Ikuti Kami

Muslimah Talk

Segera Tayang Berikut Persamaan Film Grave of The Fireflies dengan Kondisi Gaza Saat Ini

Segera Tayang Berikut Persamaan Film Grave of The Fireflies dengan Kondisi Gaza Saat Ini

BincangMuslimah.Com- Bagi para pencinta film animasi Jepang dan penggemar Studio Ghibli, tentu sudah tidak asing dengan film legendaris Grave of the Fireflies (Hotaru no Haka). Kabarnya, animasi ini akan tayang secara resmi di bioskop Indonesia dalam waktu dekat.

Karya masterpiece dari sutradara Isao Takahata ini sesungguhnya bukanlah animasi baru. Grave of the Fireflies pertama kali rilis pada tahun 1988, dan menjadi salah satu film animasi yang dianggap paling berpengaruh sepanjang masa. Berbeda dengan film animasi pada umumnya, kisah ini membawa penonton ke masa kelam Jepang pada akhir Perang Dunia II. Dengan melalui sudut pandang dua anak kakak-beradik yaitu Seita dan Setsuko.

Keduanya berjuang bertahan hidup setelah kehilangan orang tua dan rumah mereka akibat serangan udara. Dengan gaya visual yang tenang namun emosional, dan tanpa perlu bumbu fantasi khas Studio Ghibli lainnya, film ini menjadi simbol nyata akan dampak perang terhadap anak-anak dan kemanusiaan. Banyak kritikus menilai film ini sebagai animasi anti-perang terbaik yang pernah dibuat

Cuplikan Paling Menyayat Hati dari Film Grave of the Fireflies: Saat Setsuko Memakan Batu

Grave of the Fireflies bukan sekadar film animasi. Ia adalah potret menyayat hati tentang kepedihan, kehilangan, dan kehancuran yang dibawa oleh perang. Di antara banyak adegan memilukan dalam film ini, ada satu cuplikan yang paling menyakitkan secara emosional.

Adegan ini adalah ketika Setsuko, adik kecil dari Seita, mulai mengalami halusinasi akibat kelaparan dan secara tidak sadar memakan batu yang ia kira adalah permen atau makanan. Menjelang akhir film, Seita dan Setsuko telah benar-benar kehilangan segalanya.

Rumah, keluarga, makanan, dan harapan. Mereka tinggal dalam sebuah tempat perlindungan sederhana, sebuah gua tua yang sunyi dan gelap. Persediaan makanan hampir tidak ada, dan upaya Seita untuk mendapatkan bantuan dari masyarakat atau pemerintah lokal tidak membuahkan hasil. Kelaparan mulai merusak tubuh dan pikiran Setsuko yang masih sangat belia.

Baca Juga:  Zainab Al-Ghazali; Mufassir Perempuan Pelopor Feminisme Islam

Dalam salah satu momen paling memilukan, Seita kembali ke tempat persembunyian mereka setelah mencoba mencari makanan. Ia mendapati Setsuko yang terlihat sangat lemah, duduk di tanah sambil membungkus sesuatu dalam daun besar.

Saat Seita mendekat, ia menyadari bahwa Setsuko sedang “bermain masak-masakan”suatu hal yang wajar bagi anak kecil. Namun permainan ini sangat berbeda, Setsuko mengira ia sedang memakan onigiri (nasi kepal), padahal yang ia masukkan ke mulutnya hanyalah pasir dan kerikil.

Dengan suara lemah dan penuh imajinasi polos, Setsuko berkata bahwa dia membuat makanan untuk kakaknya, sambil menawarkan “nasi” yang sebenarnya hanyalah batu yang dibentuk. Seita tidak bisa berkata apa-apa. Ia hanya bisa menatap adiknya dengan mata yang mulai berkaca-kaca, menahan amarah terhadap dunia dan kesedihan yang tak tertahankan.

Simbolisme dan Makna: Perang Merebut Tawa dan Masa Depan Anak

Cuplikan ini begitu menyentuh karena memperlihatkan betapa brutalnya dampak perang terhadap anak-anak. Setsuko, yang seharusnya bermain dan tertawa seperti anak kecil lainnya, dipaksa menghadapi kematian perlahan karena kelaparan. Imajinasi polosnya menjadi satu-satunya pelarian dari rasa lapar yang menyiksa.

Adegan ini juga mencerminkan ironi tragis dari dua sisi. Jepang, pada titik itu dalam sejarahnya, sedang menghadapi kekalahan besar, dan sistem sosialnya runtuh. Namun di tengah reruntuhan itu, seorang anak kecil memakan batu karena ia percaya itu adalah makanan.

Bagian ini menjadi simbol kekejaman perang yang tak terlihat di medan tempur. Penderitaan sipil, terutama anak-anak, yang tak punya tempat berlindung, suara untuk didengar, atau makanan untuk dimakan. Dalam dunia animasi yang sering kali diisi dengan warna dan keajaiban, cuplikan ini adalah seruan sunyi tentang realitas kelam yang tak boleh dilupakan. Ini bukan hanya adegan sedih. Namun merupakan pukulan emosional yang dalam dan nyata bagi siapa saja yang menontonnya.

Baca Juga:  Doa Rasulullah Mendatangkan Hidayah: Kisah Ibunda Abu Hurairah Masuk Islam

Dari pertengahan film sampai akhir, penulis menonton animasi ini dengan perasaan hancur dan air mata terisak. Padahal tidak ada disematkan musik dramatis yang berlebihan. Hanya suara alam, napas lemah Setsuko, dan ekspresi putus asa dari Seita yang membuat penulis, sulit (bahkan tidak sanggup) untuk menonton ulang.

Bahkan saat menulis artikel ini, penulis berkali-kali memicingkan mata dan menguatkan hati saat menggali ingatan akan adegan-adegan di atas. Sangat dianjurkan menonton film ini dengan hati yang utuh, dengan suasana yang sedang lapang.

Refleksi Kemanusiaan: Ada Kesamaan Antara Film Animasi Grave of the Fireflies dengan Kondisi Gaza saat Ini

Lebih dari tiga dekade sejak perilisannya, Grave of the Fireflies, tetap relevan hingga hari ini. Film yang mengisahkan penderitaan dua anak akibat Perang Dunia II tersebut kini mencerminkan realita tragis yang tengah berlangsung di dunia nyata khususnya di Gaza. Konflik berkepanjangan telah merenggut ribuan nyawa dan meninggalkan luka kemanusiaan yang dalam.

Dalam film Grave of the Fireflies, kita melihat kisah Seita dan Setsuko, dua anak Jepang yang kehilangan rumah, keluarga, dan harapan karena serangan udara. Mereka tersisih dari masyarakat, hidup di pengungsian, dan perlahan-lahan mati karena kelaparan dan kesepian.

Hal yang memilukan adalah bagaimana nasib anak-anak di Gaza saat ini mencerminkan kisah fiktif tersebut, namun dalam kenyataan yang lebih brutal. Ribuan anak Palestina kehilangan orang tua, tempat tinggal, dan akses terhadap makanan, air bersih, dan layanan kesehatan karena serangan militer dan blokade yang terus berlangsung.

Grave of the Fireflies menunjukkan bagaimana masyarakat sekitar gagal menolong Seita dan Setsuko. Mereka menjadi “terlupakan” di tengah kekacauan dan kepentingan politik. Hal serupa terjadi di Gaza, di mana dukungan kemanusiaan sering tertahan oleh perhitungan politik dan kebijakan internasional yang kompleks.

Baca Juga:  Loujain al-Hathloul, Bebas dari Penjara Usai Perjuangkan Hak Mengemudi Perempuan Arab Saudi

Harapan Bisa Cepat Padam Jika Tanpa Penjagaan

Banyak keluarga di Gaza hidup tanpa listrik, makanan, atau perlindungan, sementara dunia luar sering kali hanya menjadi penonton dari jauh persis seperti bagaimana warga sekitar dalam film hanya bisa melihat penderitaan dua anak kecil tanpa campur tangan berarti.

Setsuko, yang perlahan-lahan mati karena kelaparan, menjadi gambaran simbolis dari trauma masa kanak-kanak yang tak tertolong. Di Gaza, banyak anak mengalami trauma psikologis berat, kehilangan seluruh anggota keluarga, melihat rumah hancur, atau harus tumbuh dalam pengungsian tanpa kepastian masa depan.

Menurut berbagai laporan kemanusiaan, lebih dari separuh penduduk Gaza adalah anak-anak, dan mereka yang selamat dari serangan fisik kini harus menghadapi dampak jangka panjang dari trauma psikologis, mirip seperti luka batin mendalam di film.

Dalam film, kunang-kunang menjadi simbol kehidupan singkat namun bercahaya, dan harapan kecil di tengah gelapnya dunia. Namun mereka juga mengingatkan bahwa harapan bisa padam dengan cepat jika tidak dijaga.

Di Gaza, harapan masih bersinar dalam bentuk solidaritas kemanusiaan, bantuan internasional, dan suara-suara dari seluruh dunia yang menyerukan perdamaian dan keadilan. Tapi seperti kunang-kunang, harapan itu rapuh dan jika dunia terus abai, cahaya itu bisa padam.

Grave of the Fireflies mungkin adalah film animasi, tetapi pesan kemanusiaannya sangat nyata. Kisah dua anak yang dihancurkan oleh perang kini terpantul jelas di wajah anak-anak Gaza. Bedanya, kali ini kita bukan penonton film, kita adalah bagian dari dunia yang bisa memilih untuk bersikap. Kisah Seita dan Setsuko adalah peringatan abadi, bahwa ketika anak-anak menjadi korban, tak ada lagi pemenang dalam perang.

 

Rekomendasi

Stop Sebarkan Surat Wasiat, Foto, dan Video Korban Bunuh Diri di Media Sosial Stop Sebarkan Surat Wasiat, Foto, dan Video Korban Bunuh Diri di Media Sosial

Stop Sebarkan Surat Wasiat, Foto, dan Video Korban Bunuh Diri di Media Sosial

Tidak Ada Kata Terlambat dalam Pendidikan dan Karir bagi Perempuan Tidak Ada Kata Terlambat dalam Pendidikan dan Karir bagi Perempuan

Tidak Ada Kata Terlambat dalam Pendidikan dan Karir bagi Perempuan

Maulid Nabi dan Boneka Pengantin di Mesir  Maulid Nabi dan Boneka Pengantin di Mesir 

Maulid Nabi dan Boneka Pengantin di Mesir 

Tragedi Ibu dan Anak di Bandung, Mengapa Kasus Filisida Masih Terjadi di Indonesia? Tragedi Ibu dan Anak di Bandung, Mengapa Kasus Filisida Masih Terjadi di Indonesia?

Tragedi Ibu dan Anak di Bandung, Mengapa Kasus Filisida Masih Terjadi di Indonesia?

Ditulis oleh

Melayu udik yang berniat jadi abadi. Pernah berkuliah di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, jurusan Jurnalistik (2014), aktif di LPM Institut (2017), dan Reporter Watchdoc (2019). Baca juga karya Aisyah lainnya di Wattpad @Desstre dan Blog pribadi https://tulisanaisyahnursyamsi.blogspot.com

1 Komentar

1 Comment

Komentari

Terbaru

Urgensi Jihad Lingkungan dalam Menghadapi Krisis Iklim Global Urgensi Jihad Lingkungan dalam Menghadapi Krisis Iklim Global

Urgensi Jihad Lingkungan dalam Menghadapi Krisis Iklim Global

Muslimah Daily

Stop Sebarkan Surat Wasiat, Foto, dan Video Korban Bunuh Diri di Media Sosial Stop Sebarkan Surat Wasiat, Foto, dan Video Korban Bunuh Diri di Media Sosial

Stop Sebarkan Surat Wasiat, Foto, dan Video Korban Bunuh Diri di Media Sosial

Muslimah Talk

Tidak Ada Kata Terlambat dalam Pendidikan dan Karir bagi Perempuan Tidak Ada Kata Terlambat dalam Pendidikan dan Karir bagi Perempuan

Tidak Ada Kata Terlambat dalam Pendidikan dan Karir bagi Perempuan

Muslimah Talk

Maulid Nabi dan Boneka Pengantin di Mesir  Maulid Nabi dan Boneka Pengantin di Mesir 

Maulid Nabi dan Boneka Pengantin di Mesir 

Khazanah

Pentingnya Pengalaman Perempuan dalam Mewujudkan Kesetaraan dan Keadilan Gender

Kajian

Tragedi Ibu dan Anak di Bandung, Mengapa Kasus Filisida Masih Terjadi di Indonesia? Tragedi Ibu dan Anak di Bandung, Mengapa Kasus Filisida Masih Terjadi di Indonesia?

Tragedi Ibu dan Anak di Bandung, Mengapa Kasus Filisida Masih Terjadi di Indonesia?

Muslimah Talk

tantangan menjalani i'tikaf ramadhan tantangan menjalani i'tikaf ramadhan

Amalan yang Dianjurkan Ulama Saleh di Bulan Maulid Nabi

Ibadah

Cara Shalat Gerhana Bulan Cara Shalat Gerhana Bulan

3 Amalan yang Bisa Dilakukan Saat Gerhana Bulan

Kajian

Trending

Pencegahan Gangguan Menstruasi Pencegahan Gangguan Menstruasi

Bolehkah Perempuan Haid Ikut Menghadiri Acara Maulid Nabi?

Kajian

Benarkah Islam Agama yang Menganjurkan Monogami?

Kajian

Benarkah Perayaan Maulid Nabi Bid’ah? Benarkah Perayaan Maulid Nabi Bid’ah?

Memperingati Maulid Nabi dengan Tradisi Marhabanan

Diari

Rahmah El-Yunusiyah: Pahlawan yang Memperjuangkan Kesetaraan Pendidikan Bagi Perempuan

Muslimah Talk

Benarkah Perayaan Maulid Nabi Bid’ah? Benarkah Perayaan Maulid Nabi Bid’ah?

Benarkah Perayaan Maulid Nabi Bid’ah?

Kajian

Doa agar Terhindar dari Bisikan Setan Doa agar Terhindar dari Bisikan Setan

Doa agar Terhindar dari Bisikan Setan

Ibadah

Pentingnya Pengalaman Perempuan dalam Mewujudkan Kesetaraan dan Keadilan Gender

Kajian

Kenapa Harus Hanya Perempuan yang Tidak Boleh Menampilkan Foto Profil?

Diari

Connect