BincangMuslimah.Com – Sejak Taliban kembali menguasai pemerintah Afganistan, warga di dalamnya menjadi resah. Taliban berhasil menduduki Afghanistan pada Agustus lalu, nampaknya tidak ada hal baik yang dimunculkan. Khususnya pada perempuan. Berbagai aturan yang terkesan mengikat kebebasan bagi perempuan pun bermunculan. Di antaranya seperti tidak boleh ke pasar tanpa didampingi keluarga laki-laki, serta memenjarakan perempuan yang ‘nongkrong’ di luar rumah. Aturan yang sama berlaku saat Taliban pernah menguasi Afghanistan era 90-an sampai 2001. Apakah Taliban akan berubah sesuai janjinya?
Perempuan juga dilarang untuk berinteraksi dengan laki-laki yang berusia di atas 12 tahun. Kecuali dengan keluarga mereka. Selain itu perempuan boleh bersekolah, namun harus dipisahkan dengan laki-laki. Kalau pun satu ruangan harus dipisahkan oleh tirai. Bahkan dari sisi pekerjaan perempuan pun dibatasi.
Padahal Juru Bicara Taliban, Zabihullah Mujahid dalam konferensi pers, Selasa, 17 Agustus 2021. Dalam konferensi pers tersebut, berjanji Taliban akan menghormati hak-hak perempuan sesuai dengan norma hukum Islam. Selain itu akan mengizinkan perempuan bekerja dan mengenyam pendidikan sesuai norma-norma hukum Islam. Serta menawarkan amnesti agar para perempuan bergabung dalam pemerintahannya.
Beberapa aturan terkini yang telah diterapkan oleh Taliban justru dinilai kontradiktif dengan penyampaian Jubir Taliban. Bukankah membatas pergerakan perempuan sama saja dengan tidak memberikan hak mereka sebagai manusia yang setara? Lalu, akankah masa depan perempuan Afghanistan semakin membaik atau kondisinya semakin mengkhawatirkan?
Aturan-aturan tersebut memicu banyak kecaman dari berbagai belahan dunia, baik dari publik figur hingga aktifis, lembaga kemanusiaan dan keagamaan. Baru-baru ini Jaringan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI), mengeluarkan tiga aspirasi dalam menyikapi tindakan Taliban ini.
Isi dari aspirasi ini meminta Indonesia untuk mendorong melakukan dialog dengan Afghanistan yang saat ini diduduki oleh Taliban. Dengan tujuan mencapai keamanan dan kedamaian. Kedua, mendorong untuk menjamin kesetaraan hak dan keadilan antara laki-laki dan perempuan. Tentunya sebagai sesama manusia dan hamba Allah. Ketiga, KUPI memberi dukungan penuh untuk perlindungan dan pemajuan bagi hak perempuan dan anak-anak.
Munculnya banyak aspirasi dan kritikan menjadi pertanda jika apa yang dilakukan oleh Taliban saat ini, belum sejalan dengan janji yang mereka paparkan. Tindakan tersebut mengancam sektor pendidikan, sosial bahkan perekonomian negara.
Skeptis dengan Masa Depan Perempuan Afghanistan
Tindakan Taliban yang membatasi gerak-gerik perempuan dari komunikasi antar manusia, pendidikan dan pekerjaan tentu terhitung melanggar Hak Asasi Manusia. Kesulitan untuk mendapatkan pendidikan yang layak, serta pekerjaan mapan kini telah menjadi bayang-bayang perempuan.
Dilansir dari website Universitas Islam Indonesia (UII), seorang dosen prodi Hubungan Internasional UII, Hadza Min Fadhli Robby, S.IP, M.Sc.. menanggapi kemelut Afghanistan saat ini. Ia menyebutkan konflik menimbulkan Ketidakpastian rezim negara. Dan ini dapat menimbulkan dampak yang sangat buruk pada beberapa sektor. Yaitu pendidikan, kelangsungan kehidupan sosial ekonomi dan budaya di Afghanistan.
Demi menghindari kehancuran suatu bangsa, tentu dibutuhkan konsep rahmah li al-A’lamin. Dimana kehadiran Islam di tengah kehidupan masyarakat mampu mewujudkan kedamaian dan kasih sayang bagi manusia maupun alam.
Sedangkan pandangan Islam melalui perspektif mubadalah, apa yang dilakukan oleh Taliban justru menjauh dari prinsip rahmah li al-A’lamin. Dimana perempuan tidak mendapatkan hak yang adil. Perempuan mendapatkan perlakukan yang berbeda dengan laki-laki.
Dan untuk mencapai konsep rahmah li al-A’lamin, perlu memberikan dorongan memperlakukan laki-laki dan perempuan setara. Keduanya sama-sama subjek di dalam kehidupan. Menyamakan hak dan keadilan antara laki-laki dan perempuan merupakan langkah bertauhid pada Allah yang berjalan sesuai dengan akhlakul karimah.
Hal ini selaras dengan gagasan Faqihuddin Abdul Kodir yang dituangkan dalam bukunya yang berjudul “Perempuan (bukan) Sumber Fitnah.” Dimana ketika memproklamasikan ketauhidan, ada dua hal yang dipegang yaitu keesaan Allah SWT dan pernyataan kesetaraan manusia di hadapan-Nya.
Menurut Faqih, hubungan manusia baik itu laki-laki dan perempuan dengan Allah bersifat vertikal. Maksudnya, hanya posisi Allah yang lebih tinggi dengan hambanya. Maka, sesama manusia (laki-laki dan perempuan) setara sebagai hamba Allah. Tidak ada yang menjadi Tuhan atas yang lain.
Bukankah Rasulullah SAW sendiri telah berpesan dalam khutbah Haji Wadak (perpisahan). Rasul berpesan jika perempuan mempunyai hak yang sama dan jangan memperlakukan mereka bak ‘tawanan’.
“Aku wasiatkan kepada kalian semua tentang perempuan untuk selalu berbuat kebaikan (kepada mereka), karena mereka di antara kalian sering dianggap sebagai tawanan. Padahal kalian tidak berhak sama sekali dari ( dan kepada) mereka, kecuali kebaikan (mereka) tersebut. (Sunan Ibn Majah, Kitab al-nikah, no 1924).
Oleh karena itu, tidak memberikan hak perempuan secara semestinya, menyia-nyiakan keadilan mereka, bukan tidak mungkin ramalan terkait jauhnya konsep negara dari rahmah li al-A’lamin bisa terjadi.