BincangMuslimah.Com – Dalam Islam, mahar disebut dengan al-shidaq yang secara syariat merupakan istilah nama dari harta yang dikeluarkan pihak laki-laki sebab nikah. Biasanya jika kita mendengar mahar disebutkan saat pengucapan akad nikah. Namun bagaimana jika tidak menyebutkan jumlah mahar? Apakah akad nikah tetap sah?
Dalam kitab Fathul Qarib, Sheikh Muhammad bin Qasim al-Ghazziy (918 H / 1512 M) menyebutkan pengucapan mahar dalam akad adalah sunnah.
ويستحب تسمية المهر في عقد النكاح ولو في نكاح عبد السيد أمته ويكفي تسمية أي شيئ كان ولكن يسن عدم النقص عن عشرة دراهم وعدم الزيادة على خمس مئة درهم
Artinya: “Disunnahkan menyebutkan mahar di dalam akad nikah. Meski dalam pernikahan sayyid dan hamba sahayanya. Cukup dengan menyebutkan apa saja yang ada. Tetapi disunnahkan mahar itu tidak kurang dari 10 dirham dan tidak melebihi 500 Dirham yang murni.”
Sunnah di sini memberikan pengertian bahwa tidak menuturkan mahar di dalam akad nikah hukumnya adalah boleh. Meskipun tidak menyebutkan jumlah mahar dalam ijab qabul, akad nikah tersebut tetap sah.
Namun hal tersebut jika memang telah ada kerelaan istri atas ketiadaan mahar dari suami. Seperti ucapan istri yang sudah baligh dan pintar kepada walinya ” kawinkanlah aku tanpa dengan mahar”, lantas wali tersebut mengawinkannya dengan tanpa mahar.
Jika tidak ada kerelaan tersebut-meski tidak menyebutkan mahar dalam akad-maka mahar tetap wajib diberikan jika salah satu hal ini terjadi:
1. Suami (sebelum menyetubuhi istrinya) harus memperkirakan sendiri jumlah mahar itu. Pihak istri harus rela atas mahar tersebut.
2. Hakim memastikan jumlah mahar atas suami. Mahar tersebut berupa mahar mitsil (sepadan). Mahar mitsil biasanya dibayarkan berdasarkan mahar yang diterima oleh perempuan-perempuan sebaya calon mempelai perempuan atau biasanya bisa dilihat dari mahar yang diterima oleh saudara-saudara perempuannya dan bibi-bibinya. Hakim juga disyaratkan mengerti ukuran mahar mitsil itu.
3. Pihak suami telah menyetubuhi istrinya, maka bagi suami wajib memberikan istri mahar mitsil. Nominal mahar mitsil yang diperhitungkan adalah pada waktu nikah menurut pendapat yang shahih.
Demikian pula jika salah satu di antara suami dan istri meninggal dunia sebelum ada penentuan mahar dan sebelum dijima’ (persetubuhan), maka menurut pendapat yang lebih jelas suami harus membayar mahar mistil.
Adapun yang disebut mahar mistil adalah sesuatu yang dalam perkiraan dapat membuat senang menurut ukuran kebiasaan bagi perempuan sesamanya. Harta yang sah dijadikan mahar adalah sesuatu yang sah dibuat pembayaran yakni berupa barang atau manfaat.
Mahar menjadi gugur separuh sebab thalaq (perceraian) yang jatuh sebelum persetubuhan. Adapun thalaq yang jatuh setelah jima’ meskipun hanya sekali saja, maka mahar harus dibayar secara keseluruhan. Meskipun jima’ itu ada dalam keadaan diharamkan, sebagai mana suami menjima’ istrinya dalam keadaan ihram atau ketika haid.
Wallahu’alam.