BincangMuslimah.Com – Beberapa hari yang lalu, berita poligami kembali viral dalam akun youtube tribunnews.com di mana seorang istri mengizinkan suaminya menikah lagi. Saya melihat melihat video tersebut, mengangkat narasi yang masih dari dari sudut pandang laki-laki. Video tersebut hanya mengutip suaminya kembali menikah lagi. Dengan adanya video tersebut, seolah memperlihatkan jika perempuan harus mengizinkan jika suami menikah lagi.
Menggiring Opini Untuk Praktik Poligami
Bahkan, video seperti ini sudah sangat ramai sekali pada awal tahun ini. Saya masih ingat pada Februari 2020, seorang istri yang rela mengantarkan suaminya ke acara melakukan akad dengan istri keduanya. Saya pikir, video semacam ini ke depan akan banyak di produksi dengan tujuan tertentu.
Bisa jadi, tujuannya membuat lumrah praktik poligami dan menggiring opini jika sangat sah melakukan poligami ini. Sehingga, pada beberapa tahun belakangan ini yang ditarik adalah izin istri pertama untuk berpoligami. Namun, bagaimana narasi poligami dalam beberapa tahun belakang ini?
Pada 2 tahun lalu, para pemuka agama laki-laki yang berpoligami banyak memproduksi dakwah poligami. Para laki-laki ini sengaja memproduksi narasi poligami sebagai satu keharusan yang tidak boleh perempuan lewatkan. Perempuan sendiri tidak bisa menolak jika suami melakukan poligami, karena jaminannya surga.
Saya jadi teringat perkataan Andrea Drowkin tentang tubuh perempuan, jika modifikasi dan permak atas tubuh perempuan merupakan proyek yang terus-menerus dilakukan, berulang kali. Hal ini sangat penting untuk ekonomi, pembedaan yang terus menerus ditegaskan untuk perempuan dan laki-laki lewat realitas fisik dan psikologis. Dari penjelasan Andrea Drowkin dengan narasi poligami yang dibangun oleh para ustad ini, akhirnya membuat perempuan pada posisi kedua atau sebagai objek. Di mana suaranya ilegal untuk didengar.
Hak untuk Menolak Poligami bagi Perempuan
Padahal dalam sebuah hadist Rasulullah SAW jika perempuan dan laki-laki adalah mahluk yang utuh, yang akan dilihat kualitasnya dari keimanan dan amal-amal yang dilakukan. Abu Hurairah Ra. menuturkan bahwa Rasullah SAW bersabda, ”Sesungguhnya Allah tidak melihat pada rupa kalian, juga pada harta tetapi Dia melihat hati kalian dan amal-amal kalian.” (HR. Muslim).
Saya menangkap dari hadis tersebut jika suara suara perempuan harus didengar. Seperti Joan Scott dalam Gender and Politics of History menyadari jika memang harus ada tawaran suara baru menurut suara perempuan. Dalam kasus poligami, harus mendengar suara perempuan dan perempuan harus bersuara. Seperti mulai menyuarakan hak untuk menolak.
Suara penolakan ini mengingatkan saya pada perkataan Bu Nyai Nur Rofiah dalam buku ’Nalar Kritis Perempuan’ yang mengatakan, “Jika tauhid dalam Islam mengubah secara revolusioner kedudukan laki-laki dan perempuan. Laki-laki dilarang menuntut perempuan untuk tunduk mutlak, sebab sebagai sesama hamba Allah SWT, keduanya hanya boleh tunduk mutlak kepada Allah SWT.”
Suara Perempuan Masih Belum Terdengar
Namun, sayangnya narasi penolakan poligami dari kalangan perempuan masih belum terdengar. Saya menilai ada keraguan-raguan perempuan untuk menolak poligami. Sehingga, penolakan poligami datang dari Gus Baha dan Gus Miftah dengan narasi yang masuk akal.
Gus Miftah dalam video dengan Deddy Corbuzier 6 bulan lalu, menjelaskan jika Rasulullah SAW beristri banyak agar perkataan dan perbuatan bisa terekam. Rekaman tersebut untuk bisa menjadi contoh oleh umat. Hal lainnya, karena zaman nabi tidak ada alat perekam yang bisa menyimpan semua perkataan dan berbuatannya dengan baik untuk bisa menjadi pelajaran oleh umat. Gus Miftah merasa bukan Rasulullah SAW maka ia tak perlu beristri banyak. Ia juga menerangkan mengapa cuma Nabi yang bisa memiliki banyak istri.
”Iya, kalau kita mengatakan poligami tidak boleh jelas itu bukan suatu yang benar, itu boleh Alquran membolehkan tapi coba kita lihat alasan syari’nya. Kenapa Rasulullah istrinya banyak? Karena semua aktivitas Rasulullah perkataan perbuatan itu kan harus direkam tuh untuk dijadikan contoh oleh umat. Makanya kalau cuma satu istri, toh hardisknya nggak muat, makanya butuh banyak istri untuk merekam semua aktivitas Rasulullah. Lah kayak gue, kayak lo apa sih yang harus direkam,” tuturnya.
Dengan catatan ini, narasi poligami dari tahun ke tahun perang narasi poligami ini oleh laki-laki. Di mana narasi perempuan dalam kasus poligami? Padahal perempuan bukan objek, tapi dalam kasus poligami laki-laki dan perempuan sama-sama menjadi aktornya.
Sangat menarik jika ada narasi yang mengangkat kecemburuan seorang perempuan ketika suaminya berpoligami. Hal lainnya yang mungkin bisa mengambil dari sudut pandang perempuan adalah pengalaman perempuan yang menjadi istri kedua. Bagaimana rasanya mendapatkan gunjingan di masyarakat seperti sosok Bu Tejo?
2 Comments