BincangMuslimah.Com – “Nikahilah perempuan karena empat hal: Agamanya, Nasabnya, Hartanya, dan Cantiknya”. Sampai saat ini, perkataan-perkataan semacam ini sering terdengar dari para penceramah, baik secara live di media massa maupun secara langsung kepada pendengarnya. Saking semangatnya, mereka berpidato tidak dari ruang yang hampa, melainkan mayoritas dari mereka menjadikan hadis-hadis sebagai dalih penguatnya. Beberapa hadis tersebut juga seringkali dijadikan dalih untuk membatasi perempuan untuk memilih calon suaminya. Antara lain, Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim,
تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لِأَرْبَعٍ لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَجَمَالِهَا وَلِدِينِهَا فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ (متفق عليه)
Tidak jarang, mayoritas penceramah agama menjadikan Hadis ini sebagai alasan dari fatwa-fatwanya, khususnya dalam memilih perempuan yang hendak dijadikan istri. Mereka berkesimpulan, perempuan yang ideal untuk dinikahi adalah perempuan yang beragama dengan baik, keturunan orang-orang apik, hartawan, sekaligus rupawan. Padahal, apa yang mereka fatwakan masih jauh dari makna Hadis sebenarnya. Berikut ini ulasan rincinya.
Yang perlu digaris bawahi dalam Hadis ini adalah kata تُنْكَحُ. Kata ini selalu diartikan sebagai kata yang menunjukkan perintah, “nikahilah”. Padahal, dalam gramatika bahasa Arab, kata ini termasuk term yang dikenal akrab dengan istilah fiil mudhari’ mabni majhul, kalimat pasif yang digunakan untuk menunjukkan sebuah kabar, bukan perintah.
Oleh karena itu, sejatinya Nabi Muhammad Saw bukan sedang memerintah umat-Nya untuk menikahi perempuan yang memiliki empat kriteria tersebut, melainkan memberikan sebuah kabar tetang tradisi yang sempat terjadi di zaman jahiliyah, yakni mereka sangat senang dan memprioritaskan perempuan-perempuan yang berharta, bernasab, dan jelita daripada yang baik agamanya.
Sehingga, menurut Imam Nawawi dalam kitab Syarh Muslim, pesan yang hendak disampaikan oleh Nabi Muhammad Saw dalam Hadis ini adalah perintah kepada umat muslim untuk mengedepankan perempuan yang taat dalam beragama dari pada lainnya, bukan malah sebaliknya, seperti budaya kaum jahiliah. Hal ini dibuktikan oleh pernyataan Nabi Muhammad Saw di akhir Hadis, yakni فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ yang berarti “carilah perempuan yang agamanya baik. Jika tidak (seperti kaum jahiliah), maka engkau akan menyesal”. (Syarh Muslim, milik Imam Nawawi: : II/51-52)
Dalam Hadis lain, Nabi Muhammad Saw bersabda,
لاَ تَزَوَّجُوا النِّسَاءَ لِحُسْنِهِنَّ ، فَعَسَى حُسْنُهُنَّ أَنْ يُرْدِيَهُنَّ ، وَلاَ تَزَوَّجُوهُنَّ لأَمْوَالِهِنَّ ، فَعَسَى أَمْوَالُهُنَّ أَنْ تُطْغِيَهُنَّ ، وَلَكِنْ تَزَوَّجُوهُنَّ عَلَى الدِّينِ ، وَلأَمَةٌ خَرْمَاءُ سَوْدَاءُ ذَاتُ دِينٍ أَفْضَلُ. ( رواه ابن ماجه والبزار والبيهقي و عندهم رفعه)
“Janganlah kamu sekalian menikahi perempuan berdasarkan cantiknya, karena barangkali parasnya bisa membuatnya binasa. Dan janganlah kamu menikahinya lantaran hartanya, karena barangkali harta bisa membuatnya menjadi manusia yang durhaka. Akan tetapi, nikahilah mereka karena agamanya. Sungguh budak wanita yang telinganya sobek, berkulit hitam, namun taat beragama lebih baik (daripada lainnya)”. (H.R. Ibnu Majah, Imam Bazzar, Imam Baihaqi)
Sayangnya, pemahaman yang seperti ini seringkali tidak dimengerti oleh kebanyakan kalangan, termasuk para penceramah. Pemahaman yang akhirnya membatasi perempuan untuk memilih calon suaminya. Mereka hanya tahu dari qila wa qala (katanya-katanya), tanpa menilik lebih jauh makna Hadis hakikinya, baik secara teks maupun konteksnya. Ironisnya lagi, fatwa-fatwa yang sudah terlajur terdengar ini dipahami sebagai dalih bahwa hak memilih pasangan hanya dimiliki oleh kaum maskulin, tidak bagi kaum feminim.
Tentu, doktrin yang demikian hanya berpedoman pada lahiriah Hadis yang sering disalahpahami. Secara lahiriah, Hadis yang diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim di atas hanya diperuntukkan kepada kaum Adam, karena dalam Hadis tersebut Nabi Muhammad Saw. sangat jelas memakai kata yang diperuntukkan kaum pria, bukan wanita. Jelasnya, pada kata فَاظْفَرْ yang notabenenya fiil amar li mukhatab muzdakkar, kalimat yang menunjukkan perintah kepada kaum laki-laki yang menjadi lawan bicara Nabi.
Kendatipun demikian, sejatinya kata tersebut tidak hanya dikhususkan kepada kaum lanang saja, melainkan kepada kaum dayang juga. Hal ini sesuai dengan salah satu teori yang disebutkan dalam ilmu balagah, yaitu teori taghlib. Menurut teori ini, nas-nas Alquran dan Hadis sering kali menggunakan diksi kata yang hanya ditujukan kepada kaum laki-laki. Akan tetapi, hal itu tidak menghalangi nas tersebut untuk mencakup kepada kaum wanita. (Al-Idhah fi ‘Ulum al-Balagah, milik Imam al-Khatib al-Qazwainiy: I/91)
Maka dari itu, dapat disimpulkan bahwa Hadis yang secara lahiriah memerintah kaum maskulin agar mengedepankan agama dari pada lainnya dalam memilih calon pasangannya (sebagaimana di atas), juga memberikan hak kepada kaum perempuan untuk memilih calon suaminya, terutama yang paham dan patuh dalam beragama.
Hal ini juga terbukti dalam salah satu konsep yang ditawarkan oleh ilmu fikih, yakni konsep kafaah. Konsep ini menjelaskan bahwa perempuan juga memiliki hak untuk memilih calon imam hidupnya. Laki-laki yang fasik tidak pantas menjadi suami dari perempuan yang yang salehah. Bahkan menurut mazhab Syafii, laki-laki yang mempunyai aib nikah (seperti impoten, gila, dan lain-lain) tidak sepadan dengan perempuan yang juga punya kecacatan di dalam dirinya. Hal ini hanya karena perempuan juga memiliki hak dalam memilih calon suaminya.
Alhasil, sungguh pesan-pesan yang terkandung dalam nas-nas agama sangatlah bijak, adil, dan tidak diskriminatif. Agama tidak menempatkan perempuan dalam ranah domestik saja (dapur, kasur, dan sumur), melainkan juga memberikan ruang yang sama seperti kaum laki-laki sebagaimana mestinya. Oleh karena itu, teks-teks agama jangan hanya dilihat dari kulit luarnya saja, melainkan juga teliti makna dari perspektif konteksnya. Terutama, bagi mereka yang disebut mentor agama.
Wallahu A’lam.