BincangMuslimah.Com – Sejarah mencatat Islam pernah singgah di bumi Andalusia berabad-abad lamanya, sebelum akhirnya dikuasai oleh kerajaan-kerajaan Kristen. Tak kalah dengan perkembangan Islam di Timur, dinamika keilmuan Islam di bumi Andalusia juga berhasil mencetak ilmuwan-ilmuwan berpengaruh. Di antaranya ada Ibnu Bajjah, Ibnu Thufail dan Ibnu Rusyd yang buah pemikirannya hingga saat ini dikaji oleh pegiat filsafat di seluruh penjuru dunia. Tentu saja, untuk sampai di masa keemasan tersebut, muslim Andalusia telah melewati berbagai dinamika. Pun jika ditelisik, kita akan menemukan peradaban Islam di Timur dan Barat (Andalusia) keduanya saling mempengaruhi satu dengan yang lain. Terutama dalam hal keilmuan.
Pertama kali Islam datang ke Andalusia, adalah di masa kekhalifahan Sayyidina Umar bin Khattab di bawah pasukan Thariq bin Ziyad. Hingga sebelum Abdurrahman Ad-Dakhil mendirikan dinasti di sana, muslim Andalusia berkiblat kepada muslim di Timur.
Pada abad ke-8 Masehi, setelah mendapat serangan bertubi-tubi, Dinasti Umayyah di Damaskus runtuh dan berpindah kekuasaan ke tangan Abu Abbas al-Saffah (Dinasti Abbasiyah). Saat itu para petinggi Dinasti Umayyah langsung dieksekusi mati oleh Abu Abbas al-Saffah, kecuali Abdurrahman al-Dakhil yang memegang jabatan di Syam berhasil melarikan diri bersama beberapa pasukannya ke Andalusia.
Pertama kali menginjakkan kaki di Andalusia, Abdurrahman al-Dakhil menerima penolakan dari kalangan pemuda Islam di bawah pimpinan Yusuf al-Fahry. Tak membutuhkan banyak waktu, Abdurrahman berhasil menundukkan kelompok tersebut. Hingga beberapa tahun setelahnya Abdurrahman al-Dakhil memproklamirkan berdirinya Dinasti Umayyah II di Andalusia.
Di bawah kepemimpinan Abdurrahman al-Dakhil, Dinasti Umayyah II mampu bersaing dengan Dinasti Abbasiyah di Timur, baik secara politis maupun intelektual. Menariknya, perseteruan keduanya justru menarik perhatian cendekiawan Andalusia untuk melakukan perjalanan ke Timur. Inilah yang juga menjadi salah satu faktor bagaimana keilmuan di Andalusia di kemudian hari mencapai masa keemasannya.
Secara global, geliat keilmuan di Andalusia saat itu lebih luwes ketimbang di Timur. Mengingat tidak adanya firqah-firqah Islam di Andalusia sebagaimana di Timur. Dalam ilmu kalam, mereka masih berpegang pada ajaran murni yang dibawa Thariq bin Ziyad di awal kedatangannya (Ahlussunnah wal Jamaah). Sekalipun Abdurrahman al-Dakhil datang dengan membawa paham ilmu kalam al-auza’i, akan tetapi paham tersebut tidak berbeda dengan paham muslim Andalusia sebelumnya. Dalam hal fiqih pun, muslim di Andalusia hanya berpegang satu mazhab, yaitu Maliki.
Meskipun jika dilihat dari sisi lain, sepinya Andalusia dari pergolakan kelompok-kelompok muslim tersebut mengindikasikan geliat keilmuan muslim Andalusia yang tidak semasif keilmuan di Timur. Barangkali hal ini benar adanya, gairah keilmuan muslim Andalusia baru tumbuh setelah kedatangan Abdurrahman al-Dakhil. Yang mana sebelumnya, mereka baru mempelajari seputar ilmu syariat dan bahasa.
Sepeninggal Abdurrahman al-Dakhil, keilmuan di Andalusia semakin hari semakin berkembang. Hingga di masa Khalifah al-Hakam II atau sering disebut al-Muntashir (961 M), terjadilah pemborongan buku-buku ilmiah dan filsafat secara besar-besaran. Satu titik tolak yang sangat mengubah kondisi keilmuan di Andalusia saat itu. Geliat keilmuan akhirnya semakin hidup di berbagai kota Andalusia.
Sayangnya, euforia dinamika keilmuan tersebut tak berselang lama. Pada masa kepemimpinan Hisyam II (976) segalanya berubah total. Ia memerintahkan aparatnya untuk segera membakar buku-buku filsafat, termasuk buku-buku yang diborong dari Timur. Hal ini sebab Andalusia saat itu dikuasai oleh kelompok ulama fiqih fanatik yang sangat membenci ilmu-ilmu filsafat. Mereka menilai ilmu-ilmu filsafat dapat membahayakan eksistensi Islam dan akan memicu perselisihan sesama muslim (sebagaimana yang terjadi di Islam Timur).
Namun, hal tersebut bukan satu-satunya alasan penolakan filsafat. Abid Jabiri dalam bukunya al-Turâts wa al-Hadâtsah menyatakan bahwa penolakan tersebut tidak murni soal agama. Melainkan juga bersifat politis-ideologis, yang tidak lebih dari upaya pemerintah untuk memperkuat eksistensi negara. Mereka tidak mau meleburkan diri dengan ideologi negara oposisi yang ada di Islam bagian Timur. Meleburkan diri dengan ideologi musuh sama halnya dengan menyerahkan martabat dan kehormatan negara kepada mereka.
Perhatian pada filsafat dan sains baru bangkit kembali di pertengahan abad berikutnya, yaitu ketika para ilmuwan terpandang berupaya mendalami keduanya. Pun banyak dari mereka yang melakukan perjalanan ke Islam bagian Timur guna memperdalam pemahaman keilmuan mereka. Salah satu yang paling menonjol adalah Maslamah bin Ahmad al-Majriti sebagai sosok ilmuwan yang giat ke Timur dan menjalin hubungan baik dengan kelompok Ikhwan al-Shafa. Kemudian barulah disusul Ibnu Bajjah, Ibnu Thufail, dan Ibnu Rusyd, filsuf muslim yang karya-karyanya hingga kini dikaji para ilmuwan dari berbagai belahan dunia.
3 Comments