BincangMuslimah.Com – Khadijah binti al-Imam Abdussalam Sahnun bin Sa’id at-Tanukhi, lahir di Qairawan, Tunisia, tahun 160 H., merupakan perempuan ahli agama dan politik yang cerdas, santun, rendah hati, dan bersahaja. Imam Sahnun (w.240 H), ayahnya, adalah seorang Hakim Mahkamah Agung dan ahli fikih kalangan mazhab Maliki, pengarang kitab “Al-Mudawwanah” yang menjadi kitab rujukan utama fikih mazhab Maliki hingga saat ini. Tak heran, Khadijah tumbuh menjadi seorang ulama perempuan terkemuka dari kalangan mazhab Maliki.
Berkat didikan ayahnya, tak hanya pendidikan agama semata yang ditanamkan sejak kecil, tapi kepribadian yang luhur dan bijaksana. Tak jarang ayahnya pun sering meminta pertimbangan dan pendapatnya sebelum mengetukkan palu persidangan. Karena kepribadiannya yang berani tersebut, Khadijah juga sering memberikan fatwa keagamaan dan angkat bicara seputar isu-isu kemanusiaan.
Sebagaimana yang disebutkan Al-Imam al-Qadhi ‘Iyadh (w.1149) penulis kitab terkenal al-Syifa bi al-Ta’rif Huquq al-Musthafa dalam bukunya yang lain “Tartib al-Muluk wa Tartib al-Masalik fi Ma’rifah A’lam Madzhab Malik menyebutkan:
“كانت خديجة عاقلة عالمة ذات صيانة ودين، وكان نساء زمانها يستقتينها في مسائل الدين ويقتدين بها في معضلات الأمور”
“Khadijah binti Sahnun adalah perempuan ulama, cendekia, cerdas, dan pribadi yang indah. Pengetahuan agamanya sangatlah luas, bahkan mengungguli kebanyakan ulama laki-laki. Ia memberi fatwa keagamaan dan melakukan advokasi-advokasi sosial-kemanusiaan.”
Dalam pengakuan tersebut, Imam al-Qadhi ‘Iyadh mengunggulkan kecerdasan dan kepribadian Khadijah bahkan di atas ulama laki-laki. Hal ini membuktikan bahwa perempuan mampu dilibatkan dalam ranah apapun bahkan sangat diperlukan, terutama pada ranah agama dan politik yang pada masa sekarang terkadang masih diperdebatkan kebolehannya.
Budaya patriarki memang seakan-akan memberikan jarak antara perempuan dan dunia politik sebagai dua hal yang berbeda dan tidak bisa disinergikan, bahkan menjadikan perempuan sebagai second person. Padahal, partisipasi perempuan dalam ranah politik bisa mengakomodir kepentingan perempuan yang tidak bisa dijangkau oleh kebijakan yang mungkin hanya dibuat oleh anggota pemerintah dari kalangan laki-laki, agar terbangun kehidupan masyarakat selaras dengan hak-hak asasi manusia.
Peran perempuan di ranah publik memang tidak lepas dari kontroversi. Apalagi paradigma agama dalam potongan Q.S An-Nisa ayat 34 “Arrijalu qowwamuna alannisa” dan beberapa ketentuan syariat Islam yang mungkin masih sulit untuk diterapkan sebagian muslim dalam kehidupan beragama yang selaras di zaman sekarang. K.H. Husein dalam bukunya “Fiqh Perempuan” memberikan benang merah antara peran atau kepemimpinan perempuan dengan Islam terutama pandangan mayoritas ahli fikih bahwa Islam memandang manusia sebagai makhluk Tuhan yang sejajar dan sederajat. Karena itu, sistem keagamaan yang bersifat diskriminatif dalam berbagai dimensinya tidak memiliki relevansi dengan Islam dan harus ditolak.
Pandangan ahli fikih konservatif dalam peran politik laki-laki dan perempuan mengarah pada arti Amar Ma’ruf Nahi Munkar, keduanya punya hak dan kewajiban yang sama. Namun memang dalam arti politik praktis, para ulama masih terdapat perbedaan pendapat (ikhtilaf) dalam penentuan persyaratan perempuan dalam kekuasaan kehakiman.
Dalam hal ini, ketegasan Khadijah menjadikannya sangat terpikat pada dunia intelektual, menyebarkan ilmu pengetahuan yang ia miliki dan melakukan advokasi-advokasi kemanusiaan. Dilansir dari Jabar.nu.or.id, bahwa Khadijah belum menikah sepanjang hidupnya. Ridha Kalalah, penulis buku “A’lam Al Nisa” mengatakan:
وماتت خديجة بنت سحنون وهي بكر في سنة 270 ودفنت حذو أبيها بمقبرتهم المشهورة بهم قرب مقام الصحاب أبي زمعه البلوي رضي الله عنه.
“Khadijah binti Suhnun, wafat tahun 270 H/885 M dalam keadaan belum menikah, dan dikembumikan di Qairawan, di samping ayah yang dicintai dan mencintainya berdekatan dengan kuburan seorang sahabat Nabi, Abi Za’mah.”
Demikian cuplikan profil Khadijah binti Sahnun yang tumbuh menjadi tokoh perempuan ahli di bidang agama dan politik.