BincangMuslimah.Com- Seorang perempuan yang memiliki saudari perempuan tidak boleh menikah dengan laki-laki yang sama selagi salah satunya diperistri oleh laki-laki tersebut. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana status kemahraman seorang ipar perempuan karena di satu sisi ketika saudarinya diperistri, ia tidak boleh menikah dengan laki-laki yang sama.
Sedangkan di sisi lain terdapat sabda Rasulullah yang menyatakan bahwa ipar adalah maut. Lantas bagaimana status kemahraman ipar di dalam Islam?
Definisi dan Klasifikasi Mahram
Definisi mahram ialah orang yang haram untuk dinikahi baik keharaman tersebut muncul sebab nasab ataupun sepersusuan. Selain itu, ketika menikah, mahram atau perempuan yang tidak boleh dinikahi menjadi bertambah. Sebagaimana klasifikasi mahram menurut penjelasan Abu Syuja’ di dalam Ghayah al-Taqrib halaman 31-32.
Pada redaksi di dalam kitab tersebut disebutkan bahwa ada 14 golongan perempuan yang dikategorikan sebagai mahram dengan klasifikasi sebagai berikut:
7 golongan perempuan dari jalur nasab, meliputi:
Ibu dan seterusnya ke atas (nenek, buyut dan seterusnya)
Anak perempuan dan seterusnya ke bawah (cucu perempuan, cicit perempuan dan seterusnya)
Saudari
Bibi dari pihak ayah
Bibi dari pihak ibu
Keponakan perempuan dari saudara
Keponakan perempuan dari saudari
2 golongan perempuan dari jalur rodlo’ (sepersusuan), meliputi:
Saudari sepersusuan
4 golongan perempuan dari jalur mushoharoh (keluarga dari hasil perkawinan), meliputi:
Ibu mertua
Anak tiri ketika sudah melakukan hubungan suami istri dengan ibunya
Ibu tiri
Menantu perempuan
1 golongan perempuan sebab tidak boleh dikumpulkan (dinikahi bersamaan), meliputi:
Ipar perempuan (saudari istri)
Selain ipar, seorang laki-laki juga tidak boleh menikahi secara bersamaan antara perempuan dengan bibinya baik bibi dari pihak ayah ataupun bibi dari pihak ibu. Meskipun keduanya tidak dikategorikan sebagai mahram.
Status Ipar dalam Kemahraman
Berdasarkan keterangan sebelumnya, ipar memang masuk kategori sebagai mahram. Namun, kemahraman antara laki-laki dan ipar ini hanya bersifat sementara yang bisa berakhir ketika si istri sudah meninggal atau bercerai. Sehingga dalam hal interaksi, antar ipar memiliki batasan sama halnya dengan orang lain yang bukan mahram, seperti dalam hal membatalkan wudhu’ misalnya. Sebagaimana pendapat Syekh Abu Bakar Syatho’ al-Dimyati di dalam kitab I’anah al-Thalibin ‘ala Halli Alfaz Fath al-Mu’in juz 1 halaman 79:
قوله: أو مصاهرة أي توجب التحريم على التأبيد كأم الزوجة، بخلاف ما إذا كانت توجب التحريم لا على التأبيد كأخت زوجته، فإن الوضوء ينتقض بلمسها
“Mushoharoh (perempuan yang haram dinikahi selamanya) seperti ibu mertua. Bedahalnya jika status kemahraman tersebut tidak berlaku selamanya seperti ipar perempuan, maka wudhu’ seseorang batal sebab menyentuh iparnya.”
Selain itu Rasulullah juga sudah mengingatkan agar seorang laki-laki menjaga interaksinya dengan ipar. Sebagaimana sebagaimana riwayat Imam Ahmad di dalam kitab Musnad Ahmad juz 28 halaman 581 No. 17348:
عن عقبة بن عامر، أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: ” إياكم والدخول على النساء ” فقال رجل من الأنصار : يا رسول الله، أفرأيت الحمو؟ قال: ” الحمو الموت
“Dari ‘Uqbah bin ‘Amir bahwa Rasulullah SAW bersabda, berhati-hatilah kalian masuk (ke dalam ruangan) menemui wanita. Lalu seorang laki-laki Anshor berkata, wahai Rasulullah bagaimana pendapatmu tentang ipar? Rasulullah bersabda ipar adalah maut.”
Dengan demikian, menjadi jelas bahwa status mahram ipar sejatinya hanya bersifat sementara saja yang bisa hilang ketika sudah terjadi perceraian ataupun karena si istri meninggal. Terlebih Rasulullah juga sudah mengingatkan bahwa ipar sejatinya adalah maut yang berpotensi untuk menimbulkan keretakan dalam rumah tangga. Sehingga sudah selayaknya seorang laki-laki menjaga batas interaksinya kepada seorang ipar.