BincangMuslimah.Com – Islam tidak pernah mendeskritkan peran perempuan dalam ranah publik. Islam bahkan memuliakan dan mendorong perempuan untuk lebih banyak berperan dalam ruang-ruang publik. Dengan artian emansipasi perempuan yang seperti ini, Islam sama sekali tidak melarang.
Kalau kita membaca dari beberapa riwayat dan kitab-kitab shirah terutama tentang para sahabat perempuan, kemudian tentang interaksi Nabi atau sikap Nabi terhadap para sahabat perempuan itu menjelaskan bahwa pada masa Nabi Muhammad Saw aktivitas perempuan tidak hanya terbatas pada ruang-ruang domestik atau ruang yang ada dalam rumah tangga, tetapi banyak para sahabat perempuan yang juga berperan dalam ranah publik. Mereka mempunyai hak dan kebebasan untuk turut andil dalam ruang-ruang terbuka.
Karena itu banyak sekali riwayat-riwayat yang menjelaskan bahwa para sahabat perempuan banyak terlibat dalam ranah sosial. Seperti terlibat dalam peperangan, banyak juga riwayat yang menjelaskan bahwa Nabi Muhammad Saw memberikan ruang tersendiri untuk belajar para sahabat perempuan dan juga beberapa riwayat di situ juga menjelaskan bagaimana para sahabat perempuan ini ‘memprotes’ terhadap perlakuan para sahabat dan laki-laki pada umumnya yang ketika itu mereka nilai, mereka merasa terkungkung dan dibatasi aktivitasnya hanya pada kegiatan-kegiatan yang ada dalam rumah tangga. Apakah ini menunjukkan bahwa emansipasi perempuan di kalangan perempuan sudah tumbuh sejak masa Nabi?
Untuk lebih mengetahui tentang peran dan posisi perempuan dalam Islam, Reporter BincangSyariah.Com , Fahmi Suhudi, mewawancarai salah seorang ahli hadis perempuan yang saat ini tercatat aktif sebagai dosen di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Dr. Atiyatul Ulya, di kantornya. Berikut petikan wawancara tersebut;
Bagaimana posisi dan peran perempuan di zaman Nabi?
Beberapa peristiwa menunjukkan bahwa sebetulnya kesadaran untuk berkiprah dan berbuat lebih banyak terutama kepada masyarakat selain kepada keluarga itu sudah dilakukan oleh perempuan pada masa Nabi.
Riwayat ini misalnya disampaikan oleh salah seorang sahabat yang ketika itu menjadi duta para sahabat perempuan yaitu Asma binti Zaid, ketika itu Asma binti Zaid bersama perempuan yang lain mendatangi Nabi yang ketika itu Nabi sedang bersama sahabat laki-laki.
Dalam pertemuan itu Asma menanyakan kepada Nabi, “Kenapa kami ini para perempuan tidak diberikan ruang gerak sebagaimana kaum laki-laki, kami hanya dibatasi untuk misalnya mengurus anak-anak di rumah kemudian mengurus kepentingan dalam rumah. Sementara para lelaki diberikan tugas-tugas yang mereka bisa bebas dimana pun di luar rumah.”
Kemudian Asma mengatakan, “Dan Anda Nabi adalah Nabi yang diutus untuk Laki-laki dan perempuan, maka kami beriman kepada Anda. Oleh karena itu kami minta bagaimana agar kami juga memperoleh pahala yang sama sebagaimana yang diperoleh oleh laki-laki, mereka bisa berhaji dan sebagainya.”
Ketika mendengar tuntunan Asma yang ketika itu mewakili beberapa sahabat perempuan Nabi kemudian menyampaikan kekagumannya atas kesadaran serta sikap kritis yang dimiliki perempuan itu. Hal tersebut sama sekali tidak terduga. Ini juga menandakan bahwa kesadaran emansipasi perempuan telah ada sejak itu.
Nabi berkata kepada para sahabatnya, “Kamu dengar apa yang telah disampaikan oleh Asma? Betapa mulianya dia, betapa dalam kesadarannya dalam beragama sehingga mereka ingin memperoleh pahala yang sama seperti yang juga diperoleh lelaki.”
Kemudian Nabi mengomentari tuntutan dari para perempuan yang diwakili oleh Asma binti Zaid. Ketika itu beliau berkata, “Sesungguhnya apa yang kalian lakukan selama ini ketika kalian menjaga rumah, mendidik anak-anak dan aktivitas-aktivitas yang kalian kerjakan itu pahalanya sama dengan apa yang dilakukan oleh para kaum laki-laki.”
Nah, riwayat tadi menegaskan bahwa sebetulnya kesadaran akan emansipasi perempuan itu sudah muncul dan menjadi perhatian Islam sejak dulu, tidak hanya pada masa-masa akhir ini di mana banyak yang mempermasalahkan tentang kesetaran antara laki-laki dan perempuan.
Seperti apa gambaran peranan mereka di ranah sosial dan publik?
Contohnya seperti peristiwa hijrah ke Madinah, bagaimana peran Asma binti Abu Bakar kemudian juga ditemani oleh Aisyah yang ketika itu mereka berdua setiap hari pergi ke gua Hira mendatangi Nabi untuk mengirimkan makanan dan minuman.
Kalau kita bayangkan bagaimna ketika itu seorang perempuan yang dalam riwayat itu disebutkan sedang hamil, jalan sendirian di pegunungan padang pasir yang begitu panas tanpa ada yang menemani dan dengan begitu beraninya dia mengemban amanah tersebut. Ini merupakan perbuatan yang sangat luar biasa dan itu terjadi 1500 tahun yang lalu. Jangan dibayangkan seperti sekarang sudah banyak transportasi dan fasilitas yang lain. Ketika itu belum ada, tapi itu dia lakukan. Siapa yang melakukan? perempuan.
Jadi itu sudah cukup menjelaskan bagaimana posisi mereka dalam masyarakat dan bagaimana kewajiban khalifah yang tidak hanya dilakukan para kaum laki-laki saja tetapi kaum perempuan juga mempunyai kewajiban yang sama dan itu mau tidak mau menuntut keterlibatan di ranah publik.
Bagaimana Perilaku Nabi Muhammad Saw terhadap istrinya?
Perilaku Nabi terhadap para istrinya misalkan Nabi tidak jarang untuk meminta pendapat para istrinya, bagaimana kita membaca peran Ummu Salamah ketika membantu Nabi, ketika itu Nabi dihadapkan kepada para sahabat yang pada rentetan peristiwa terjadinya peristiwa hudaibiyah mereka sedang umrah tapi kemudain dihadang oleh tentara kaum Quraish dan dilarang memasuki kota Makkah.
Kemudian mereka disuruh menyembelih hewan kurbannya dan disuruh untuk tahalul, tetapi para sahabat tidak satupun yang mau melakukannya, itu membuat Nabi sedih dan curhat dengan Ummu Salamah salah satu istri beliau yang ketika itu mendampingi Nabi. Maka Nabi menceritakan kesedihannya kemudian Umi Salamah memberikan masukan dan saran kepada Nabi.
“Nabi, jika Nabi telah menyuruh tetapi tidak ada yang melakukan maka sebaiknya Nabi memotong atau cukur rambut maka nanti saya yakin para sahabat akan melakukannya”. Dan ternyata benar apa yang dikatakan Ummu Salamah. ketika Nabi kemudian bertahalul maka kemudian berbodong-bondong para sahabat mengikuti apa yang Nabi lakukan. Mereka bertahalul tanpa Nabi harus menyuruh pada sebelumnya. Bahkan pada riwayat lainnya disebutkan sampai mereka ini berebut supaya mereka bisa bercukur atau berlahalul ketika itu.
Ini juga menunjukkan bagaimana perempuan sangat dihargai pendapat-pendapatnya. Belum lagi riwayat tentang Siti Aisyah sangat banyak sekali, kemudian riwayat dari istrinya yang lain Zainab, Maimunah, Siti Zam’ah, apalagi riwayat tentang Siti Khadijah sebagai istri Nabi yang pertama sangat luar biasa yang beliau lakukan terutama untuk perjuangan dalam mensyiarkan agama Islam mereka bersama-sama bahu-membahu mendampingi Nabi Muhammad Saw.
Adakah perawi-perawi perempuan di dalam penyebaran hadis?
Itu sudah pasti ada, mereka sangat banyak. Dalam beberapa penelitian atau dalam kitab rijalul hadis itu disebutkan bahwa periwayat perempuan jumlahnya pada saat itu lebih dari 100, Dan kita tahu juga periwayat perempuan ada di peringkat ke tiga sebagai periwayat yang meriwayatkan hadis terbanyak Nabi yaitu Siti Aisyah.
Itu menunjukkan bahwa perempuan pada saat itu juga sangat berperan dalam periwayatan Hadis bukan hanya Siti Aisyah tapi hampir seluruh istri-istri Nabi mereka juga adalah para periwayat hadis. Belum lagi nanti para sahabat perempuan lainnya itu sangat banyak sekali, tadi saya katakan jumlahnya sampai ratusan pada masa Nabi Saw.
Bagaimana para ahli hadis lainnya mengambil hadis dari para periwayat perempuan?
Tadi saya sebutkan bahwa mereka para perempuan diberikan pengajaran yang khusus oleh Nabi Saw kemudian mereka menyebarkan riwayat-riwayat itu kepada sahabat yang lain, baik kepada laki-laki atau perempuan, keluarganya, ayahnya, saudara anaknya dan sebagainya. Hal itu bagaimana secara tidak langsung mereka telah meriwayatkan hadis itu dan sekali lagi, jumlah periwayat perempuan waktu itu cukup banyak.
Namun pada masa-masa berikutnya jumlah yang tadinya ratusan pada masa Nabi itu kemudian berkurang secara cukup signifikan bahkan pada satu masa itu tidak dijumpai ada periwayat perempuan. Kalau kita bicara tentang ini akan panjang faktor kenapa itu terjadi dan sebagainya serta dibutuhkan banyak analisis untuk itu.
Bagaimana peran mereka dalam proses pengkodifikasian hadis?
Peran dari para periwayat perempuan ini, terutama Siti Aisyah, sudah pasti diakui keberadaannya oleh seluruh ulama hadis. Bagaimana peran mereka dalam pengkodifikasian hadis dan semua yang berkaitan dengannya, bahkan pada riwayat tentang pengkodifikasian hadis yang instruksikan oleh Syihabuddin Azzuhri, kemudian Ibnu Hazm yang waktu itu diinstruksikan oleh Umar bin Abdul Aziz.
Salah satu instruksinya adalah silakan mengumpulkan riwayat dari Amrah salah seorang periwayat perempuan yang beliau adalah salah satu murid Siti Aisyah dan murid-murid periwayat hadis perempuan ini sangat banyak yang sekarang ini bisa kita jumpai yang terhimpun dalam kutub as-sitah atau kutub al-tis’ah.
Sejauh mana keterlibatan mereka dalam proses pengkoreksian hadis-hadis yang diragukan keshahihannya?
Mereka cukup sangat berperan bahkan Siti Aisyah itu menjadi rujukan kroscek oleh beberpa sahabat ketika mereka ragu-ragu memperoleh riwayat. Banyak seklai riwayat yang menjelaskan bagaimana para sahabat itu meng-croscek kepada Siti Aisyah. Misalnya salah satu riwayat yang terkenal adalah ketika Siti Aisyah di-croscek tentang hadis yang menjelaskan tentang hukum junub pada bulan Ramadhan tapi tidak mandi suci sampai pagi, dalam riwayat yang mereka terima sebelum melakukan klarifikasi kepada Siti Aisyah disebutkan hukum puasanya batal.
Riwayat itu kemudian diklarifikasi kepada Siti Aisyah dan Siti Aisyah memberikan penjelasan dan klarifiskasi bahwa apa yang mereka denger itu keliru. Siti Aisyah pernah melihat Nabi suatu ketika beliau malam masih dalam keadaan junub dan junubnya, kata Aisyah, bighairi ihtilamin bukan karena bermimpi, dan sampai pagi Nabi belum mandi junub dan Nabi tetap melanjutkan puasanya.
Dan riwayat itu kemudian dicrok cek lagi kepada Istri Nabi yang lain yaitu Ummu Salamah. Ternyata Ummu Salamah juga memberikan klariikasi yang sama seperti apa yang diriwayatkan oleh Siti Aisyah. Nah, oleh karena itu para sahabat ketika itu dan para periwayat hadis pada masa-masa sesudahnya kemudian lebih mengambil riwayat dari Siti Aisyah dari klarifikasinya itu karena para istri Nabi dianggap yang lebih mengetahui persoalan berkaitan dengan keluarga, terutama yang berkaitan dengan masalah suami dan istri.
Adakah Kitab yang menghimpun khusus tentang hadis-hadis yang diklarifikasi oleh para istri nabi ini?
Iya, riwayat-riwayat yang diklarifikasi kepada Siti Aisyah maupun istri-istri Nabi yang lain cukup banyak bahkan ada satu kitab tersendiri yang menghimpun koreksi dari Siti Aisyah terhadap riwayat-riwayat hadis yang ketika itu memang terjadi kesalahan dalam penyampaian. Bukan karena ketersengajaan tetapi karena memang hafalan seorang perawi yang tidak sebaik hafalan para periwi yang lain.
Jadi dalam hal ini cukup jelas bagaimana peran mereka dalam meriwayatkan hadis sehingga sampai pada saat ini kita masih bisa membacanya riwayat-riwayat itu dalam beberapa kitab induk hadis yang saat ini terhimpun dalam kutub sittah atau kutub tis’ah.
Berarti tidak ada kesenjangan antara perempuan dan laki-laki dalam hal penyebaran hadis ya bu?
Dulu dan sekarang pada umumnya memang masih ada yang menganggap sebelah mata terhadap riwayat-riwayat yang diriwakatkan oleh ulama perempuan. Tapi nyatanya para ulama hadis tidak mempermasalahkan. Baik periwayat laki-laki atau perempuan sama saja sebagai periwayat hadis, selama memenuhi kriteria ‘adalah dan dhabt atau disebut tsiqah dalam istilah ilmu hadis. Maka dapat diterima periwayatan mereka meskipun mereka perempuan
Masyarakat cenderung menilai bahwa kasus pelecehan seksual yang sering terjadi kepada perempuan adalah kesalahan perempuan itu sendiri. Bagaimana islam menyikapinya?
Sekarang ini kita lihat memang masyarakat cenderung menyalahkan perempuan atas persoalan pelecehan seksual atau sexual harassment dengan alasan perempuan tidak menutup aurat. Padahal banyak juga perempuan yang menutup aurat juga menjadi korban. Jadi masalahnya bukan pada menutup aurat atau bukan. Tapi juga laki-laki dalam hal ini perlu kembali ditekankan untuk ghardhul bashar.
Sebetulnya Nabi memberikan perhatian yang sangat luar biasa terhadap keamanan perempuan dari berbagai bentuk kejahatan termasuk dalam hal ini adalah kejahatan seksual.
Seperti dalam hadis tentang mahram. Nabi mengatakan
لا تسافر المرأة إلا و معها محرم
“Janganlah para perempuan itu boleh berpergian sendiri kecuali mereka didampingi oleh mahram”
Kemudian dalam riwayat itu disebutkan ada salah saeorang sahabat bertanya kepada Nabi. Kata sahabat itu, “Nabi, Anda telah memrintahkan saya untuk berperang tetapi di saat yang sama istri saya ingin melaksanakan haji.” Ketika mendengarkan pertanyaan itu Nabi mengatakn, “ Fahujja” berhajilah.”
Nabi justru menyuruh sahabat itu untuk berhaji menemani istrinya. Nabi memberikan keringanan kepada sahabat itu untuk tidak berperang tetapi disuruh menemani istrinya berhaji.
Jika melihat kondisi secara umum ketika itu yang dalam beberapa riwayat hampir setiap hari terjadi peperangan. Kita bisa bayangkan di daerah-daerah yang rawan konflik kemudian perempuan yang saat itu secara umum mereka tidak banyak diberikan kesempatan untuk keluar rumah dan sebagainya kemudian mereka dibiarkan pergi sendirian tanpa harus ada yang mendampingi maka ini menurut saya bukan sesuatu yang bijaksana. Karena memang kondisinya sangat tidak memungkinkan.
Oleh karena itu ketika Nabi membuat instruksi atau perintah seperti itu yang tidak membolehkan perempuan keluar rumah tanpa ada pendampingnya adalah dalam konteks Nabi ingin memberikan jaminan keamanan kepada para perempuan.
Sama seperti beberapa waktu yang lalu banyak terjadi perkosaan di angkutan umum, maka salah satu yang diperhatikan adalah -yang kemudian menjadi panduang masyarakat- sebaiknya kalau keluar jangan sendiri harus ada temannya. Beda jika keadaannya aman.
Tapi kenapa banyak yang memahami hadis tadi dengan pemahaman yang kesannya mendeskritkan perempuan, bu?
Memang pada saat selanjutnya pemahamn itu kemudian bergeser dan seperti yang kita lihat justru lebih dipahami sebagai pembatasan terhadap hak-hak aktifitas perempuan. Mereka dibatasi cukup di rumah saja, tidak perlu belajar lebih jauh dan sebagainya dengan alasan hadis itu. Karena (hadis itu) dipahami siapa pun perempuan kalau keluar rumah maka wajib ada yang mendampingi tanpa harus memperhatikan konteksnya. Maka yang kita lihat saat ini adalah banyak yang terjadi seperti itu.
Seperti yang saya jelaskan bahwa saat Nabi menyampaikan tentang mahram bepergian menurut saya konteksnya adalah Nabi menjaga supaya para perempuan ini tidak menjadi korban kekerasan dan kejahatan seksual. Sayangnya justru sebaliknya hadis itu kemudian ditafsirkan menjadi pembatasan terhadap ruang gerak aktivitas perempuan.
Jadi dalam hal ini maka jelas bagaimana sebetulnya Islam itu menjamin keamanan perempuan terutama untuk menghindari kejahatan dan pelecehan seksual yang saat ini marak terjadi. Semua punya kewajiban yang sama, baik laki-laki atau perempuan, pemerintah dan masyarakat untuk menciptakan lingkungan yang aman yang tidak menimbulkan pelecehan seksual dimana pun berada.
Bagaimana sikap Nabi terhadap persoalan kekerasan dalam rumah tangga?
Seperti yang tadi dilakukan Asma, ada juga riwayat lain yang menceritakan tentang protes perempuan ketika diperlakukan kasar oleh para suaminya. Tetapi kali ini mereka langsung datang ke rumah Nabi.
Apa yang mereka lakukan? Mereka melaporkan perlakuan kasar yang mereka terima dari para suaminya, mereka mengadukan kepada Nabi yang kemudian dalam riwayat itu dikatakan…
لقد أطاف بآل محمد
Sungguh para perempuan itu telah melakukan demonstrasi atau mengelilingi rumah keluarga Nabi dan mereka mengadukan perlakuan kasar para suaminya kepada Nabi sehingga kemudian Nabi memberikan peringatan kepada suami-suami itu, Nabi mengatakan kepada mereka
خيركم، خيركم لأهله. وأنا خيركم لأهله
“Sebaik-baik kalian adalah yang paling berperilaku baik kepada keluarga dan saya adalah orang yang paling berperilaku baik kepada keluarganya”
Baik, Bu. Terima kasih banyak atas informasinya terkait keterlibatan perempuan dan peranannya dalam ranah sosial yang terrekam dalam hadis-hadis Nabi. Semoga ini bermanfaat bagi para pembaca.
*Artikel ini pernah dimuat oleh BincangSyariah.Com
Pingback: Kesadaran Emansipasi Perempuan Ada Sejak Masa Nabi | Alhamdulillah Shollu Alan Nabi #JumatBerkah - Ajeng .Net