Bincangmuslimah.com – Jalilah Ridho, Penyair Mesir ini lahir di kota Iskandariah pada tahun 1917. Ia menempuh pendidikannya di sekolah-sekolah Prancis dan menghapalkan banyak puisi. Hidupnya dimulai dengan membaca puisi-puisi bebas sebelum akhirnya belajar bahasa Arab. Dari situlah ia memiliki kecenderungan kepada sastra, utamanya sastra Arab setelah ia mempelajari bahasa Arab. Ia lalu konsisten menulis puisi di majalah dalam bahasa Arab kuno. Setelah kembali ke Mesir, ia tinggal di wilayah Shubra, Kairo yang tidak jauh dari tempat seorang penyair, Dr. Ibrahim Naji. Dr. Ibrahim kagum padanya karena keteunannya dan kesungguhannya. Di bawah bimbingannya lah, Jalilah belajar menulis puisi. Dan dijuluki oleh gurunya sendiri dengan panggilan “Naji Kecil”.
Puisi-puisi yang ditulis oleh Jalilah Ridho bersifat sentimentil, nasionalisme, patriotik, dan sosialisme. Semua puisinya ditulis secara spontan dan alami. Puisinya menggambarkan apa yang ada di pikirannya dan dirasakannya dengan bahasa yang lugas dan mudah dipahami oleh pembaca.
Jalilah melahirkan tiga buku kumpulan puisi, masing berjudul al-Lahn al-Baki, al-Lahn ats-Tsa`ir, al-Ajnihah al-Baydho` yang rilis pada tahun 1959. Kumpulan puisi tersebut membuktikan bahwa Jalilah Ridho penyair mesir yang romantis. Puisi-puisinya indah dan berisi tentang cinta, pengharapan, kerinduan, dan kebebasan.
Salah satu puisinya berjudul Wa Sa`amdhi (وسأمضي), “dan aku akan melewati” yang berbicara tentang kebebasan:
وسأرقص للفجر الساري
للطل على بدني العاري
وأمر على الشط المغري
وأعانق أمواج البحر
وسأرقص فوق سواعده
وسأرقص فوق وسائده
والموجة في رقصي سكرى
تغمرها العربدة الكبرى
لن أخشى أهوال مكاني
فالبحر له شط ثان
dan aku akan menari hingga fajar tiba
ditemanir rintik hujan (yang mengguyuri) tubuhku yang telanjang
dan aku berjalan di tepian dengan memukau
merangkul ombak di lautan
aku akan menari di atas lengannya
aku akan menari di atas bantalnya
dan ombak dalam tarianku yang memabukkan
ditenggelamkan oleh pesta yang meriah
aku tidak akan takut akan huru-hara di tempatku
sebab lautan memiliki dua tepian
Puisi yang digubahnya mengandung arti kebebasan, ia hidup tanpa menemukan masa kanak-kanak yang menyenangkan, di masa mudanya ia tak menemukan seorangpun yang memahaminya, dan lingkungannya tidak bersikap baik kepada perempuan. Isa Futuh dalam Adiibaat ‘Arabiyyat: Sayrun wa Diraasatun memaknai puisi ini seperti demikian.
Puisi milik Jalilah seperti cermin yang menggambarkan apa yang ditemuinya di masa kanak-kanak dan masa muda berupa rasa sakit, siksa, depresi, dan kerinduan. Puisi-puisinya yang lain tidak hanya menggambarkan emosinya, tapi juga menggambarkan kondisi sosial sekitarnya. Puisi-puisinya begitu indah dan natural, sarat akan makna dan penjiwaan.