BincangMuslimah.Com – Siapa yang tak mengenal sosok R.A. Kartini? Karena jasa-jasanya dalam memperjuangkan emansipasi wanita, Presiden Soekarno mengeluarkan Keputusan Presiden RI No. 108 Tahun 1964 perihal peringatan Hari Kartini. Dari keputusan tersebut juga, Kartini ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional. Kala itu, perempuan yang mendapat gelar Pahlawan Nasional hanya berjumlah 12 orang. Demikian akan diulas secara singkat profil Kartini dan beberapa upaya memperjuangkan emansipasi.
Raden Ajeng Kartini merupakan sosok wanita yang dilahirkan di tengah keluarga bangsawan Jawa. Ia lahir pada tanggal 21 April 1879 dan wafat pada tanggal 17 September 1904. Ayah Kartini bernama RMAA Sosroningrat sedangkan ibunya adalah MA Ngasirah. MA Ngasirah adalah istri pertama namun bukan yang utama karena peraturan kolonial waktu itu mengharuskan seorang bupati beristri bangsawan.
Ia terlahir sebagai anak seorang bangsawan yang berpikiran maju. Hingga usia 12 tahun, Kartini mendapat pendidikan di ELS (Europese Lagere School) di mana Kartini mendapat pelajaran Bahasa Belanda. Kartini juga banyak membaca surat kabar yang terbit di Semarang yaitu De Locomotief. Disamping itu Kartini juga sering mengirimkan tulisannya kepada majalah wanita yang terbit di Belanda yaitu De Hollandsche Lelie. Tidak hanya membaca majalah, Kartini juga membaca buku Max Havelaar dan Surat-surat Cinta karya Multatuli, lalu De Stille Kracht karya Louis Coperus, dan sebuah roman anti perang yang berjudul Die Waffen Nieder karya Berta Von Suttner.
Meski datang dari keluarga bangsawan, ia tetap saja dikungkung oleh budaya. Budaya itu adalah “dipingit” yang mengharuskan anak perempuan Jawa untuk tinggal di rumah saja. Hasrat untuk sekolah dan menimba ilmu membuat Kartini memilih untuk belajar sendiri. Ia membaca buku-buku serta koran tentang bagaimana kemajuan berpikir perempuan Eropa. Kartini pun bertekad memajukan perempuan pribumi. Ia juga mulai menulis surat-surat kepada temannya yang sebagian besar berasal dari Belanda. Salah satunya kepada Abendanon. Ia menceritakan masa pingit selama empat tahun.
“Usaha kami mempunyai dua tujuan, yaitu turut berusaha memajukan bangsa kami dan merintis jalan bagi saudara-saudara perempuan kami menuju keadaan yang lebih baik, yang lebih sepadan dengan martabat manusia,” tulis Kartini kepada Nellie van Kol pada tahun 1901 yang terdapat dalam Emansipasi: Surat-Surat Kepada Bangsanya, 1899-1904 (2017: hlm. 165). Kartini tak hanya memperjuangkan hak perempuan zaman itu. Sitisoemandari Soeroto dalam Kartini Sebuah Biografi (1979) menunjukkan bahwa konsep tentang bangsa yang tersirat dalam surat-surat Kartini yang berperan mendorong kemunculan kelompok diskusi tentang nasionalisme. “Kartini menduduki tempat khusus dalam Sejarah Indonesia Modern sebagai Ibu Nasionalisme,” kata Sitisoemandari Soeroto dalam bagian penutup Kartini Sebuah Biografi (1979).
Surat-surat Kartini diterbitkan berjudul Door Duisternis Tot Licht (Habis Gelap Terbitlah Terang) yang rilis pada 1911. Sementara itu Agnes Louise Symmers men-terjemahkannya ke dalam bahasa Inggris dengan judul Letters of A Javanese Princess. Pemikiran dan gagasan Kartini mulai dibicarakan saat Notosoeroto memimpin Perhimpunan Indonesia (PI) yang berfungsi sebagai wadah politik para pelajar Indonesia di Belanda. Pada 24 Desember 1911 Notosoeroto bahkan mengadakan rapat yang khusus.
Dalam rapat itu, Ia menyampaikan pidato berjudul “Buah Pikiran Raden Ajeng Kartini sebagai Pedoman Perhimpunan Hindia.” “Bukan nasionalisme yang sempit, bukan peniruan unsur asing dengan sikap memandang rendah diri sendiri, melainkan membangun terus di atas dasar sendiri yang baik, menuju cita-cita manusia yang lazim,” kata Notosoeroto yang dikutip Harry A. Poeze dalam Di Negeri Penjajah: Orang Indonesia di Negeri Belanda, 1600-1950 (2008:78).
Gagasan nasionalisme Kartini tidak hanya dirayakan kaum pergerakan di Belanda, tapi juga di Tanah Air. Ide pembentukan kelompok diskusi Kartini tercetus di Jawa selang setahun usai surat-surat Kartini diterbitkan di Belanda. Pemikiran-pemikiran Kartini juga mulai mengubah pandangan masyarakat Belanda terhadap perempuan pribumi di Jawa. Pada 1922, Balai Pustaka menerbitkan “Habis Gelap Terbitlah Terang: Boeah Pikiran”. Kemudian tahun 1938, dirilis Habis Gelap Terbitlah Terang versi Armijn Pane, seorang sastrawan Pujangga Baru. Kartini meninggal usai melahirkan anaknya, Soesalit Djojoadhiningrat, pada 17 September 1904. Kala itu Kartini baru berusia 25 tahun.
1 Comment