Ikuti Kami

Khazanah

Perempuan yang Berperan dalam Kebijakan Islam di Masa Rasulullah

perempuan berperan kebijakan Islam
Diverse group of business people in modern office and coworking space working together

BincangMuslimah.Com – Di masa awal Islam, masyarakat Arab Jahiliyah menganggap perempuan sebagai sumber kehinaan dan aib. Melihat berabad-abad dunia dihantui oleh sikap diskriminasi antar manusia, lalu Islam datang menghapus jejak-jejak diskriminasi yang sudah berlangsung begitu lamanya. Islam menyeimbangkan keadaan sosial dengan menghapus segala perbedaan kelas sosial, suku, dan garis keturunan. 

Namun, upaya penyeimbangan ini lambat laun mulai pudar pada era ini. Diskriminasi muncul kembali di tengah gempuran globalisasi. Upaya kesetaraan dan keseimbangan  hidup ini tak  disebarluaskan secara militan, bahkan oleh muslim sendiri yang parahnya dilegitimasi oleh tafsiran yang timpang. Islam menjadi momok bagi para Islamophobia sebagai akar radikalisme. Tak jarang, mereka juga turut bersimpati pada posisi perempuan dalam Islam yang terbelenggu dalam urusan domestik. Padahal, sejak masa Rasulullah perempuan berperan dalam kebijakan Islam. 

Untuk itulah, tulisan ini hadir dalam rangka membantah, sekaligus melihat peran perempuan yang hakikatnya justru menjadi subjek sentral dalam membangun yurisprudensi dan kebijakan Islam, sebagaimana laki-laki. Berikut adalah beberapa tokoh perempuan yang berperan dalam kebijakan Islam di masa Rasulullah. 

Khadijah binti Khuwailid

Nama lengkapnya adalah Khadijah binti Khuwailid bin Asad bin Abdul Uzza bin Qushay al-Qursyiyah al-Asadiyah. Dalam buku karya Majdi Muhammad asy-Syahawi, berjudul 500 Qishah wa Qishah min Qishashi as-Shalihat wa Nawadi al-Abidat, beliau diceritakan sebagai orang pertama yang mengakui sekaligus meyakinkan Nabi untuk menerima takdir sebagai pembawa risalah. Saat wahyu pertama diturunkan, Khadijah adalah orang yang membantu menelaah apa yang terjadi kepada Nabi. 

Nabi berkata, “Aku khawatir terhadap diriku, wahai istriku.” Khadijah menimpali, “Tenang saja wahai suamiku, Allah tidak akan menyia-nyiakanmu untuk selamanya.” Tak lama setelah mengetahui tanda-tanda yang terjadi pada Nabi, Khadijah membawa Nabi ke rumah pamannya, Waraqah bin Naufal, seorang Nasrani yang perawakannya sudah sangat tua dan penglihatannya sudah berkurang. 

Saat Khadijah dan Nabi menerangkan apa yang terjadi, Waraqah juga meyakinkan, “Itulah Namus (Wahyu) yang Allah turunkan pada Musa. Andai saja aku masih muda dan masih hidup, tentu aku akan menolongmu saat dirimu terusir oleh kaummu.” Namun Waraqah wafat sebelum akhirnya Muhammad diutus sebagai Rasul. Adapun Khadijah adalah orang pertama yang mengakui suaminya sebagai Nabi dan Rasul. 

Baca Juga:  Tujuh Lagu Religi Tentang Ramadhan

Dalam hal ini, peran pengakuan individu adalah hal sentral dalam lingkup sosial. Mengapa demikian? Karena pengakuan individu dapat menjadi akar sejarah, bagaimana orang dapat mengembangkan serta mempertahankan identitas yang unik dan khas, dalam hal ini kepribadian Nabi yang terekam dalam tubuh Islam tanpa pengakuan Khadijah. 

Nabi sebagai individu membutuhkan sebuah pengakuan intersubjektif yang lahir dari keluarganya, dalam hal ini adalah sang istri. Karenanya, dalam ranah sosial, sosok individu sangat bergantung pada pengakuan individu lain, untuk mengupayakan sebuah pembangunan dan pemeliharaan identitas, sebagaimana identitas yang kokoh dalam tubuh Islam, begitulah Islam berhasil melintasi setiap ruang-waktu yang tidak pernah sama.  

Legalitas Nabi memang sudah ditentukan oleh Allah, namun peran pengakuan Khadijah adalah pokok sentral untuk menciptakan pengakuan individu secara lebih komunal dan lebih luas. Pengakuan intersubjektif ini melahirkan pengakuan lainnya seperti keimanan para sahabat Khulafaur Rasyidin. 

Sosok Khadijah juga dipandang sebagai individu yang khas. Dirinya adalah sosok perempuan kaya, janda cantik yang seluruh pendapatnya masuk akal, dan diterima oleh kebanyakan suku Quraisy. Jalur nasabnya sebagai suku Quraisy dari ayah dan ibunya menguatkan pengakuan Nabi sebagai pembawa risalah dari Allah kepada kaumnya sendiri. Peran pengakuannya adalah sejarah awal dan utama, bagaimana Islam dapat berkembang dan ada hingga saat ini.  Maka kiranya tidak berlebihan jika pengakuan Khadijah dikatakan sebagai akar peradaban Islam. 

Ummu Salamah

Bernama lengkap Ummu Salamah binti Abu Umayyah bin Mughirah bin Abdullah bin Amr bin Makhzum al-Quraisyiyyah al-Makhzumiyah. Ia adalah istri Nabi setelah Khadijah wafat. Sosoknya yang cantik dan mapan dalam pemikiran sempat membuat Aisyah cemburu dengannya. Dalam buku Dr. Ali Yusuf, berjudul Zaujatunnabi at-Thahirat, wa Hikmah Ta’adduduhunna, menjelaskan peranan penting dalam nalar politik yang dibangun Islam pada zaman itu. 

Tatkala perjanjian Hudaibiyah mendapatkan penolakan dari para Sahabat Nabi, Ummu Salamah adalah salah seorang perempuan yang berhasil membuat Perjanjian Hudaibiyah diterima oleh para sahabat yang merisaukan keselamatan mereka. Para sahabat awalnya memandang bahwa perjanjian tersebut dinilai timpang dan justru menguntungkan kaum kafir Quraisy. Sampai akhirnya, mereka semua berhasil memasuki kota Mekkah dan dapat beribadah di sana. Saat ritual pemotongan rambut (tahallul) dan berkurban,  Rasulullah mengutus kaumnya untuk melakukan hal yang sama. 

Baca Juga:  Kisah Ibu dari Rabi’ah Ar-Ra’yi, Single Mom yang Didik Anaknya Jadi Ulama Besar

Melihat perintahnya tak dilaksanakan, Rasul sempat marah dan mengadu kepada Ummu Salamah. Rasulullah berkata, “Celakalah kaum Muslimin, saya menyuruh mereka tapi mereka tidak mau melaksanakannya.” Ummu salamah menimpali, “Wahai Rasulullah, mereka menaruh harapan kepada Allah, tapi mereka tidak dapatkan. Engkau telah membawa dirimu dan mereka pada perkara yang besar dengan perjanjian ini. Mereka hanya sedang bingung, maklumilah mereka. Mulailah sendiri apa yang diperintahkan kepada mereka tanpa memberi tahu orang lain.” 

Rasulullah akhirnya melakukan sendiri apa yang diperintahkannya. Beliau memanggil salah satu sahabat untuk mencukurnya. Saat yang lain melihat apa yang dilakukan Nabi, mereka pun mengikutinya. Melihat kejadian ini, pengakuan tentang nalar psiko-sosial yang diungkapkan Ummu Salamah membuat para sahabat, seperti Umar misalnya, selalu merasa tenteram. Tak lama setelah usai beribadah, mereka menuju perjalanan pulang ke Madinah. Di tengah perjalanan, surat Al-Fath ayat 1-3 turun dan menjelaskan berita kemenangan yang akan dicapai oleh kaum Muslim. 

Datangnya Nabi kepada Ummu Salamah membuktikan peran yang agung untuk menentukan kebijakan seorang pemimpin yang baik dan tegas. Saat Rasul diselimuti amarah, pendapat Ummu Salamah untuk mencontohkan apa yang diperintahkan oleh Allah mengarahkan sikap kebijakan Nabi untuk tak mencela kaumnya dan hanya perlu mencontohkannya. Pendapat ini menunjukkan, bahwa apa yang diperlukan dalam sebuah tonggak politik dan sosial masyarakat adalah pembuktian dari setiap apa yang dirumuskan oleh suatu kebijakan, undang-undang, pasal, dan seterusnya.

Nasihat Ummu Salamah kepada Rasulullah dalam Perjanjian Hudaibiyah adalah contoh terbaik yang dapat kita berikan dalam hal ini, karena dia mengungkapkan kedalamannya. Pengertian dan nalar politiknya dalam memecahkan masalah ketidakpatuhan sebagian sahabat terhadap perintahnya untuk melepaskan diri dari ihram.

Baca Juga:  'Adila Bayhum al-Jazairi: Pejuang Kemerdekaan Lebanon dan Suriah

Syifa binti Abdullah

Ia adalah sosok perempuan yang berperan diperbolehkannya ruqyah (berobat dengan doa-doa) dalam Islam. Sosoknya yang piawai dalam membaca dan menulis menorehkan namanya sebagai perempuan pegiat literasi pertama pra-Islam.

Dalam karya Abu Nu’aim al-Ashbahani, berjudul Ma’rifatu Shahabah menjelaskan bahwa ia dipercaya oleh Nabi untuk mengajari Hafsah binti Umar bin Khattab sebagai terapis ruqyah untuk orang yang sakit. 

Dalam suatu riwayat Ibnu Mandah dikatakan, Syifa berbicara kepada Nabi setelah dirinya dinyatakan masuk Islam seraya mendekati Nabi ia kemudian mengatakan, “Ya Rasulullah, saya biasa melakukan ruqyah sebanyak orang-orang yang  berhasil saya ruqyah, jadi saya ingin menunjukkannya kepada Anda,” Nabi menjawab, “Kalau begitu, tunjukkan!” Ia kemudian menunjukkannya kepada Nabi.

Dalam riwayat lain, Abu Nu’aim menambahkan, “Dengan nama Allah, berdoalah dengan sungguh-sungguh, kebaikan yang keluar dari ucapannya, dan tidak merugikan siapapun. Allah yang menyembuhkan manusia.” Rasul kemudian bersabda, “Dioleskan pada sebatang kunyit sebanyak tujuh kali, dan diletakkan di tempat yang bersih kemudian dioleskan pada cuka anggur yang telah disaring, kemudian dioleskan pada semut.” 

Tak sampai di sini, pada era pasca-kenabian, pada zaman Khalifah Umar ia dipercaya menjadi badan keamanan pasar untuk mengawasi aktivitas-aktivitas perekonomian dan perdagangan. Hal ini menandakan bahwa posisi perempuan turut diikutsertakan dalam kebijakan-kebijakan Islam.

Pengakuan individu perempuan, advokasi dan politik  perempuan hingga syariat bolehnya ruqyah dalam Islam menandakan bahwa Islam telah menyetarakan posisi perempuan di tengah masyarakat Arab Jahiliyah yang misoginis, patriarkat, dan diskriminatif pada saat itu. Oleh karena itu, siapapun ingin memarginalkan perempuan dengan dalih-dalih Islam, maka Islam tak pernah membenarkannya sepanjang sejarah peradaban.   

Dari ketiga tokoh di atas, bisa ditarik kesimpulan bahwa Islam memberikan ruang bagi perempuan di ruang publik. Perempuan tidak hanya berjibaku dengan urusan domestik, tetapi berperan dalam kebijakan Islam juga. 

Rekomendasi

hari perempuan internasional hari perempuan internasional

Hari Perempuan Internasional sebagai Awal Perjuangan Perempuan

menjaga toleransi menjaga toleransi

Hai Ladies, Yuk Turut Serta Menjadi Aktor Kunci Menjaga Toleransi!

Peran Perempuan di Balik Sumpah Pemuda sampai Lahirnya Kongres Perempuan

sikap rasulullah perempuan yahudi sikap rasulullah perempuan yahudi

Lima Peran Publik Perempuan yang Sering Terabaikan

Ditulis oleh

Tanzila Feby Nur Aini, mahasiswi Universitas al-Azhar, Kairo di jurusan Akidah dan Filsafat. MediaI sosial yang bisa dihubugi: Instagram @tanzilfeby.

Komentari

Komentari

Terbaru

Ngidam, Haruskah Selalu Dipenuhi? Ngidam, Haruskah Selalu Dipenuhi?

Ngidam, Haruskah Selalu Dipenuhi?

Keluarga

Cara Mengatasi Orang yang Nyinyir Menurut Imam Syafi’i

Muslimah Daily

Menilik Hak Politik Penyandang Disabilitas dalam Pemilu

Kajian

Na’ilah Hasyim Sabri, Mufassir Perempuan Asal Palestina

Muslimah Talk

Pernikahan Mencegah Zina Pernikahan Mencegah Zina

Quraish Shihab: Pernikahan Anak Usia Dini Bukan Cara Bijak Mencegah Zina

Khazanah

Surah an-Najm Ayat 45-46: Penentuan Jenis Kelamin pada Bayi Surah an-Najm Ayat 45-46: Penentuan Jenis Kelamin pada Bayi

Surah an-Najm Ayat 45-46: Penentuan Jenis Kelamin pada Bayi

Kajian

Pentingnya Bermazhab dalam Islam

Ibadah

Antara Jamaah dan Khusu’, Mana yang Lebih Diutamakan? Antara Jamaah dan Khusu’, Mana yang Lebih Diutamakan?

Antara Jamaah dan Khusu’, Mana yang Lebih Utama?

Ibadah

Trending

Hukum Masturbasi dalam Islam Hukum Masturbasi dalam Islam

Hukum Menghisap Kemaluan Suami

Kajian

Baayun Maulud, Budaya Masyarakat Banjar saat Memperingati Hari Kelahiran Nabi

Kajian

Murtadha Muthahhari: Perempuan Butuh Kesetaraan, Bukan Keseragaman

Kajian

Khalil Gibran dan Cintanya yang Abadi

Diari

pembelaan al-Qur'an terhadap perempuan, Fathimah dari Nisyapur: Ahli Makrifat Terbesar   pembelaan al-Qur'an terhadap perempuan, Fathimah dari Nisyapur: Ahli Makrifat Terbesar  

Perempuan dalam Perspektif Filsafat Islam

Kajian

suami suara tuhan suami suara tuhan

Pengertian Keluarga Sakinah dan Makna Perkawinan dalam Islam

Keluarga

Cara Mengatasi Orang yang Nyinyir Menurut Imam Syafi’i

Muslimah Daily

Menilik Hak Politik Penyandang Disabilitas dalam Pemilu

Kajian

Connect