“Entah akan berkarir atau menjadi ibu rumah tangga,seorang wanita wajib berpendidikan tinggi karena ia akan menjadi ibu. Ibu-ibu yang cerdas akan menghasilkan anak-anak yang cerdas” (Dian Sastro)
BincangMuslimah.com – Stereotip mengenai perempuan sekedar konco wingking berimbas pada keengganannya dalam menempuh pendidikan lebih tinggi dibanding laki-laki. Pihak keluargapun mendukung keturunannya yang bangsa hawa tidak perlu terlalu tinggi dalam berpendidikan.
Pandangan ini umumnya ditemukan di tengah masyarakat pedesaan, tapi tak jarang pula stigma ini kadang masih terasa di tengah masyarakat urban. Akibatnya, perasaan kerdil mulai tumbuh ketika berhadapan dan berdiskusi dengan laki-laki dalam masalah pendidikan, sosial dan politik.
Sejatinya keluarga yang masih memiliki anggapan seperti ini harus lekas diluruskan, jika mereka masih ingin generasi setelahnya menjadi lebih baik. Mengapa? karena ibu adalah sekolah pertama bagi anak-anaknya. Seperti disebutkan dalam sebuah syair karya Muhammad hafidz Ibrahim, seorang penyair Mesir terkenal abad 20-an yang dijuluki penyair sungai Nil.
الأُمُّ مَدْرَسَةُ الْاُوْلَى اِذَا أَعْدَدْتَهَا اَعْدَدْتَ شَعْبًا طَيِّبَ الْأَعْرَاقِ
“Ibu adalah sekolah pertama, jika engkau menyiapkannya berarti engkau menyiapkan generasi yang baik”
Menurut penulis saat pertama kali mendengar syair ini saat SMA dulu, tentu ibu pantas disebut sekolah pertama bagi anak karena ibulah yang melahirkan dan menjadi ‘sarang’ kita sejak pertama kali ditiupkan ruh. Namun setelah sekarang penulis renungkan lagi, ternyata ada alasan yang harus kita sadari bersama.
Ibu mendapatkan julukan ‘sekolah pertama’ karena ketika seorang anak lahir maka ia akan mencari pelukan terhangat, pelukan ibulah tempatnya. Berminggu-minggu setelahnya ia akan mencari sosok yang menjadikan tempat untuk bermanja. Berbulan-bulan setelahnya ia akan mencai teman bermain yang selalu setia kemanapun ia merangkak, melangkah, tertatih dan berlari, ibulah orang yang tepat. Dan pada gilirannya, seorang anak akan meniru dan mengikuti setiap kata, sikap dan perilaku sosok yang sering menemaninya.
Al umm. Begitulah ibu disebut dalam bahasa arab, bukan tanpa tujuan, ibu adalah muara bangsa (al Ummah). Ibu adalah pemimpin (imām) yang menggiring pada kesejahteraan dan kecedasan bangsa, ibu adalah sosok terdepan (amāma) yang menjadi benteng pertahanan keluarga. Statement ini senada dengan hadis Nabi al mar’atu ‘imādu al bilād, iżā ṣaluhat ṣaluhat al bilād wa iżā fasadat fasadat al bilād (Perempuan adalah tiang negara, jika ia baik maka makmurlah negara dan jika ia rusak maka hancurlah negara).
Maka tak heran jika ibu dinobatkan sebagai institusi pertama bagi anaknya. Sosok ibu adalah kepala sekolah sekaligus wali kelas yang selalu memantau setiap inci perkembangan anak. Sementara orang lain di sekitarnya, seperti bapak, nenek, kakek dan yang lainnya adalah guru pengajar yang tidak setiap hari bertemu dengannya. Maka tanāsub, kesesuaian atau chemistri seorang anak dengan ibu akan lebih kuat. Utamanya dalam intelektual.
Sederhananya, ibu yang memiliki latar belakang pendidikan al-Quran akan ‘menyuapi’ anaknya dengan ayat-ayat al-Quran. Ibu yang berlatar belakang kedokteran akan mendidik anaknya dengan ala dokter. Ibu yang berlatar belakang pendidikan Islam kuat akan mendidik anaknya menguasai ilmu keislaman secara utuh. Bukan sejak ia dilahirkan bahkan sejak dalam kandungan.
Karena itu, perempuan harus berpendidikan. Argumen ini didukung oleh penelitian Medical Research Council, yang menyebutkan bahwa Intellectual question (IQ) seorang anak lebih dominan turun dari ibu. Hasil penelitian/research menyatakan bahwa kromosom ibu 2 kali lipat lebih banyak, hal ini menyebabkan kemampuan kognitif atau kecerdasan ibu menurun lebih banyak dari pada dari ayah.
Penelitian ini dilakukan di Amerika Serikat dengan mewawancarai 12.686 orang berusia 14-22 tahun. Penelitian ini melihat pada IQ, pendidikan anak serta status sosial ekonomi. Hasilnya, faktor penentu terbaik dari kecerdasan tentu saja adalah IQ dari ibu.
Tulisan ini tidak mau menegasikan peran bapak dan juga bukan hendak mengatakan “rapopo bersuami yang IQ nya rendah”. Sosok bapak tetap memiliki peran besar dalam pertumbuhan anak, namun itu bersifat baru bukan bawaan sejak lahir.
Oleh karenanya pentingnya meningkatkan kualitas seorang perempuan adalah sama pentingnya dengan pentingnya meningkatkan kualitas seorang laki-laki. Kualitas perempuan dibutuhkan sejak dalam pendidikan dalam rahim dan awal pertumbuhan anak sedangkan kualitas laki-laki dibutuhkan untuk menyempurnakan pembentukan karakter anak sampai ia tumbuh dewasa.
Maka menjadi salah telak anggapan yang menyerahkan kualitas keluarga hanya pada suami sementara istri sekedar pelengkap saja. Pepatah arab di atas menjadi alasan terpenting seorang perempuan harus berkualitas demi menjadikan generasi-generasi mendatang lebih berkualitas.
Seperti yang dikatakan Dian Sastro, “Ibu yang cerdas akan melahirkan anak yang cerdas” sebagaimana sekolah unggulan akan melahirkan alumni-alumni yang unggul pula. Jadi mari terus tingkatkan pendidikan kita (perempuan), bukan untuk kita sendiri tapi untuk anak-cucu kita. Jadi, masih rela putus pendidikan di tengah jalan???