BincangMuslimah.Com – Pada zaman kejayaan kerajaan Aceh, terdapat perempuan-perempuan hebat. Salah satunya adalah Teungku Fakinah. Ia merupakan seorang anak dari pasangan Teungku Datu Mahmud atau yang dikenal dengan Teungku Asahan, seorang pejabat pemerintahan pada zaman Sultan Akaiddin Muhammad Daud Syah.
Sedangkan ibunya adalah Teungku Fatimah, sakah satu putri seorang ulama besar yang bernama Teungku Muhammad Sa’ad yang lebih terkenal dengan panggilan Teungku Cik Lam Pucok, seorang pembangun dan pemimpin Dayah Lam Pucok, tempat Teungku Chik Di Tiro Muhammad Saman berguru. Sangat jelas dalam tubuh Teungku Fakinah mengalir unsur darah bangsawan juga ulama sekaligus.
Dalam buku yang berjudul Teungku Fakinah:Profil Ulama dan Pejuang Wanita Aceh ditulis oleh Nurjannah Ismail disebutkan bahwa Teungku Fakinah hidup dari tahun 1856 hingga 1933. Beliau tidak hanya seorang ulama perempuan dan pendidik namun beliau merupakan seorang panglima perang yang mampu memengaruhi rakyat untuk menentang dan melawan Belanda. Maka Teungku Fakinah diberi nama lain Lam Diran.
Sejak kecil Fakinah sudah belajar dari orang tuanya. Dari ibunya beliau belajar baca tulis huruf Arab, belajar membaca Alquran dan ilmu-ilmu agama dalam bahasa Melayu. Selain itu beliau juga belajar berbagai kerajinan tangan, seperti menjahit, menenun, menyulam, memasak, dan membuat kerawang sutera. Sementara dari ayahnya, beliau bahasa Arab, fikih (hukum Islam), tasawuf, akhlak, sejarah, tafsir, hadis, dan lain sebagainya.
Berkat pendidikan yang diberikan orangtuanya beliau tumbuh menjadi seorang gadis yang cerdas terampil, oleh sebab itu beliau diberi gelar Teungku Fakinah. Ia memulai kiprahnya dalam bidang pendidikan yakni dengan membangun Dayah di kampung Lam Beunot di Mukim Lam Krak.
Bersama suaminya, Teungku Ahmad mengembangkan dayah tersebut dengan bantuan biaya dari mertuanya. Kemudian beliau membangun dayah yang diberi nama Dayah Landiran. Pembangunan dayah ini berawal dari hasil musyawarah pada tahun 1911 seusai turun dari gerilya menuju gampong-nya di daerah Lam Krak.
Setelah mengadakan musyawarah dengan Teungku Raja Kemala dan Teungku Panglima Polem Muhammad Daud, akhirnya Teungku Fakinah membangun kembali dayahnya yang telah hancur selama musim perang.
Dalam waktu yang singkat, Dayah Landiran berkembang menjadi pusat pendidikan Islam yang maju. Santrinya tak hanya dari kaum perempuan, namun juga dari kaum laki-laki yang berasal dari seluruh wilayah Aceh.
Pada tahun 1915, Teungku Fakinah bersama suaminya yang merupakan seorang ulama, Teungku Ibrahim berangkat ke Mekah untuk menunaikan haji. Mereka juga bermukim disana selama 4 tahun sembari terus belajar. Selama di Timur Tengah beliau banyak sekali berjumpa dengan ulama dan terpengaruh dengan gerakan pembaharuan yang dipimpin oleh Jamaluddin al-Afghani.
Pada tahun 1918 beliau kembali ke Aceh seorang diri dikarenakan suaminya telah berpulang ke rahmatullah. Dengan keyakinan yang kuat, beliau memimpin Dayah Landiran dengan melakukan perubahan dan reformasi dalam bidang pendidikan dayah.
Beliau merupakan sosok yang dikenal dekat dengan masyarakat, beliau sering memimpin gotong royong untuk membangun kampung-kampung, ladang, sawah-sawah dan pasar yang telah hancur akibat peperangan. Akhirnya Teungku Fakinah berpengaruh besar dalam melakukan perubahan.
Usaha dan perubahan yang dilakukan beliau bersama masyarakat tidak hanya dihormati oleh kawan-kawan seperjuangannya, namun juga disegani oleh musuh beliau yakni para penjajah Belanda. Salah satu hasil kerja beliau bersama masyarakat adalah pembangunan sebuah jalan yang diberi nama “Ateung Seunabat Faki” (Jalan Teungku Fakinah). Besarnya penghargaan dan penghormatan kawan maupun lawan kepada pahlawan dan pendidik perempuan. Hal ini terbukti oleh kunjungan pejabat Belanda yang berulangkali kepada Teungku Fakinah ke dayahnya.
Sebelumnya pada tahun 1874 hingga 1903 disebutkan dalam buku Islam and the Limits of the State yang ditulis oleh Michael Feener disebutkan bahwa Teungku Fakinah membentuk pasukan. Pasukan ini dibentuk sebanyak empat regu, salah satunya adalah pasukan perempuan. Empat pasukan ini akan mengangkat senjata dan bergerilya menghadapi penjajah Belanda. Dalam buku Catatan Pinggir Sejarah Aceh yang ditulis oleh M. Dien Madjid menyebutkan bahwa Teungku Fakinah bersahabat dengan Cut Nyak Dien.