BincangMuslimah.Com – Pada dasarnya puasa bukan hanya mengendalikan atau menahan diri seseorang dari lapar dan dahaga, tetapi juga hawa nafsu lainnya seperti emosi, perilaku, dan perkataan yang negatif. Mengendalikan diri sendiri bukan perkara mudah. Sebab itu, selama satu bulan penuh di bulan Ramadhan, umat Islam dilatih untuk mengontrol dirinya, belajar untuk mengendalikan hawa nafsu dan fokus pada perintah Allah.
Sabagaimana dijelaskan dalam surat Maryam ayat 26, Allah menggunakan redaksi “shaum” untuk memberitakan kisah puasa yang dijalani oleh Sayyidah Maryam, seorang perempuan suci yang dari rahimnya lahir Nabi Isa. Di mana ia berpuasa untuk mengendalikan diri dari kondisi dan situasi masyarakat sekitarnya. Ayat tersebut sebagai berikut:
فَكُلِي وَاشْرَبِي وَقَرِّي عَيْنًا فَإِمَّا تَرَيِنَّ مِنَ الْبَشَرِ أَحَدًا فَقُولِي إِنِّي نَذَرْتُ لِلرَّحْمَنِ صَوْمًا فَلَنْ أُكَلِّمَ الْيَوْمَ إِنْسِيًّا
Artinya: Maka makan, minum dan bersenang hatilah engkau. Jika engkau melihat seseorang, maka katakanlah, “Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan Yang Maha Pengasih, maka aku tidak akan berbicara dengan siapa pun pada hari ini”. (QS. Maryam [19]: 26)
Ayat di atas sejatinya mengandung pesan khusus dari makna puasa. Sayyidah Maryam yang apabila mendengar seseorang bertanya perihal bayinya, ia diperintahkan untuk mengisyaratkan kepada mereka bahwa, “Aku telah berjanji kepada Allah Yang Maha Kasih untuk melakukan shaum.” Dengan demikian shaum pada redaksi ayat ini menurut para mufassir, seperti salah satunya al-Baghawi artinya adalah diam, karena secara bahasa kata shaum bermakna menahan diri, baik dari makanan, minuman maupun ucapan. (Tafsir Ma‘alim al-Tanzil, 5/227)
Pendapat yang sama dari Wahbah al-Zuhaili, bahwa di antara kesunnahan berpuasa adalah menahan diri dari ucapan-ucapan yang buruk. Ia kemudian mengutip hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda, “Barang siapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan melakukannya, maka tidak ada hujjah bagi Allah dalam orang itu meninggalkan makanan dan minumannya.” Yakni puasanya tidak diterima oleh Allah. (Tafsir al-Munir, 8/416)
Berbekal penjelasan mufassir diatas, dapat diketahui bahwa di antara makna shaum adalah diam. Istilah puasa tersebut jika dikorelasikan dengan ajaran puasa yang terdapat dalam risalah Rasulullah, bahwa puasa dapat menjadi tameng seseorang dan menghindarkan dirinya dari perilaku ataupun perkataan buruk.
Sebagaimana dalam hadits dikatakan, dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah bersabda: “Puasa adalah perisai maka janganlah berkata kotor dan jangan pula bertindak bodoh. Jika seseorang hendak menyerang atau mencacimu maka jawablah, ‘sesungguhnya aku sedang puasa’. Puasa itu bagiKu dan Aku yang langsung membalasnya dan setiap kebaikan akan digandakan pahalanya menjadi sepuluh.” (HR. Bukhari Muslim)
Jika dihubungkan dengan konteks sekarang, kisah puasa Sayyidah Maryam juga dapat dijadikan sebagai instrumen untuk menangkal berita-berita hoaks, ujaran kebencian, perbuatan kurang baik lainnya dalam kehidupan bermasyarakat. Atau lebih tepatnya, menjadi upaya pencegahan (langkah preventif) tindakan tidak bermoral tersebut terutama yang kerap terjadi di sosial media. Hal ini dikarenakan dalam syariat Islam, sebagaimana dalam hadits diatas bahwa orang yang berpuasa disunnahkan untuk menahan diri dari ucapan-ucapan yang buruk, baik dari lisan maupun ketikan jari tangan.
Misalnya, jika kita membaca kolom komentar di media sosial yang bernuansa ujaran kebencian; maka kita berlatih tidak mudah terprovokasi untuk membalasnya. Sama halnya, jika kita terbiasa mengirim ulang atau membagikan berita-berita yang membicarakan orang lain (gosip), atau dalam hal ini belum terbukti kebenarannya, dan lain sebagainya dari akun-akun kontroversial, maka di bulan suci ini kita harus berusaha untuk menghindarinya.
Semua ini didasarkan pesan Rasulullah: “Lima hal yang menjadikan puasa batal (pahalanya), yaitu: berbohong; menggunjing; mengadu domba, melihat dengan syahwat dan sumpah palsu.” Juga perintah Nabi saw. bahwa “Jangan mencela ketika engkau sedang berpuasa. Jika ada orang mencelamu, maka katakanlah: ‘sungguhnya aku sedang berpuasa’.” Hadits ini mengajarkan kita agar menjauhi perilaku-perilaku tersebut, karena khawatir puasa kita sia-sia, yang seharusnya ibadah kita persembahkan untuk Allah dan mendapat jaminan balasan dariNya, namun karena tindakan buruk itu, kita hanya merasakan lemas, lapar, dan dahaga saja.
Dari sini dapat dipahami, bahwa puasa menjadi alat untuk mengendalikan diri seorang shaim dari tindakan-tindakan yang merugikan diri, orang lain, dan lingkungan. Yang dalam istilah psikologi disebut self control, Louge (1995, hlm.7) memaknai self control sebagai suatu pilihan tindakan yang akan memberikan manfaat lebih besar dengan cara menunda kepuasan sesaat.
Seseorang biasanya merasa sulit atau berat untuk menolak kesenangan yang menghampirinya, meskipun hal itu berkonsekuensi negatif di masa yang akan datang. Maka dengan pengendalian diri yang baik akan mampu memberikan dampak positif yang lebih besar di masa yang akan datang meskipun perlu mengesampingkan kesenangan sesaat. Sebagaimana puasa Ramadhan yang diperintahkan kepada umat muslim untuk mengekang nafsunya, selama sebulan dalam setahun. Secara psikologis sendiri, Ramadhan adalah waktu yang signifikan.
Dengan demikian, semua ibadah— termasuk puasa hakikatnya mempunyai tujuan yang berkaitan erat dengan perbaikan moral, di mana perbaikan itu hanya dapat dilakukan setelah seseorang menekuni ibadah tersebut dan mengindahkan segala peraturan-peraturan yang telah ditetapkan olehNya. Jika puasa yang kita kerjakan dengan sungguh-sungguh (berusaha mengendalikan diri dari hal-hal yang telah disebutkan diatas) maka kita akan mendapatkan hasil dan manfaatnya, bahkan di masa mendatang.[]
3 Comments