BincangMuslimah.Com – Pernah dengar ucapan seperti “Kalau perempuan mau setara, ya harus kuat angkat-angkat seperti laki-laki.” Atau, “Kalau minta hak yang sama, berarti perempuan juga harus kerja fisik seberat laki-laki.” Selain itu ada juga komentar seperti ‘kalau perempuan mau kesetaraan gender, ya harus bisa angkat galon sendiri, jangan minta tolong laki-laki.” Dan masih banyak lagi.
Celoteh semacam ini lumayan populer di media sosial, dan sering kali memantik diskusi liar yang melebar. Lantas bagaimana makna kesetaraan gender yang sebenarnya? Apakah benar, jika ingin setara, perempuan harus memiliki otot bak binaragawan? Atau mahir mengangkat galon, menaiki tangga, tanpa keluhan?
Mungkin pemahaman ini kadang diucapkan dengan nada bercanda. Tapi siapa sangka efeknya serius. Seperti membatasi ruang perempuan, memperkuat stereotip, dan membebani perempuan dengan ekspektasi yang mungkin tidak realistis atau tidak adil.
Memang, tidak dapat dipungkiri jika laki-laki dan perempuan memang punya perbedaan fisik. Rata-rata laki-laki memiliki massa otot lebih besar, sementara perempuan memiliki kapasitas reproduksi yang khas. Perbedaan ini nyata dan kodrati. Namun, sesungguhnya bukan kesamaan fisik tahu biologis seperti ini yang diperjuangkan oleh kesetaraan gender.
Aktris India, Priyanka Chopra pernah mengeluarkan gagasan menarik terkait hal ini. Istri dari Nick Jonas ini mengatakan dengan tegas jika kesetaraan bukan soal menyamai fisik (kekuatan fisik) laki-laki, melainkan memberi kesempatan yang sama secara intelektual, profesional, dan sosial.
Selain itu, ia juga menegaskan bahwa feminisme bukan kebalikan dominasi laki-laki, bukan ajakan superioritas, tapi tuntutan hak dan kebebasan yang setara. Sayangnya, gagasan ini tidak begitu populer.
Lalu apa sebenarnya yang diperjuangkan dari gagasan kesetaraan gender?
Kesetaraan gender sering disalah pahami hanya sebatas membicarakan perbedaan fisik antara laki-laki dan perempuan. Esensi yang diperjuangkan, jauh lebih dalam. Yaitu bagaimana setiap orang memiliki akses, kesempatan, dan hak yang sama dalam seluruh aspek kehidupan, tanpa terikat oleh stereotip gender.
Di banyak masyarakat, batasan peran tradisional kerap menjerat. Perempuan dianggap harus tinggal di ranah domestik, sementara laki-laki ditempatkan sebagai pencari nafkah utama. Pola pikir seperti ini membatasi ruang gerak manusia.
Tidak hanya bagi perempuan, tapi juga laki-laki yang ingin mengekspresikan diri di luar peran kaku tersebut. Inilah mengapa kesetaraan gender sesungguhnya bukan perkara fisik, melainkan persoalan sistem, norma sosial, dan keadilan.
Perserikatan Bangsa-Bangsa menegaskan, gender equality adalah hak asasi mendasar yang menjadi fondasi bagi dunia yang damai dan berkelanjutan. “Gender equality is not only a fundamental human right, but a necessary foundation for a peaceful, prosperous and sustainable world,” tulis Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB).
Kesetaraan gender bukan sekadar isu moral, melainkan hak asasi manusia yang fundamental sekaligus fondasi penting bagi terciptanya dunia yang damai, sejahtera, dan berkelanjutan.
Inilah mengapa PBB menempatkan kesetaraan gender sebagai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG 5), yang bertujuan menghapus kesenjangan gender dan memberdayakan semua perempuan serta anak perempuan.
Namun, realitas global menunjukkan jalan menuju kesetaraan masih panjang. Perempuan dan anak perempuan yang mewakili separuh populasi dunia juga menyimpan separuh potensi dunia. PBB menyoroti sejumlah perjuangan inti dalam mencapai kesetaraan gender:
Pertama, Menghapus Kekerasan & Eksploitasi. Perempuan di seluruh dunia masih menghadapi kekerasan berbasis gender, termasuk kekerasan dalam rumah tangga, pelecehan seksual, hingga mutilasi genital perempuan (FGM). Lebih dari 230 juta perempuan dan anak perempuan telah menjadi korban praktik ini, dengan risiko besar bagi kesehatan dan keselamatan.
Kedua, Kesetaraan dalam Pekerjaan & Ekonomi.
Rata-rata perempuan hanya menduduki 30% posisi manajerial global, sementara mereka menghabiskan 2,5 kali lebih banyak waktu dibanding laki-laki dalam pekerjaan rumah tangga dan perawatan yang tidak dibayar. Ketidakadilan ini bukan hanya merugikan individu, tetapi juga memperlambat pertumbuhan ekonomi global.
Ketiga, Mengakhiri Praktik Merugikan. Praktik pernikahan anak masih tinggi: 1 dari 5 perempuan usia 20–24 tahun menikah sebelum berusia 18 tahun, terutama di Afrika Sub-Sahara. Jika tren tak berubah, butuh 300 tahun untuk benar-benar menghapus pernikahan anak.
Keempat, Akses ke Hak Seksual & Kesehatan Reproduksi. Sebanyak 43,7% perempuan menikah di dunia tidak memiliki kendali penuh atas hak reproduksi dan kesehatan seksual mereka. Ini berarti jutaan perempuan tidak bisa membuat keputusan mandiri tentang tubuhnya sendiri.
Kelima, Keterwakilan Politik & Kepemimpinan. Walau ada kemajuan, pada 2025 perempuan baru mengisi 27,2% kursi parlemen nasional. Dengan laju sekarang, butuh 140 tahun untuk mencapai keterwakilan setara dalam kepemimpinan publik.
Keenam, Reforma Hukum & Kebijakan. Hingga 2024, 47% negara masih membatasi pekerjaan tertentu bagi perempuan. Ada pula undang-undang diskriminatif yang memperlambat kemajuan. Jika perubahan hukum tetap berjalan lambat, diperkirakan butuh 286 tahun untuk menutup semua celah hukum.
Ketujuh, Akses ke Sumber Daya Ekonomi & Lahan.
Di hampir 80% negara, kurang dari separuh perempuan memiliki hak kepemilikan atau akses aman ke tanah pertanian, padahal lahan adalah kunci kemandirian ekonomi dan penguatan ketahanan pangan.
PBB menegaskan betul jika kesetaraan gender bukan hanya urusan perempuan, melainkan tujuan lintas sektor yang harus hadir dalam kebijakan, anggaran, dan prioritas nasional setiap negara. PBB juga menekankan bahwa laki-laki dan anak laki-laki punya peran penting dalam perjuangan ini. Kesetaraan gender menuntut kolaborasi semua pihak, bukan perjuangan sepihak.
Pada akhirnya, kesetaraan gender bukan hanya tentang perempuan harus punya kondisi fisik yang sama dengan laki-laki. Bukan pula sekadar memperoleh haknya. Ia adalah perjuangan membongkar hambatan struktural, menghapus diskriminasi, dan membangun masyarakat di mana setiap orang, laki-laki maupun perempuan bisa hidup, bekerja, dan berkembang dengan setara.