Ikuti Kami

Muslimah Talk

Bagaimana Bentuk Kesetaraan Gender dalam Islam?

bentuk kesetaraan gender islam
Source: Gettyimages.com

BincangMuslimah.Com – Perempuan adalah manusia mukallaf, seperti pula laki-laki. Pernyatan tersebut adalah salah satu bentuk kesetaraan gender dalam Islam. Perempuan dituntut untuk melakukan ibadah kepada Allah Swt. dan menegakkan agama-Nya.

Selain itu, bentuk kesetaraan gender dalam Islam adalah perempuan dituntut untuk menunaikan segala sesuatu yang difardhukan-Nya, menjauhi segala yang diharamkan-Nya, mematuhi batas – batas-Nya, serta beramar ma’ruf nahi munkar.

Islam pun memberikan kesempatan yang sama antara perempuan dan laki-laki. Kesempatan inilah yang menjadi salah satu bentuk paling kuat dalam pelbagai macam bentuk kesetaraan gender dalam Islam.

Terbuka kesempatan selebar-lebarnya bagi perempuan untuk meniti karir sebagaimana laki-laki juga diberi kebebasan untuk mengembangkan diri. Perempuan juga diperbolehkan untuk bekerja, mengembangkan seluas-luasnya keahlian dan kemampuan yang dimiliki.

Yusuf Qardhawi menuliskan dalam buku Fatwa-Fatwa Kontemporer Jilid II (1995) bahwa semua firman dan sabda Pembuat Syariat di dalamnya melibatkan perempuan, kecuali apabila ada dalil tertentu yang dikhususkan untuk laki-laki.

Jika Allah Swt berfirman “wahai manusia” atau “wahai orang-orang yang beriman”, maka perempuan termasuk di dalamnya, tanpa diperselisihkan dengan laki-laki.

Prinsip keadilan juga sangat dijunjung tinggi dalam Islam. Inilah kesetaraan gender dalam Islam, keadilan yang diberikan berupa kesetaraan dan kesederajatan tentang hak-hak dan kewajiban-kewajiban kepada perempuan dan laki-laki, sesuai dengan tanggung jawab masing-masing.

Dalam buku Perempuan dan Hak-haknya Menurut Pandangan Islam (2009), Murtadha Muthahhari menyatakan bahwa tidak ada preferensi dan diskriminasi yang menguntungkan laki-laki dan merugikan perempuan dalam ajaran agama Islam.

Islam menggariskan prinsip kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, tapi tidak persis sama atau identik. Kata “kesetaraan” atau equality telah memeroleh semacam kesucian, sebab kata “kesetaraan” ini telah mencakup pengertian keadilan dan tidak adanya diskriminasi.

Allah Swt. berfirman dalam Quran Surat An-Nisa Ayat 32:

 وَلَا تَتَمَنَّوْا۟ مَا فَضَّلَ ٱللَّهُ بِهِۦ بَعْضَكُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ ۚ لِّلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِّمَّا ٱكْتَسَبُوا۟ ۖ وَلِلنِّسَآءِ نَصِيبٌ مِّمَّا ٱكْتَسَبْنَ ۚ وَسْـَٔلُوا۟ ٱللَّهَ مِن فَضْلِهِۦٓ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ بِكُلِّ شَىْءٍ عَلِيمًا

Artinya: “Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (Karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi para perempuan (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”

Kadang-kadang, perempuan sangat perlu untuk meninggalkan rumah. Misalnya, perempuan yang tidak mempunyai keluarga yang bisa merawatnya, atau suami yang melindunginya jatuh sakit atau lemah.

Jadi, ayat tersebut sebenarnya tidak berarti melarang perempuan untuk bekerja diluar rumah secara total. Sebab pada dasarnya, Islam tidak melarang perempuan bekerja dan berkarir. Makna dari ayat tersebut adalah: sejauh mana kebolehan perempuan tersebut untuk meninggalkan rumah?

Baca Juga:  Summer Strike: Proses Pencarian Jati Diri Seorang Perempuan

Dalam hal ini, para ulama berpendapat bahwa perempuan boleh bekerja di luar rumah rumah apabila ada kebutuhan atau hajat yang menghendakinya. Jadi tidak hanya dalam kondisi darurat saja, pendapat ini ditegaskan oleh al-Biqa`i. Hal ini selaras dengan sabda Nabi Muhammad Saw:

“Allah Swt. mengizinkan kalian (perempuan) meninggalkan rumah untuk kebutuhan-kebutuhan kalian.” (H.R. Imam Bukhari)

Masalah selanjutnya adalah tempat perempuan bekerja. Kadang, perempuan mesti menempuh perjalanan jauh untuk bisa sampai ke tempat bekerja. Dalam hal ini, para ulama sepakat bahwa bagi perempuan baik yang sudah menikah atau belum menikah tidak bisa melakukan perjalanan kecuali ditemani oleh mahramnya. Atau kalau tidak, bisa dengan sejumlah perempuan yang dipandang tsiqah atau dapat dipercaya.

Sesungguhnya, Islam tidak mengenal diskriminasi antara perempuan dan laki-laki. Islam justru menempatkan perempuan sebagai mitra sejajar dengan kaum laki-laki. Jika ada perbedaan, maka itu adalah akibat fungsi dan tugas-tugas utama yang dibebankan untuk tugas masing-masing kelamin. Perbedaan yang ada tersebut tidak mengakibatkan yang satu merasa memiliki kelebihan atas yang lain.

Husein Muhammad, seorang kiai feminis melihat bahwa kecenderungan manusia untuk melakukan aktivitas kerja ekonomis semakin menguat. Maka dari itu, tak ada salahnya apabila perempuan mesti melakukan kerja ganda yakni melakukan pekerjaan domestik di rumah dan berkarir atau bekerja di kantor.

Lebih jauh, dalam buku Fiqh Wanita: Refleksi Kiai Atas Wacana Agama dan Gender (2001), Kiai Husein menekankan bahwa manusia dihimpit banyak persoalan yang sangat kompleks sebagai misal kebodohan, kemiskinan, keterbelakangan, rendahnya tingkat kesehatan, penindasan, dan perlakuan tidak adil oleh struktur sosial yang ada. Persoalan-persoalan tersebut butuh kerja keras yang profesional.

Tugas besar tersebut tentu tidak mungkin hanya bisa dikerjakan oleh kaum laki-laki. Maka dari itu, keterlibatan kaum perempuan untuk menyelesaikan segara persoalan yang telah disebutkan adalah keniscayaan. Bagi Kiai Husein, kerja keras secara profesional oleh kaum Muslimin dan Muslimat adalah tuntunan agama dan bernilai ibadah.

Islam dan Diskriminasi

Bentuk kesetaraan gender dalam Islam selanjutnya adalah Islam tidak mengenal diskriminasi antara kaum laki-laki dan perempuan. Untuk itu, Islam senantiasa menempatkan perempuan sebagai mitra yang sejajar dengan kaum laki-laki.

Jika dirasa ada perbedaan, maka sebenarnya perbedaan tersebut adalah karena adanya fungsi dan tugas-tugas utama dalam agama kepada masing-masing kelamin. Perbedaan yang terjadi tidak mengakibatkan yang satu merasa memiliki kelebihan atas yang lainnya.

Konsep kesetaraan tersebut, menurut oleh Prof. Dr. Huzaemah T. Yanggo, bisa dilihat dari beberapa perspektif seperti yang diuraikan dalam bukunya yang berjudul Fikih Perempuan Kontemporer (2010) sebagai berikut:

Pertama, perspektif pengabdian. Islam tidak membedakan antara perempuan dan laki-laki dalam pengabdian. Satu-satunya perbedaan yang bisa dijadikan ukuran untuk meninggikan atau merendahkan derajat mereka hanyalah nilai ketakwaan kepada Allah Swt. Hal ini ditegaskan dalam firman Allah Swt. yakni surat al-Hujurat ayat 13.

Baca Juga:  Tetangga Alami KDRT, Kita Harus Lakukan Ini

Selain itu, perempuan dan laki-laki juga sama-sama berhak masuk surga, sama-sama diperbolehkan turut berpartisipasi dan berlomba-lomba mengerjakan kebajikan mengabdi kepada masyarakat, berguna bagi negara dan agama. Hal ini ada dalam firman Allah Swt, tepatnya dalam surat an-Nahl ayat 97.

Kedua, perspektif asal kejadian perempuan. Al-Quran menerangkan bahwa laki-laki dan perempuan diciptakan Allah Swt. dengan derajat yang sama. Tidak ada isyarat dalam al-Quran yang menerangkan bahwa perempuan pertama (Hawa) yang diciptakan oleh Allah Swt. merupakan ciptaan yang bermartabat lebih rendah dari Adam.

Menurut Huzaemah, dalam Qur’an Surat an-Nisa ayat 1 mengesakan bahwa tidak disebutkan adanya perbedaan bahan penciptaan manusia antara perempuan dan laki-laki. Keduanya berasal dari jenis yang sama..

Ketiga, perspektif kejiwaan. Ada anggapan yang meyakini bahwa dari segi kejiwaan, perempuan mempunyaii jiwa yang lemah. Jiwa lemah tersebutlah yang membuat perempuan mudah terkena godaan atau rayuan.

Anggapan ini biasanya menyandarkan diri pada peristiwa keberhasilan iblis merayu Adam untuk memakan buah surga disebabkan kebebasan iblis merayu Hawa terlebih dahulu. Padahal, dalam Q.S. al-A’raf Ayat 20 dijelaskan sebagai berikut:

“Maka syaitan membisikkan pikiran jahat kepada keduanya untuk menampakkan kepada keduanya apa yang tertutup dari mereka yaitu auratnya dan syaitan berkata: “Tuhan kamu tidak melarangmu dan mendekati pohon ini, melainkan supaya kamu berdua tidak menjadi malaikat atau tidak menjadi orang-orang yang kekal (dalam surga)”.

Menurut Huzaemah, dalam ayat ini dinyatakan bahwa setan membisikkan pikiran jahat kepada keduanya dengan menggunakan bentuk mutsanna yang menunjukkan dua orang. Maka, peristiwa makan buah surga tidak bisa disimpulkan sebagai hasil rayuan setan kepada Hawa saja.

Keempat, perspektif kemanusiaan. Salah satu tradisi bangsa Arab sebelum kedatangan Islam adalah mengubur hidup-hidup bayi perempuan karena alasan takut miskin atau tercemar namanya. Kisah ini diceritakan dalam surah an-Nahl ayat 58-59.

Islam hadir dengan membawa nilai kesetaraan dan mereformasi serta melakukan revolusi terhadap tradisi yang telah menginjak-injak kemanusiaan, terutama terhadap kaum perempuan. Islam menghapus tradisi mengubur hidup-hidup bayi perempuan dan memberikan kedudukan mulia bagi perempuan.

Empat perspektif kesetaraan tersebut mengisyaratkan prinsip kesetaraan dan keadilan gender. Keempatnya juga memberikan ketegasan bahwa baik perempuan dan laki-laki bisa meraih prestasi individual baik dalam bidang spiritual ataupun karir profesional. Laki-laki dan perempuan memperoleh kesempatan yang sama dalam meraih prestasi yang optimal.

Feminisme dalam Islam

“Apakah gagasan-gagasan dalam feminisme sejalan dengan prinsip ajaran agama Islam?”

Pertanyaan tersebut sering dilontarkan di banyak forum. Banyak orang yang menyangsikan, tak sedikit pula yang yakin bahwa keduanya sejalan. Perdebatan mengenai apakah feminisme cocok dengan ajaran Islam, dan juga sebaliknya, memang sudah berlangsung sejak lama.

Baca Juga:  Nasywa Shihab: Bantu Carikan Guru yang Tepat untuk Belajar Islam Lewat Cariustadz.id

Ada pihak yang meyakini bahwa feminisme Islam tak lebih dari kontradiksi karena agama Islam dianggap menempatkan laki-laki sebagai gender yang lebih tinggi derajatnya ketimbang perempuan.

Tapi, ada pihak-pihak lain yang juga menyatakan bahwa Islam pada dasarnya menghormati perempuan. Ada juga yang menyatakan bahwa masalahnya terletak pada interpretasi patriarkal dari teks keagamaan.

Secara global, gerakan feminisme Islam sangat kuat dan mendukung advokasi hak-hak perempuan, kesetaraan gender, dan keadilan sosial yang didasarkan pada nilai-nilai Islam.

Gerakan feminisme Islam berakar dari ajaran agama Islam, tapi tetap mempertimbangkan juga wacana feminis sekuler, Barat, atau non-Muslim.

Tokoh feminisme Islam terkenal diantaranya adalah Fatima Mernissi, Shirin Ebadi, Leila Ahmed, Asma Barlas, dan Amina Wadud. Amina Wadud pernah menghebohkan dunia Islam lantaran pernah menjadi imam salat jemaah dengan makmum laki-laki dan perempuan.

Indonesia juga memiliki figur-figur seperti mantan ibu negara Shinta Nuriyah, Siti Musdah Mulia; Maria Ulfah Anshor, ulama feminis Husein Muhammad, Neng Dara Affiah, dan masih banyak lagi.

Akademisi Islam dan aktivis hak-hak gender, Neng Dara Affiah, mengaku pada Jurnal Perempuan bahwa ia sering merasa beberapa ajaran Islam justru bertentangan dengan prinsip-prinsip feminisme. Hal tersebut membuatnya terjebak dalam dilema.

Ia menemukan banyak hadis bersifat misoginis, dan Kitab Kuning yang justru menempatkan perempuan dalam hierarki terendah setelah laki-laki.

Secara pribadi, Neng Dara tidak mampu meninggalkan ajaran Islam. Ia merasa seperti pengkhianatan. Karena itulah ia melakukan apa yang ia sebut hibridisasi dari Islam dan feminisme.

Hibridisasi yang dimaksud adalah mendasarkan feminisme pada Al-Qur’an dan hadis serta fiqih tapi dengan interpretasi yang tidak umum.

Selain upaya hibridasi yang ia lakukan, menurutnya, organisasi-organisasi Muslimah di Indonesia sebenarnya sudah melakukan upaya untuk mengadopsi nilai feminisme. Meskipun beberapa di antaranya tidak pernah secara langsung menggunakan istilah feminisme.

Organisasi yang bermunculan menampung kegelisahan banyak orang yang merasakan diskriminasi perempuan dalam ajaran agama dan ingin memperjuangkan hak-haknya.

Neng Dara menyatakan bahwa bagi pihak yang merasa bahwa feminisme dan Islam saling bertentangan, maka mereka perlu memahami bahwa Islam sebenarnya memuliakan pengetahuan dan perempuan. Hal inilah yang ia lihat sebagai inti dari feminisme.

Masa kejayaan gerakan feminis Islam sebenarnya terjadi pada zaman kolonial. Feminisme berperan menyebarkan semangat pencerahan Barat. Organisasi Muslimah banyak bermunculan di berbagai daerah.

Organisasi-organisasi tersebut mengadvokasi peningkatan hak-hak perempuan, mulai dari pemberantasan buta huruf di kalangan perempuan sampai pengajuan amandemen Undang-Undang Perkawinan demi meningkatkan peran perempuan dalam menjalani kehidupan pernikahan.

Demikian artikel tentang bentuk kesetaraan gender dalam Islam. Semoga, apa yang dituliskan dalam artikel ini bermanfaat bagi para pembaca.[]

*Tulisan ini pernah diterbitkan di Bincangsyariah.com

Rekomendasi

Ditulis oleh

Redaksi bincangmuslimah.com

3 Komentar

3 Comments

Komentari

Terbaru

Sekilas tentang Sholihah Wahid Hasyim, Ibunda Gusdur

Kajian

Definisi anak menurut hukum Definisi anak menurut hukum

Definisi Anak Menurut Hukum, Umur Berapa Seorang Anak Dianggap Dewasa?

Kajian

Beauty Previllege terobsesi kecantikan Beauty Previllege terobsesi kecantikan

Beauty Previllege akan Menjadi Masalah Ketika Terobsesi dengan Kecantikan

Diari

Perilaku Rendah Hati alquran Perilaku Rendah Hati alquran

Tiga Contoh Perilaku Rendah Hati yang Diajarkan dalam Alquran

Muslimah Daily

Langkah mengesahkan Pernikahan Siri Langkah mengesahkan Pernikahan Siri

Langkah Hukum Mengesahkan Pernikahan Siri

Kajian

puasa syawal senilai setahun puasa syawal senilai setahun

Alasan Mengapa Puasa Syawal Senilai Puasa Setahun

Kajian

Metode Nabi Muhammad Metode Nabi Muhammad

Tiga Langkah Membina Generasi Berkualitas bagi Perempuan Karir

Keluarga

Tiga Hal Ini Perlu Ditekankan agar Pernikahan Menjadi Sakinah

Keluarga

Trending

doa terhindar dari keburukan doa terhindar dari keburukan

Doa yang Diajarkan Rasulullah kepada Aisyah agar Terhindar Keburukan

Ibadah

Surat Al-Ahzab Ayat 33 Surat Al-Ahzab Ayat 33

Tafsir Surat Al-Ahzab Ayat 33; Domestikasi Perempuan, Syariat atau Belenggu Kultural?

Kajian

Laksminingrat tokoh emansipasi indonesia Laksminingrat tokoh emansipasi indonesia

R.A. Lasminingrat: Penggagas Sekolah Rakyat dan Tokoh Emansipasi Pertama di Indonesia

Muslimah Talk

Mahar Transaksi Jual Beli Mahar Transaksi Jual Beli

Tafsir Surat An-Nisa Ayat 4; Mahar Bukan Transaksi Jual Beli

Kajian

Doa berbuka puasa rasulullah Doa berbuka puasa rasulullah

Beberapa Macam Doa Berbuka Puasa yang Rasulullah Ajarkan

Ibadah

Definisi anak menurut hukum Definisi anak menurut hukum

Definisi Anak Menurut Hukum, Umur Berapa Seorang Anak Dianggap Dewasa?

Kajian

Hukum Sulam Alis dalam Islam

Muslimah Daily

Perilaku Rendah Hati alquran Perilaku Rendah Hati alquran

Tiga Contoh Perilaku Rendah Hati yang Diajarkan dalam Alquran

Muslimah Daily

Connect