BincangMuslimah.Com – Saat ini KPK sedang menjadi sorotan publik, karena proses alih status kepegawaian yang tidak akuntabel dan transparan. Alih status pegawai itu dilakukan melalui tes wawasan kebangsaan (TWK), yang hasilnya menuai banyak kritik. Dikeluarkannya SK pimpinan KPK, tanggal 7 Mei 2021 yang berisi untuk menonaktifkan 75 pegawai. Selama rangkaian TWK tersebut baik dalam tes tertulis dan wawancara pertanyaan-pertanyaannya bermuatan seksis dan melecehkan. Misalnya, “punya pacar?” lalu “kalau pacaran ngapain aja?” ada pula, “mau gak disuruh lepas jilbab?” dan pertanyaan lain yang bersifat personal dan tidak relevan dengan tugas-tugas pegawai KPK.
Kemudian di tanggal yang sama, Koalisi Masyarakat Sipil Anti Kekerasan Seksual (Kompaks) membuka posko aduan bagi korban alih status pegawai KPK, untuk merespon dampak dari pertanyaan-pertanyaan bernuansa seksis, melecehkan, bias gender dan lainnya. Maka pertanyaan haruskah rela dilecehkan demi kebangsaan? sangatlah relevan untuk dibahas.
Bagaimana bisa sebuah lembaga negara membuat proses alih status pegawai menjadi media untuk melakukan “pelecehan” yang dibungkus dalam serangkain tes? sebenarnya seperti apa tes tersebut, menurut Tri Astrining Putri ada sebuah webinar yang diinisiasi oleh Kompaks, Jaringan Gusdurian, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Konferensi Ulama Perempuan (KUPI), dan beberapa lembaga lain, mengupas habis fakta-fakta tentang TWK, pada sabtu 29 Mei 2021, tes yang mereka ikuti ini berbeda. Yang dijalani oleh pegawai KPK adalah indeks moderasi bernegara (IMB), yang berarti menentukan sikap. Sudah seharusnya tidak ada benar dan salah. Tri Astrining Putri adalah salah satu pegawai yang masuk dalam 75 pegawai yang dinonaktifkan.
Padahal, sudah jelas untuk dapat bekerja di KPK bukanlah hal yang mudah. Tri Astrining Putri sendiri masuk KPK melalui program Indonesia memanggil. Ada dua tes yang harus diikuti, yakni tes pengetahuan umum dan tes bela negara dengan karantina selama 48 hari. Dalam tes bela negara ada materi wawasan kebangsaan, maka seharusnya mereka sudah khatam dalam hal wawasan kebangsaan. Namun, faktanya mereka diberikan pertanyaan yang tidak ada kaitannya dengan pekerjaan mereka. Ada pernyataan “semua orang china sama saja” tetai tidak pula diberikan konteksnya.
Pertanyaan melecehkan tidak hanya terjadi pada perempuan, tapi juga laki-laki. Pegawai laki-laki ditanya “apakah pernah nonton film porno?” lalu “apa pandangan anda terhadap free sex, threesome dan quad?“ Kemudian peserta mengatakan pendapatnya terkait free sex, tapi jawaban peserta malah dijadikan bahan doxing di media sosial “pendukung free sex.” Maka consentnya benar sekali apakah untuk menjadi abdi negara harus rela dilecehkan? Apakah negara sampai harus menyentuh ranah privat? Jawabannya tentu tidak. Ini sudah melanggar kode etik dalam hal wawancara, serta melanggar HAM.
Menurut pandangan Kompaks yang diwakili oleh Aprilia Tengker, pegawai KPK saat ini sedang menghadapi sistem yang besar. Sejak 7 Mei 2021, Kompaks membuka posko pengaduan korban alih status pegawai KPK. Ada sekitar 8 pengadu yang datang ke kompaks, mereka melaporkan atas pertanyaan-pertanyaan seksis, melecehkan, dan menggiring opini. Sejauh ini langkah yang dilakukan Kompaks adalah membantu mengadukan hal tersebut ke Komnas Perempuan, sampai dibukanya rekaman wawancara sebagai bukti bahwa pertanyaan semacam itu benar adanya. Namun, belum ada tindakan tegas untuk pewawancara. Kompaks juga berharap adanya perbaikan dari segi sistem dan substansi. Hal ini sangat mungkin dijadikan preseden bagi lembaga lain untuk menyingkirkan pegawai yang berintegritas.
Problem alih status pegawai KPK ini membuat kita kembali berefleksi bahwa sangat perlu RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS). Faqihuddin Abdul Kodir mengatakan, ini termasuk kekerasan seksual verbal, harus ada simpati dan dukungan agar tidak terjadi lagi. Menurutnya terdapat problem yang bertingkat termasuk problem perspektif, luputnya mendengarkan dan memasukan pengalaman biologis dan sosiologis perempuan ke dalam rangkaian tes ini. Maka tak heran pertanyaan yang keluar bernuansa seksis dan melecehkan. Padahal pengalaman perempuan sama pentingnya dengan perspektif kemanusiaan, kebangsaan, dan kemaslahatan. Apalagi Gus Dur saat itu sudah mengeluarkan kebijakan pengarusutamaan gender. Nyatanya kebijakan tersebut masih tertatih-tatih dalam pengaplikasiannya hingga saat ini.
Penulis meyakini jika RUU PKS sudah disahkan maka bisa menjadi payung hukum yang kuat, karena sangatlah sulit jika hanya mengandalkan UU ITE dan KUHP. Namun, setidaknya sudah dilakukan langkah yang baik, yakni melapor ke Komnas Perempuan. Direktur PSHK, Gita Putri Damayana mengatakan selain melapor pada Komnas Perempuan, laporan juga bisa disampaikan ke Ombudsman sebagai lembaga yang mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik, dan tentu juga melapor pada Komnas HAM.
Kemudian melayangkan gugatan ke PTUN, dan melakukan upaya audiensi dengan DPR agar melakukan fungsi pengawasannya. Jadi memang tidaklah pantas jika calon abdi negara harus rela dilecehkan demi kebangsaan. Pun, seharusnya hasil TWK ini bukan menjadi penentu lulus atau tidaknya seseorang. Pegawai hanya wajib mengikuti assessment, sesuai Peraturan Komisioner No. 41 Tahun 2021. Karena memang seharusnya adanya pengalihan status pegawai KPK tidak boleh merugikan hak pegawai KPK untuk diangkat menjadi ASN dengan alasan apapun diluar desain yang telah ditentukan.