BincangMuslimah.Com- Agaknya tidak berlebihan jika mengatakan bahwa politik di Indonesia berwajah perempuan, namun berjiwa laki-laki. Ungkapan ini mencerminkan realitas yang menyelimuti kancah politik tanah air, di mana partisipasi perempuan di lembaga legislatif masih berada di bawah 30%. Dominasi laki-laki dalam pengambilan keputusan menjadi hambatan besar bagi terciptanya kebijakan yang inklusif dan responsif terhadap kebutuhan semua lapisan masyarakat.
Angka 30% diatur dalam UU Nomor 8 Tahun 2012 sebagai langkah strategis untuk meningkatkan keterwakilan perempuan dalam proses kebijakan. Peneliti mengungkapkan bahwa perempuan tidak akan memiliki dampak signifikan terhadap arah kebijakan yang inklusif gender hingga jumlah mereka mencapai minimal 30% di antara semua legislator.
Namun, kebijakan afirmatif yang diamanatkan Undang-Undang tersebut tidak serta merta meningkatkan partisipasi politik perempuan, terutama dalam menghasilkan kebijakan yang mencerminkan perspektif gender.
Budaya yang Membatasi Perempuan
Budaya yang mengedepankan peran tradisional bagi perempuan menjadi penghalang utama dalam upaya mereka untuk terlibat politik. Norma-norma sosial yang menganggap bahwa posisi pemimpin dan pengambilan keputusan adalah domain laki-laki menghambat perempuan untuk berpartisipasi dalam politik.
Pembagian peran yang kaku antara perempuan dan laki-laki mengakibatkan stereotip negatif yang melekat pada perempuan. Dalam banyak masyarakat, perempuan dianggap sebagai kaum yang lemah, tidak mandiri, dan bergantung pada laki-laki. Perempuan seringkali dipandang tidak memiliki daya saing yang cukup dan lebih mengandalkan naluri daripada kemampuan rasional.
Kondisi ini secara signifikan berdampak pada kehidupan perempuan, menjadikan mereka terpinggirkan dan berada pada posisi yang lebih rendah daripada laki-laki. Akibatnya, perempuan kehilangan kesempatan untuk mengaktualisasikan diri dan berkontribusi secara setara dalam pengambilan keputusan.
Agama juga berperan signifikan dalam peran politik perempuan. Nilai-nilai Islam seringkali disalahpahami dan digunakan untuk memperkuat pandangan patriarkal. Ajaran Islam yang sejatinya mendukung kesetaraan dan keadilan, namun banyak interpretasi konservatif yang justru memperkuat posisi subordinat perempuan.
Tokenisme: Sekedar Penuhi Kuota Â
Lahirnya UU Nomor 8 Tahun 2012 layaknya ibarat pisau bermata dua. Di satu sisi, kebijakan ini merupakan langkah strategis untuk mendorong keterwakilan perempuan dalam legislasi, sehingga suara perempuan terlibat dalam pengambilan keputusan. Namun, di sisi lain, kebijakan ini membuat perempuan rentan terhadap kekerasan dalam dunia politik.
Bagaimana tidak? Selain target 30% yang belum kunjung tercapai hingga saat ini, calon legislatif seringkali melibatkan perempuan hanya untuk sebatas memenuhi syarat agar partai lolos dalam pemilu. Hal ini mencerminkan bahwa politik Indonesia menganggap perempuan hanya sebagai simbol belaka, bukan sebagai aktor politik yang mandiri dan berdaya.
Seringkali calon perempuan menjadi alat dalam permainan kekuasaan politik. Sekalipun mereka mendapatkan kesempatan untuk mencalonkan diri, mereka sering ditempatkan di daerah pilihan yang bukan merupakan basis dukungan partainya. Akibatnya, peluang mereka untuk terpilih menjadi sangat terbatas. Hingga saat ini, partai politik di Indonesia belum memiliki komitmen serius dakan mengkaderisasi anggota perempuan, sehingga banyak anggota perempuan merasa terasing dan kurang mendapat dukungan dalam proses politik.
Kultur Partai Politik yang Maskulin
Dominasi laki-laki dalam sistem politik melahirkan budaya yang sangat patriarkal. Perempuan yang terlibat dalam peran pengambil kebijakan harus menghadapi tantangan ideologis dan psikologis. Mereka dipaksa untuk patuh pada norma-norma maskulin, yang tidak hanya mereduksi kepentingan perempuan, tetapi juga mengabaikan kebutuhan kelompok rentan lainnya.
Dalam diskusi-diskusi di parlemen, perempuan tidak mendapatkan ruang yang cukup untuk mengekspresikan perbedaan dan identitas mereka. Alih-alih dihargai atas perspektif unik mereka, mereka justru seringkali terpaksa untuk beradaptasi dengan gaya kerja dan pendekatan yang maskulin. Hal ini mengakibatkan isu-isu yang berkaitan dengan perempuan dan kelompok rentan seringkali terabaikan.
Realitas ini menunjukkan bahwa kebijakan afirmatif belum efektif dalam menghasilkan kebijakan yang berpihak pada perempuan. Banyak partai politik yang belum berupaya secara serius untuk menginternalisasi nilai-nilai kesetaraan dan demokrasi yang esensial, sehingga perempuan tidak mendapat fasilitas yang memadai untuk berpartisipasi bermakna dalam bangku legislatif.
Selain itu, sistem kelembagaan belum menyediakan mekanisme yang efektif untuk mengakomodasi perbedaan dan kepentingan perempuan. Tanpa adanya dukungan struktural yang kuat, aspirasi akan kebutuhan khusus perempuan akan terpinggirkan dalam pengambilan keputusan.
Konsekuensi Ketiadaan Suara Perempuan
Ketiadaan suara perempuan dalam pengambilan keputusan memiliki dampak serius terhadap kebijakan publik dan kesejahteraan masyarakat. Ketika perempuan tidak terlibat, hasil kebijakan menjadi tidak representatif dan seringkali mengabaikan isu-isu krusial bagi perempuan dan kelompok rentan. Lebih jauh lagi, pengambilan keputusan yang tidak berperspektif gender berpotensi memperkuat diskriminasi dan ketidaksetaraan.
Selain itu, ketiadaan suara perempuan juga menghambat inovasi dan keberagaman dalam pengambilan keputusan. Penelitian menunjukkan bahwa keberagaman dalam tim pengambilan keputusan akan berpotensi menghasilkan solusi yang lebih kreatif dan efektif. Ketika suara perempuan tidak hadir, maka potensi untuk menciptakan kebijakan yang inklusif dan komprehensif menjadi hilang.
Ketiadaan perempuan dalam legislatif juga mencerminkan lemahnya demokrasi di Indonesia. Menurut Inter-Parliamentary Union (IPU), organisasi yang mewadahi badan legislative di seluruh dunia, Indonesia berada pada peringkat 105 dari 193 negara di dunia dalam hal keterwakilan perempuan di parlemen.
Oleh karena itu, penting untuk mendorong keterlibatan perempuan dalam semua tingkatan pengambilan keputusan. Hal ini bukan hanya akan mencapai kesetaraan gender, tetapi juga untuk memastikan bahwa hasil kebijakan dapat memenuhi kebutuhan semua lapisan masyarakat. Membangun lingkungan politik yang inklusif dan mendukung partisipasi perempuan adalah langkah penting untuk membangun negara yang lebih adil dan berkelanjutan.
Semoga bermanfaat