BincangMuslimah.Com – Dalam sejarah dan tradisi Islam, cerita tentang perjalanan Nabi Muhammad ke ‘langit‘ yang kerapkali disebut dengan Isra’ Mi’raj menjadi salah satu kisah yg paling banyak dituturkan baik melalui jalur hadis, tafsir, dan beberapa catatan sejarah, dari pada peristiwa spiritualitas lainnya misalnya saat menerima wahyu pertama atau bahkan saat Alquran pertama diturunkan di malam 17 Ramadan.
Salah satu catatan paling awal dan yang dianggap komplit menjelaskan tentang peristiwa ini ditulis oleh Ibn Abbas (688) dalam Kitab al-Mi’raj. Catatan Ibn Abbas ini kemudian dijadikan standar rujukan awal untuk karya-karya lainnya yang kemudian berkembang, dimodifikasi dan ditafsirkan sesuai kepentingan sektarian kelompok-kelompok tertentu dalam perkembangan selanjutnya.
Teks-teks tentang Isra Mi’raj ini menjadi populer bahkan sampai ke kawasan Persia dan Turki yg biasa disebut dengan Mi’rajnama. Kepopuleran genre Mi’rajname semakin menguat salah satunya dimanfaatkan untuk intra-religious debate, baik untuk kepentingan kelompok Sunni, Syiah, Sufi, Ismaili dll dengan memodifikasi beberapa detail dari kisah-kisah tersebut.
Christiane Gruber dalam bukunya “The Prophet’s Mi’raj in Texts and Images” menjelaskan secara detail tentang modifikasi-modifikasi yang dilakukan oleh beberapa kelompok di awal periode Islam.
Misalnya oleh Sunni dikatakan bahwa para malaikat ketika itu berdoa atas nama ahl-Sunnah dan mengutuk kelompok Syiah, atau dengan menafsirkan bahwa Nabi menyatakan kemenangan untuk kelompok Sunni di surga.
Sebaliknya, kelompok Syiah menafsirkan teks-teks tersebut dengan perjumpaan Nabi Muhammad dan Ali di langit ke tujuh dan mencakup percakapan keduanya tentang signifikansi konsep (walaya) dan ahl Bayt yang nantinya akan mendapatkan tempat serta kemenangan di surga.
Tak ketinggalan, beberapa sufi ternama seperti al-Sulami (1021) dalam Lathaif al-Mi’raj, al-Qusyairi (1073) dalam Kitab al-Mi’raj dan yang diikuti oleh beberapa syeikh sufi juga turut menuliskan beberapa tafsiran atas makna perjalanan Nabi Muhammad yang lebih menitikberatkan pada perjalanan spiritual menuju sumber cahaya abadi.
Ja’far al-Shadiq (765) dan juga al-Tustary (896) menginterpretasikan ayat-ayat Alquran tentang peristiwa itu sebagai komunikasi intim antara habib dan mahbub dalam konsep tasawuf.
Kisah berikut narasi-narasi tentang perjalanan Nabi Muhammad di malam 27 Rajab ini terus diproduksi dan dimodifikasi ke berbagai tradisi dalam beragam bentuknya, tak lupa juga diekspresikan dalam sebuah lukisan.
Sebuah catatan yg berjudul Jami al-Tawarikh oleh seorang Wazir Ilkhanid, Rashid al-Din di Tabriz pada Abad 12 tepatnya 1306-7, menjadi salah satu karya lukisan pertama yang menggambarkan tentang peristiwa Mi’rajnama. Ilustrasi Ilkhanid ini melahirkan beberapa ilustrasi yang juga mulai banyak diproduksi oleh beberapa pemimpin lainnya di Timurid, seperti ruler Shahrukh (1436-37).
Lukisan karya seorang seniman yg tidak diketahui ini di masa Shahrukh disusun dalam Chagatai Turkish, kemudian ditranskipsikan dalam skripsi Uighur yang terdiri dari beberapa unsur dan pengaruh dari elemen-elemen Sino-Buddhist.
Ikonografi lukisan ini paling tidak menjelaskan sebuah era di mana hubungan yang erat pernah terjalin antara kawasan Persia Muslim dengan beberapa kawasan lain khususnya Asia Tengah yang berarti lintas regional dan agama.
Menariknya, meskipun manuskrip ini mempunyai unsur-unsur Timur namun tidak pernah menuju ke ‘timur’ melainkan justru ke ‘barat’. Tercatat manuskrip Timurid ini bahkan sampai ke Istanbul yg awalnya berada di Herat dan dibeli oleh seorang berkebangsaan Paris tahun 1672, Antoine Galland, sebesar 25 piaster. Manuskrip ini sekarang berada di istana Topkapi, Istanbul.
Ilustrasi bergenre Mi’rajnama semakin terkikis, khususnya dari tahun 1465-1850. Karya-karya lukisan bertema ini hampir tidak ditemukan lagi, entah hilang atau memang tidak ada yang membuatnya lagi.
Barulah ketika periode Qajar di Iran ditemukan lagi beberapa karya lukisan tentang Mi’rajname. Bedanya, lukisan tentang peristiwa Isra Mi’raj yg diproduksi era ini berubah dari genre lama yg cenderung mengadopsi interpretasi Sunni, kali ini berubah wujud dan lebih kental bernuansa Syiah sebagaimana Qajar merupakan patronage Syiah.
Jika catatan Ibnu Abbas tentang peristiwa Isra Mi’raj menjadi standar awal penulisan dan catatan tema bergenre ini, maka Mi’rajnama ilustrasi Ilkhanid dengan segala evolusinya dianggap menjadi pusat mahakarya tradisi keislaman berbentuk teks dan ilustrasi yang dikhususkan untuk menggambarkan peristiwa Isra’ dan Mi’raj lintas kawasan, agama dan budaya.
Ilustrasi di atas merupakan ilustrasi dari salah satu seniman terkenal Persia, Sultan Muhammad Nur (1472) yang hidup pada Dinasti Timurid dan Savawi. Penyair Persia dari abad ketiga belas dan seterusnya mengawali epos mereka dengan deskripsi penuh warna tentang mi’raj, perjalanan surgawi yang membawa Nabi langsung ke hadirat Tuhan.
Miniatur ini dianggap sangat menarik karena Nabi diperlihatkan dengan wajah terbuka, mengendarai gunung misterius Buraq. Gambar-gambar Muhammad selanjutnya umumnya digambarkan dengan kerudung yang menutupi wajahnya, namun belakangan bahkan seluruh tubuhnya dilambangkan dengan awan putih atau mawar.
Apapun makna yang tersirat dari perjalanan Nabi Muhammad pada malam 27 Rajab, dan malam-malam hening lainnya, juga sampai betapapun masing-masing kelompok menafsirkannya dari beragam perspektif baik sains, sufi dll, hal terpenting dalam peristiwa ini adalah pemaknaan kembali tentang hakekat manusia.
Bahwa kejadian ini merupakan peristiwa melangitkan manusia untuk kembali berkontribusi di bumi. Juga menjadi awal perjalanan spiritual yang patut dipahami umat Muslim dalam rangka mempersiapkan diri menyambut bulan penu kerahmatan dan keberkahan, Ramadhan.
Seperti yang dinyatakan oleh Imam Nawawi dalam kitab Al-Majmu’ mencantumkan sebuah hadits yang berisi doa Nabi Muhammad SAW saat menyambut bulan Ramadhan. Hadits tersebut diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dan Thalhah bin Ubaidillah, ia berkata:
انَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا رَأَى الْهِلالَ قَالَ : ” اللَّهُمَّ أَهِلَّهُ عَلَيْنَا بِالْيُمْنِ وَالإِيمَانِ وَالسَّلامَةِ وَالإِسْلامِ رَبِّي وَرَبُّكَ اللَّهُ
“Sesungguhnya Nabi SAW ketika telah melihat hilal (Ramadhan), beliau berdoa: Ya Allah jadikanlah hilal (bulan ini) bagi kami dengan membawa keberkahan, keimanan, keselamatan, dan keislaman. Tuhanku dan Tuhanmu adalah Allah.” (HR At-Tirmidzi).
Selamat menempuh perjalanan ke langit lagi, dan jangan lupa kembali. Karena Tuhan menciptakan agama untuk kedamaian manusia dan alam semesta, bukan sebaliknya.
Wallahu a’lam