dalam menjawab persoalan agama Islam.
MUI mengedepankan prinsip menghindari ruang perdebatan dari fatwa yang dihasilkan. Adapun perumusan fatwa dilakukan tidak hanya bersifat responsif yang berarti timbul dari pertanyaan masyarakat, tapi juga bersifat proaktif, menanggapi isu yang ada atau muncul karena urgensi tertentu. Juga bersifat antisipatif yang meskipun kasusnya belum ada, tapi fatwa muncul akibat perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan.
Selain itu, fatwa bersifat argumentatif yang berarti memiliki hujjah yang kuat dari referensi yang dipercaya. Selain itu, fatwa bersifat legitimatif yang artinya bisa dijadikan pedoman hukum dan dijamin keabsahannya. Juga bersifat kontekstual, aplikatif, dan tentunya moderat.
Sebelum fatwa dirumuskan, perlu dilakukan riset terhadap permasalahan yang akan dirumuskan fatwanya. Sehingga dalam perumusan, masalah yang akan ditemukan fatwanya adalah masalah yang sudah jelas dan rinci yang tentunya akan berpengaruh pada hasil fatwa itu sendiri. Riset dari masalah yang dirumuskan fatwanya juga merupakan proses riset yang mendalam sesuai bidangnya. Misal, saat perumusan fatwa hukum vaksinasi, riset dilakukan bersama ahli sains dan tenaga kesehatan yang mengerti proses pembuatan vaksin.
Hal yang dilakukan setelah riset dilakukan adalah melakukan pendekatan dalam perumusan fatwa. Pertama, pendekatan dengan nash qath’iyy yang merujuk pada Alquran dan Hadis. Jikalau tidak ditemukan secara eksplit, maka pendekatan beralih pada pendekatan qauliy dengan merujuk pada kitab-kitab yang diakui dari para ulama. Jika tidak juga ditemukan maka dilakukan dengan pendekatan manhajiy dengan melakukan ijtihad yang berpedoman pada kaidah-kaidah metode pengambilan hukum (ushul fiqih).
Berdasarkan penuturan KH. Asrori Ni’am Sholeh, fatwa tidak bersifat voting, tapi hujjah terkuat. Jikalau ternyata ditemukan hasil perumusan yang berbeda, maka perbedaan tersebut akan disajikan berdasarkan referensi yang mu’tabarot (kredibel/ diakui). Berbasis moderasi agama berarti bersifat toleransi dan menerima perbedaan. Tapi bukan berarti bersifat permisif yang berarti membolehkan segala tindakan bahkan penyimpangan. Ada prinsip-prinsip dasar yang mesti dipegang teguh.
Penjelasan detil yang dituturkan oleh KH. Asrori memberikan gambaran kepada kita bahwa perumusan fatwa bukanlah proses yang mudah. Tentu mufti-mufti yang terlibat di dalamnya adalah para tokoh yang mumpuni dalam bidang agama.