Ikuti Kami

Diari

Karena Sholeh Saja Tidak Cukup

BincangMuslimah.Com – Baru-baru ini, jagat maya sedang dihebohkan dengan terungkapnya kasus salah seorang mahasiswa yang diduga mencabuli 30 perempuan. Fakta menariknya, si pelaku dikenal sebagai anak yang “sholeh” pada umumnya. Lulusan pesantren, hafal Al-Quran, fasih berbahasa Arab, memiliki segudang prestasi, motivator plus dikenal sebagai ustadz.

Dalam melakukan aksinya pun, laki-laki ini tidak jarang menggunakan bahasa Arab dan Islami. Mencengangkan? Tentu sangat. Karena backgroundnya sebagai “anak sholeh” ini lah yang menjadikan jagat maya ramai dan berbondong-bondong mengisi petisi untuk mencabut beasiswa “anak sholeh” tersebut.

Berbicara term sholeh, banyak sekali dari kita yang terkecoh dengan kata sholeh yang disematkan kepada seseorang. Hal ini disebabkan pada pemahaman umum terhadap kata sholeh yang merujuk pada ritual-ritul peribadatan vertikal seperti sholat, puasa, serta ritual keagamaan. Anak sholeh adalah yang rajin ke masjid, sering ikut pengajian, bahasanya Islami, hafal sekian ayat, berjenggot, bercelana cingkrang, dan pemaknaan lain yang merujuk pada simbol-simbol ritual ibadah. “Eh,, akhi Usman itu sholeh banget ya, aku selalu lihat dia ke masjid shalat berjamaah, bacaan Al-Qur’annya juga bagus banget” begitulah kiranya fenomena yang ada di masyarakat kita.

Mari kita bedah apa hakikatnya makna sholeh itu, secara bahasa, sholeh berasal dari tiga rangkaian kata shod – lam – ha yang perarti patut, layak, sesuai. Dalam kamus Lisanul Arab karya Ibnu Mandzur, sholeh disebutkan sebagai antonim dari fasad (rusak) atau shoro hasanan (menjadi baik). Kata sholeh disebutkan dalam Al-Quran sebanyak 124 kali dalam berbagai makna yang variatif, termasuk di dalamnya bentuk jamaknya shalihun atau shalihat.

Kata-kata ini ada yang disandarkan pada pada kata ‘ibad atau hamba yang merujuk pada seseorang. Kata ini sebagaimana dalam QS. Al-Anbiya’ ayat 105 “Dan Sungguh telah Kami tulis di dalam Zabur bahwa bumi ini dititipkan kepada hamba-hamba-Ku yang saleh”. Selain itu, kata shaleh dalam Al-Quran juga disandarkan pada kata amal sholeh yang artinya perbuatan baik. Sebagai salah satu contohnya adalah QS. An-Nisa’ ayat 124 “Barang siapa yang berbuat kebaikan baik dari golongan laki-laki ataupun perempuan, maka mereka itulah yang masuk surga…”.

Baca Juga:  Puasa dalam Perspektif Kesehatan: Manfaat dan Penjelasannya

Berkaitan dengan kata sholeh di atas, Syekh Mutawalli Sya’rawi menyebutkan bahwa kesalehan itu yang sifatnya duniawi dan ukhrawi. Pembeda antara keduanya adalah keimanan kepada Allah meskipun yang dilakukan adalah kebaikan-kebaikan baik bersifat agama ataupun etika sosial seperti menjaga lingkungan, menghargai orang lain, menghormati orang tua.

Kaitannya dengan kasus di atas, sudah sewajarnya kita membuka diri bahwa soleh ritual bukanlah jaminan seseorang menjadi soleh secara individu dan sosial. Kesalehan ritual adalah mutlak milik Allah dan yang bisa menentukan tingkat kesalehan tersebut hanya Allah. Mau sering ke masjid, hafal sekian ayat, tapi berani melakukan hal-hal yang dibenci Allah bahkan mendekati pada perzinaan? Wal ‘Iyadzu Billah

Yuk, mari kita melihat figur secara utuh. Bukan dari kulit luar yang memakai tameng agama sebagai pelindungnya, tapi dari perilaku, tutur kata yang benar-benar mencerminkan kesalehannya sebagai hamba Allah. Karena orang yang benar-benar baik, sholeh, dan bertaqwa adalah mereka yang memanifestasikannya dalam bentuk akhlak dan etika yang mulia. Penulis teringat kalimat Cak Nun dalam acara Maiyyahan yang digelar di Taman Ismail Marzuki, “Sholeh itu bukan hanya di atas sajadah, tapi juga sholeh terhadap orang lain dalam bentuk sikap”.

 

Redefinisi Makna Pemimpin Keluarga; Sebuah Tawaran

Apa yang terlintas di benak kita ketika mendengar kata suami? Tentu kebanyakan dari kita menjawab pemimpin. Dan apa yang ada dalam pikiran kita ketika mendengar kata istri? Tentu jawaban umumnya juga tidak jauh dari tugas rumah tangga yang banyak dirumuskan dengan sumur, kasur dan dapur. Tidak ada salah dengan kata pemimpin yang menempel pada sosok bernama suami karena argumentasinya berdasarkan Al-Quran surah An-Nisa’ ayat 32.

Baca Juga:  Pemahaman Fase Menopause Bagi Perempuan Berusia 40an dan Cara Mengatasinya

Dalam ayat tersebut terdapat kata “qowwam” yang diartikan oleh kebanyakan mufassir dengan makna pemimpin. Makna pemimpin ini juga yang dipakai oleh umat muslim pada umumnya dan menjadikan bahwa setiap laki-laki yang menjadi suami secara otomatis adalah pemimpin rumah tangga.

Secara bahasa, qawwam adalah bentuk jamak dari kata qaim, ism fai’i dari kata kerja qama yang berarti tegak, senantiasa, atau konsisten. Seseorang disebut dengan qawwam apabila ia menjalankan tugasnya secara berkesinambungan, berulang-ulang dengan sempurna.

Dilihat dari akar katanya tersebut, memaknai qawwam dengan arti tunggal pemimpin adalah kurang tepat karena di dalamnya terdapat makna yang lebih luas terkait kebutuhan, perhatian, perhatian, pemeliharaan dan pembinaan. Pemimpin adalah satu makna yang terkandung dalam kata tersebut berdasarkan akar kata asalnya sebagaimana penjelasan M. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah.

Kata qawwam yang melekat pada kata ar-rijal, yakni suami adalah pemimpin pada hakikatnya belum selesai. Pada kalimat setelahnya dalam ayat yang sama, Allah menyebutkan dua kalimat lanjutan berbunyi “bi maa faddlala ba’dhahum ‘ala ba’dl wa bima qnfaqu min amwalihim” (terhadapa sesuatu yang Allah lebihkan atas mereka dan karena mereka telah menafkahkan sebagian dari harta mereka).

Lanjutan ayat di atas menegaskan bahwa penyebutan suami sebagai pemimpin dikarenakan dua aspek tersebut. Atas kelebihan potensi dan keistimewaan fisiknya serta kemampuannya dalam mencari nafkah. Inilah mengapa dua indikator tersebut dalam pendapat Al-Alusi dan Al-Biqai, kepemimpinan laki-laki dalam rumah tangga bersifat kasby atau diupayakan.

Dengan memenuhi kedua aspek inilah, seorang laki-laki atau suami baru bisa dikategorikan sebagai pemimpin. Tentu dalam pendapat ini, tidak bisa dikatakan sebagai pemimpin keluarga jika dua aspek keutamaan dan nafkah tersebut tidak mampu diupayakan oleh suami.

Baca Juga:  Perempuan-Perempuan yang pernah Menolak Lamaran Rasul

Sayangnya, kandungan makna qawwam yang begitu fantastisnya ini melebur seiring dengan bumbu patriarkis yang begitu melekatnya di bumi Indonesia. Dengan berdalihkan seorang pemimpin yang bersifat mutlak dan otomatis, tidak sedikit yang membebankan tugas yang ditulis sebagai keistimewaan suami itu justru dikerjakan oleh istri. Bukan karena tidak mampu secara fisik, tapi karena nafsu dan hasrat seorang pemimpin yang ingin dilayani. Wahai suami, bersikaplah sebagai pemimpin yang bertanggung jawab, penuh kasih sayang, dan memberikan rasa aman kepada yang dipimpinnya.

Rekomendasi

Ditulis oleh

Penulis adalah konten writer program Cariustadz.id Pusat Studi Al-Quran, dan kandidat magister pengkajian Islam dalam bidang dakwah dan komunikasi UIN Jakarta. Beliau merupakan alumni Pondok Pesantren Ilmu Hadis Darus-Sunnah Ciputat.

Komentari

Komentari

Terbaru

Ketika Harapan Orang Tua Berkamuflase Menjadi Ekspektasi Tinggi: Anak Berprestasi, tapi Tidak Bahagia Ketika Harapan Orang Tua Berkamuflase Menjadi Ekspektasi Tinggi: Anak Berprestasi, tapi Tidak Bahagia

Ketika Harapan Orang Tua Berkamuflase Menjadi Ekspektasi Tinggi: Anak Berprestasi, tapi Tidak Bahagia

Keluarga

Amalan-Amalan di Hari Asyura Amalan-Amalan di Hari Asyura

Amalan-Amalan di Hari Asyura

Ibadah

Mengenal Dua Belas Nama Surah Al-Fatihah Mengenal Dua Belas Nama Surah Al-Fatihah

Mengenal Dua Belas Nama Surah Al-Fatihah

Kajian

Jasmin Akter: Atlet Kriket Muslimah dari Rohingya Jasmin Akter: Atlet Kriket Muslimah dari Rohingya

Jasmin Akter: Atlet Kriket Muslimah dari Rohingya

Muslimah Talk

Dua Syarat Penting saat Mengembalikan Harta Anak Yatim Dua Syarat Penting saat Mengembalikan Harta Anak Yatim

Dua Syarat Penting saat Mengembalikan Harta Anak Yatim

Kajian

Konsekuensi bagi Orang yang Tidak Membayar Hutang di dalam Islam Konsekuensi bagi Orang yang Tidak Membayar Hutang di dalam Islam

Konsekuensi Orang yang Tidak Membayar Hutang di dalam Islam

Kajian

Pandangan Ibnu Rusyd Tentang Sosok Perempuan Pandangan Ibnu Rusyd Tentang Sosok Perempuan

Afra binti Ubayd: Ibu dari Para Pejuang Syariat Islam

Muslimah Talk

menyantuni anak yatim muharram menyantuni anak yatim muharram

Keutamaan Menyantuni Anak Yatim Di Bulan Muharram

Kajian

Trending

puasa istri dilarang suami puasa istri dilarang suami

Kritik Nabi kepada Laki-laki yang Suka Main Kasar pada Perempuan

Kajian

Zainab binti Khuzaimah Zainab binti Khuzaimah

Ummu Kultsum; Putri Rasulullah yang Diperistri Utsman bin Affan

Muslimah Talk

Doa yang Dipanjatkan Fatimah az-Zahra pada Hari Senin Doa yang Dipanjatkan Fatimah az-Zahra pada Hari Senin

Doa yang Dipanjatkan Fatimah az-Zahra pada Hari Senin

Ibadah

Hukum Menalak Istri saat Mabuk Hukum Menalak Istri saat Mabuk

Hukum Menalak Istri saat Mabuk

Kajian

menyantuni anak yatim muharram menyantuni anak yatim muharram

Keutamaan Menyantuni Anak Yatim Di Bulan Muharram

Kajian

Beberapa Kesunahan 10 Muharram Beberapa Kesunahan 10 Muharram

Lima Amalan yang Dianjurkan di Bulan Muharram

Ibadah

idul adha islam dunia idul adha islam dunia

Makna Idul Adha bagi Umat Islam Seluruh Dunia

Ibadah

Depresi Tidak Punya Anak, Baca Doa Ini agar Cepat Diberi Keturunan Depresi Tidak Punya Anak, Baca Doa Ini agar Cepat Diberi Keturunan

Depresi Tidak Punya Anak, Baca Doa Ini agar Cepat Diberi Keturunan

Ibadah

Connect