BincangMuslimah.Com – Satu ulama perempuan yang cukup masyhur adalah Nafisah binti al-Hasan al-Anwar bin Zaid al-Ablaj (145 H -208 H). Sayyidah Nafisah merupakan cicit Nabi saw. dari jalur Sayyid Hasan bin Fatimah az-Zahra, ia terkenal dengan kealimannya dan menjadi guru bagi para ulama besar di masanya. Sayyidah Nafisah juga merupakan salah satu guru dari Imam Syafi’i yang merupakan seorang mujtahid dan imam mazhab.
Kehidupan Sayyidah Nafisah
Sayyidah Nafisah lahir dan dibesarkan di lingkungan Mekkah. Beliau mendapatkan pengajaran Alquran dan hadis secara intensif termasuk menghafal maupun meriwayatkan semenjak kecil. Karenanya di usianya yang menginjak delapan tahun, ia sudah mampu menyelesaikan hafalan Alquran dan beberapa hadis Nabi.
Seiring bertambah umurnya, cicit Rasulullah tersebut tidak hanya dikenal sebagai penghafal Alquran. Perilakunya menunjukkan bahwa ia menjiwai nilai-nilai qurani. Bahkan dikatakan bahwa Sayyidah Nafisah telah mengkhatamkan bacaan Alquran sebanyak 1.900 kali. Ia tidak hanya membaca, tetapi juga memahami makna dan ilmunya.
Sayyidah Nafisah lahir dari keluarga kaya nan mulia. Ayahnya adalah seorang ulama terkemuka pada masa Dinasti Abbasiyah dan sempat menjabat sebagai Gubernur Madinah pada masa Khalifah Ja’far al-Manshur. Meskipun dari keluarga terpandang, ia dikenal memiliki gaya hidup zuhud, bersahaja, dan tidak mudah silau dengan kemewahan harta atau kekuasaan.
Hari-hari Sayyidah Nafisah justru disibukkan dengan aktivitas belajar, terutama mendalami ilmu-ilmu Alquran, hadits, fikih, dan cabang keilmuan Islam lainnya. Wajar jika pada kemudian hari ia dikenal sebagai sosok alim yang kepakarannya diakui oleh para imam mazhab, dari Imam Syafi’i hingga Ahmad bin Hanbal.
Di luar penguasaan ilmu, Sayyidah Nafisah mampu menyeimbangkan diri dengan amalan terpuji. Ia dikenal sebagai ahli ibadah yang biasa beribadah sepanjang malam dan konon tidak pernah meninggalkan shalat malam dan puasa di siang hari kecuali hari tasyrik.
Meskipun begitu, Sayyidah Nafisah tidak hanya larut berasyik-masyuk dengan Allah saja. Beliau juga terlibat dalam pergumulan di masyarakat, menyelesaikan persoalan-persoalan sosial di sekitarnya. Jalan hidup sederhana yang ditempuhnya tidak menjadikan ia memilih hidup kekurangan dan berharap belas kasihan.
Ibnu Katsir pernah memberi kesaksian bahwa Sayyidah Nafisah merupakan seorang kaya raya, yang dengan kekayaannya tersebut ia banyak membantu masyarakat, terutama mereka yang tidak berdaya dan sakit parah. Ia memiliki kebajikan yang berlimpah hingga dikenal dengan ummu al-Muhsinin.
Pernikahannya dengan Al-Mu’tamin
Ketika usianya menginjak dewasa, banyak lelaki yang terpikat dan hendak meminangnya. Sebab parasnya yang rupawan dan akhlaknya terpuji. Suatu hari, datanglah seorang laki-laki bernama Ishaq bin Ja’far as-Shadiq yang memiliki julukan al-Mu’tamin karena sifat amanah dan keteguhan imannya. Ishaq sudah tidak asing lagi bagi Sayyidah Nafisah, karena ia adalah putra dari Imam Ja’far bin Muhammad al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husain cucu Rasulullah.
Pernikahan mereka dilangsungkan pada hari Jumat 1 Rajab 161 H, sehingga cahaya berkah Sayyidina Hasan dan Husein lengkap di dalam rumah. Sayyidah Nafisah adalah keturunan Hasan, sedangkan suaminya adalah keturunan Husein. Pernikahannya dengan al-Mu’tamin tersebut dikaruniai dua orang anak, yaitu Qasim dan Ummu Kulsum.
Hijrah ke Negeri Mesir
Pada 26 Ramadan 193 H/808 M, Sayyidah Nafisah yang berusia 44 tahun tiba di kota Kairo, Mesir. Kabar kedatangannya menyebar luas ke berbagai penjuru, masyarakat menyambutnya dengan antusias. Ia pun disambut oleh penduduk Kairo yang merasa bersyukur didatangi oleh keturunan Rasulullah tersebut.
Ratusan orang tiap hari datang hendak menemuinya. Dari mulai berkonsultasi, meminta doa ataupun mendengar nasihat dan ilmu darinya. Selain di rumah, pengajian ilmu yang diisi olehnya juga diselenggarakan di masjid.
Bahkan, dikabarkan banyak yang sampai menggelar tenda, bermalam di luar kediamannya, menunggu kesempatan untuk bisa bertemu. Akhirnya, Sayyidah Nafisah merasa waktunya tersita melayani umat. Ia memutuskan untuk meninggalkan Kairo dan kembali ke Madinah agar bisa berdekatan dengan makam kakeknya, Nabi Muhammad.
Namun demikian, penduduk Kairo keberatan dan memelas agar Sayyidah Nafisah membatalkan keputusannya untuk mudik ke Madinah. Gubernur Mesir pun turun tangan. Ia melobi Sayyidah Nafisah untuk bertahan di Kairo. Gubernur menyediakan tempat yang lebih besar baginya, sehingga kediamannya bisa menampung umat lebih banyak. Gubernur juga menyarankan agar ia menerima umat hanya pada hari Rabu dan Sabtu saja. Di luar waktu itu, ia bisa kembali berkhalwat beribadah menyendiri.
Gubernur menunggu beberapa saat. Sementara Sayyidah Nafisah terlihat diam, menunggu petunjuk Allah. Ia mendapat petunjuk melalui mimpinya bertemu Nabi, di mana kakeknya tersebut berkata, “Jangan tinggalkan Mesir karena Allah akan mewafatkanmu di Mesir!” Akhirnya, ia pun menerima tawaran Gubernur dan memutuskan tinggal di Kairo sampai ajal menjemputnya.
Menjadi Guru Perempuan bagi Imam Syafi’i
Sebelum kedatangan Sayyidah Nafisah di Mesir dan menjadi guru Imam Syafi’i, ia sudah lama mendengar ketokohan perempuan alimah ini juga banyaknya ulama yang datang kepadanya untuk mendengarkan ceramah darinya. Dikatakan As-Syafi’i datang ke kota Mesir lima tahun setelah Sayyidah Nafisah.
Imam Syafi’i sampai meminta waktu khusus untuk bertemu dengan Sayyidah Nafisah. Permintaan itu dipenuhi dan ia menyambut as-Syafi’i dengan penuh kehangatan. Pertemuan ini berlanjut dengan pertemuan-pertemuan selanjutnya, dan terjadilah relasi guru-murid di antara dua tokoh ini.
Setiap as-Syafi’i berangkat untuk mengajar di masjidnya di Fustat, sebelumnya ia akan mendatangi rumah Sayyidah Nafisah. Begitu juga ketika pulang ia mampir terlebih dahulu, sebelum kembali ke rumahnya. Dikabarkan bahwa Imam Syafi’i adalah ulama yang paling sering bersama Sayyidah Nafisah dan mengaji kepadanya, justru dalam statusnya sebagai tokoh besar dalam bidang ushul al-fiqh dan fiqh.
Begitulah kedekatan kedua orang hebat ini. Setiap kali Imam Syafi’i sakit, beliau selalu mengutus sahabatnya kepada Sayyidah Nafisah untuk mendoakan kesembuhannya. Begitu sahabatnya kembali, sang Imam tampak sudah sembuh.
Beberapa waktu kemudian as-Syafi’i dalam kondisi sakit parah, sahabat tersebut dimintanya kembali menemui Sayyidah Nafisah untuk keperluan yang sama, meminta didoakan. Namun ia hanya menitipkan jawaban, “Matta’ahu Allah bi al-nadzr ila wajhih al-karim” (semoga Allah memberinya kegembiraan saat berjumpa dengan-Nya).
Imam Syafi’i yang paham maksud kalimat itu bahwa ajalnya sudah tidak lama lagi, segera berwasiat kepada al-Buwaithi supaya ketika ia meninggal meminta Sayyidah Nafisah menyalati jenazahnya. Wasiat itu dipenuhi. Imam Syafi’i wafat pada 204 H, jenazahnya dibawa ke rumah Sayyidah Nafisah untuk dishalatkan.
Berselang empat tahun, pada 208 H, Sayyidah Nafisah wafat dalam usia 63 tahun menyusul muridnya. Ia meninggal tepat ketika baru saja menyelesaikan bacaan Surah al-An’am ayat 127, “Mereka disediakan Darussalam (surga) pada sisi Tuhan-Nya.” Sayyidah Nafisah yang menjadi guru Imam Syafi’i adalah fakta sejarah bahwa seorang perempuan bisa menjadi seorang ulama besar, bahkan menjadi guru bagi seorang Imam Syafi’i.[]