BincangMuslimah.Com – Siapa yang tidak kenal dengan cerita legenda di masyarakat tentang si upik abu atau yang dikenal dengan cinderella, mungkin sudah tidak asing lagi ditelinga masyarakat. Secara singkat dongeng tersebut menceritakan tentang kesedihan seorang perempuan yatim piatu yang hidup dengan ibu tiri dan saudaranya yang kejam. Mereka memperlakukan cinderella sebagai seorang pelayan rumah karena tugas dan kewajibannya hanya sekedar untuk menjadi pembantu rumah tangga. Legenda ini merupakan salah satu bentuk domestikasi perempuan.
Ketika membahas perempuan selalu ada saja isu-isu yang melekat kepada kaum hawa dari A-Z seolah perempuan pantas untuk dikomentari oleh masyarakat. Berbagai spekulasi yang menyitari kehidupan perempuan sehingga setiap pembahasan mengenai perempuan selalu hangat untuk diperbincangkan karena dianggap remeh.
Banyak kasus beragam yang dialami oleh perempuan dan itu terjadi di setiap belahan dunia. Bahkan kita tak perlu melihat dari kejauhan cukup lihat saja di lingkungan sekitar ternyata faktanya masih ada banyak kasus yang ringan hingga kasus berat bahkan sampai dengan merenggut nyawa.
Cikal bakal julukan “si upik abu” untuk perempuan sebenarnya kesalahan sejak zaman dahulu yang tertanam di dalam setiap keluarga karena tidak berlakukanya kesetaraan gender.Jika kita melihat dan mengamati sejak kecil, perempuan sudah memiliki permasalahan karena konstruk sosial yang ada di dalam masyarakat seperti adanya perbedaan pembagian tugas rumah dengan anak laki-laki.
Anak perempuan dianggap memiliki kewajiban untuk mengikuti jejak sang ibu yang harus mengurus segala kebutuhan rumah seperti membersihkan, merapihkan, dan menyiapkan segala hal tentang rumah selama 24 jam seperti kisah Cinderella. Anak perempuan karena harus membantu ibunya maka hak untuk bermain dengan teman seusianya menjadi terbatas tidak seperti anak laki-laki yang bebas tanpa batas.
Ketidakadilan ini tidak hanya sampai di masa anak-anak saja tetapi perempuan ketika sudah dewasa pun tetap memikul beban tersebut bahkan permasalahannya semakin menumpuk karena adanya standar menantu idaman yang harus ahli dalam segala hal atau dalam istilah orang Jawa sering mengatakan “dapur, kasur, sumur” yang menganggap aktifitas dan kewajiban perempuan terbatas hanya sampai di situ saja.
Ahli dalam segala hal mungkin bisa saja dilakukan oleh perempuan karena sudah terbiasa sejak kecil mengerjakan segala hal dalam waktu yang bersamaan. Hal itu membuat perempuan menjadi multitasking atau tugas ganda sekalipun perempuan itu berkarir atau ibu rumah tangga. Tetapi tetap saja setelah baik dalam segala hal masih saja kurang dihargai karena statusnya sebagai “perempuan” yang diremehkan dan dianggap tidak layak untuk produktif.
Perempuan bebas memilih sesuai dengan keinginannya tidak melulu harus didikte oleh sebagian kalangan yang tidak ingin perempuan itu maju dalam pendidikan dan karier. Apapun pilihannya mau itu sebagai ibu rumah tangga atau perempuan berkarier bahkan untuk memilih keduanya serahkan kepada pilihan perempuan tanpa adanya paksaan dari berbagai pihak karena perempuan berhak untuk mendapatkannya.
Sebagian orang mungkin memandang perempuan tidak pantas untuk memilih pilihan yang tidak sesuai dengan kebiasaan pada umumnya. Masyarakat memandang perempuan setelah menikah kodratnya hanya sebatas sebagai ibu rumah tangga saja dan tidak berhak memiliki aktifitas dan kewajiban yang lain apalagi yang dapat membuat perempuan menjadi semakin berkelas. Sejatinya kodrat perempuan itu hanya menstruasi, mengandung, melahirkan, dan menyusui selebihnya itu bukanlah kodrat seorang perempuan dan bukan menjadi kewajibannya.
Kodrat perempuan itu merupakan ketentuan dari Tuhan yang tidak dapat diubah atau ditukar atau bahkan dipindahtangankan kepada laki-laki. Kodrat perempuan itu bersifat mutlak hanya perempuan saja yang bisa dan mampu untuk melakukan itu. Selebihnya ada yang mengatakan kodrat perempuan bukan hanya itu saja, bukanlah kodrat perempuan sesungguhnya, melainkan hanya sekedar spekulasi yang sudutkan kepada perempuan.
Selama ini sebagian masyarakat kurang memahami apa saja kodrat perempuan dan kodrat laki-laki sehingga kekeliruan tersebut dibiarkan begitu saja dan menjadi sistem sosial yang berkembang di dalam masyarakat. Pada saat perempuan tidak memilih sesuai dengan kodratnya yang sebenarnya itu “bukan kodrat”, seperti melakukan pekerjaan domestik, perempuan akan dilabeli sebagai perempuan atau ibu yang salah atau tidak baik. Meskipun perempuan memilih untuk menjadi ibu rumah tangga itu bukan berarti perempuan harus dihina, diremehkan, atau tidak dihargai.
Padahal jika kita mengetahui yang sebenarnya kurangnya edukasi di masyarakatlah yang menempatkan perempuan dalam ketidak berdayaan dan ketidak adilan, maka dari itu pentingnya edukasi di dalam masyarakat agar tidak salah dalam bertindak dan tidak mudah untuk menjuluki perempuan dengan seenaknya tanpa di konfirmasi kembali apa benar itu kodrat sesungguhnya atau bukan agar kesetaraan dapat berlaku bagi perempuan.
1 Comment