BincangMuslimah.Com- Dalam percakapan sosial modern, ayat “الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ” sering menjadi titik silang tafsir antara dua arus besar: sebagian menggunakannya untuk melegitimasi dominasi laki-laki atas perempuan, sementara sebagian lain menolaknya sebagai simbol ketimpangan patriarki. Namun, kedua pandangan ekstrem ini sama-sama kehilangan ruh dari pesan ilahi yang sebenarnya: bahwa qiwāmah adalah tanggung jawab moral, bukan superioritas biologis.
Kewajiban Memimpin dan Pengorbanan
Di dalam Al-Qur’an tidak berbicara tentang keunggulan laki-laki atas perempuan secara mutlak, melainkan menjelaskan tugas kepemimpinan yang disertai kewajiban pengorbanan. Sebagaimana Allah berfirman:
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ، بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ
Artinya: “Kaum laki-laki adalah penanggung jawab bagi kaum perempuan, karena Allah telah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain, dan karena mereka menafkahkan sebagian dari harta mereka.”(QS. An-Nisā’: 34)
Imam ath-Ṭabarī dalam kitab tafsirnya Jāmi‘ al-Bayān, menjelaskan bahwa kata “قَوَّامُونَ” bermakna “أُمَرَاء” —yaitu pemimpin yang bertugas mengatur, membimbing, dan melindungi dengan penuh tanggung jawab. Kelebihan laki-laki bukanlah hak istimewa, tetapi beban amanah. Dengan kata lain, Allah memberikan kelebihan karena laki-laki menanggung kewajiban nafkah, perlindungan, dan kesejahteraan keluarganya. Itulah makna ayat “بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ” —yang artinya, karena mereka menafkahkan sebagian dari harta mereka.
Keseinmbangan antara Hak dan Kewajiban
Makna yang sama ditegaskan pula dalam tafsir QS. Al-Baqarah [2]: 228:
والمعنى أن المرأة تنال من اللذة من الرجل كما ينال الرجل، وله الفضل بنفقته وقيامه بما يصلحها
Artinya: “Artinya, perempuan memperoleh kenikmatan dari laki-laki sebagaimana laki-laki memperoleh kenikmatan darinya, dan laki-laki memiliki keutamaan karena ia menafkahi dan mengurus segala kemaslahatan istrinya.”
Keterangan ini menunjukkan bahwa Islam menegaskan keseimbangan hak dan kewajiban.
Perempuan dan laki-laki adalah dua entitas yang saling membutuhkan, saling memberi, dan saling melengkapi. Tidak ada superioritas yang lahir dari jenis kelamin, melainkan tanggung jawab sosial yang berbeda untuk mencapai harmoni.
Maksud dari kata qiwāmah dalam pandangan Islam adalah amanah spiritual dan sosial. Laki-laki tidak diberi kuasa untuk berbuat semaunya, melainkan diperintahkan untuk berlaku adil, lembut, dan bertanggung jawab. Rasulullah ﷺ adalah teladan nyata dalam menjalankan qiwāmah. Dalam hadis sahih beliau bersabda:
خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لِأَهْلِهِ، وَأَنَا خَيْرُكُمْ لِأَهْلِي
Artinya: “Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap keluarganya, dan aku adalah yang paling baik di antara kalian terhadap keluargaku.” (HR. Tirmidzi.)
Hadis di atas adalah deklarasi moral kepemimpinan dalam Islam. Kebaikan seseorang bukan diukur dari pengaruhnya di masyarakat, tetapi dari akhlaknya di dalam rumahnya. Rasulullah ﷺ tidak pernah mengangkat suara kepada istri-istrinya, bahkan beliau membantu pekerjaan rumah, menambal sandalnya sendiri, dan memperlakukan keluarganya dengan kelembutan yang penuh cinta. Dalam diri beliau, kepemimpinan tidak pernah berwujud perintah yang menindas, melainkan pelayanan yang memuliakan.
Menjadikan Istri Sebagai Mitra Spiritual
Di dalam Al-Quran disebutkan bahwa istri-istri yang salehah berkarakter sebagai berikut:
فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِّلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ
Artinya: “Perempuan-perempuan yang salehah adalah mereka yang taat kepada Allah dan menjaga diri (kehormatan) serta harta suaminya dengan penjagaan Allah.” (QS. An-Nisā’: 34)
Imam ath-Ṭabarī menafsirkan ayat di atas bahwa:
صالحات في أديانهن، مطيعات لأزواجهن، حافظات لهم في أنفسهن وأموالهم
Artinya: “Perempuan-perempuan yang salehah adalah mereka yang baik dalam agama mereka, taat kepada suaminya (dalam kebaikan), dan menjaga kehormatan diri serta harta suaminya.”
Dalam surah An-Nisā’ ayat 34 ini tidak menempatkan perempuan sebagai pihak pasif, melainkan sebagai mitra spiritual dalam membangun keluarga. Tanggung jawab suami adalah melindungi dan memberi nafkah kepada istri. Sedangkan tanggung jawab istri adalah menjaga amanah dan kasih. Keduanya sama-sama berperan dalam menciptakan rumah tangga yang diridhai Allah—rumah tangga yang berdiri di atas mawaddah wa rahmah (cinta dan kasih sayang).
Kedudukan Setara Laki-Laki dan Perempuan
Nabi Muhammad ﷺ menunjukkan bahwa kekuatan sejati seorang laki-laki bukan pada kemampuannya memerintah, tetapi pada kelembutannya dalam mencintai. Beliau memanggil istrinya dengan panggilan sayang, menenangkan mereka ketika marah, dan tidak pernah membalas dengan kekerasan. Dalam pandangan beliau, perempuan bukanlah pelengkap hidup laki-laki, tetapi separuh jiwa yang harus dijaga dan dimuliakan.
Ketika seorang sahabat datang mengadu karena istrinya bersuara keras, Nabi ﷺ menjawab dengan bijak: “Mereka (para istri) telah menenangkan hatimu, mengasuh anakmu, dan menanggung beban rumahmu, maka bersabarlah atas kekurangan mereka sebagaimana mereka bersabar atas kekuranganmu.” Inilah wajah sejati Islam—agama yang membangun cinta atas dasar saling menghargai.
Ayat dan hadis-hadis di atas mengajarkan bahwa qiwāmah bukanlah hak istimewa, melainkan tanggung jawab spiritual untuk menciptakan keseimbangan dan kebahagiaan. Suami yang benar-benar qawwām adalah yang melindungi, menafkahi, dan memuliakan istrinya.
Sedangkan istri yang salehah adalah yang menjaga kehormatan diri, membalas kasih dengan kesetiaan, dan membangun rumah tangga dengan cinta.
Sebagai kesimpulan bahwa Islam tidak menempatkan perempuan di bawah laki-laki, melainkan menempatkan keduanya di bawah kasih Allah. Semoga bermanfaat. Wallahu A’lam.
Rekomendasi

4 Comments