BincangMuslimah.Com – Pernah mendengar kisah penciptaan Hawa sebagai perempuan pertama? Jika pernah, tentu akrab bahwa Hawa tercipta dari tulang rusuk Adam sedangkan Adam, sebagai manusia pertama diciptakan dari tanah. Kisah ini terus menerus direpetisi dari satu generasi ke generasi lainnya. Bahkan jika generasi hari ini pun akrab dengan kisah tersebut, artinya memang kisah ini menjadi kisah tutur yang melintas dari generasi ke generasi.
Lalu, bagaimana pandangan Islam mengenai penciptaan manusia? Apakah Islam menyetujui kisah tutur di atas yang menyatakan perempuan berasal dari tulang rusuk laki-laki?
Dalam teks-teks suci Islam, menurut sebagian mufassir mengenai penciptaan Hawa yang berasal dari tulang rusuk Adam terdapat dalam Q.S An-Nisa [4]: 1:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ ٱتَّقُوا۟ رَبَّكُمُ ٱلَّذِى خَلَقَكُم مِّن نَّفْسٍ وَٰحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَآءً ۚ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ٱلَّذِى تَسَآءَلُونَ بِهِۦ وَٱلْأَرْحَامَ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا
Artinya: “Wahai manusia, bertakwalah kamu sekalian kepada Tuhan-mu yang menciptakan kamu dari seorang diri (Adam), dan Allah menciptakan pasangannya (Hawa) dari (diri)nya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahmi. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.
Ayat di atas menurut sebagian mufassir klasik seperti Ibnu Katsir menyatakan bahwa nafs wȃhidah adalah jiwa yang satu, yaitu Adam dan kata zaujaha diberi arti sebagai Hawa, istri Adam. Kemudian, kata minha dalam ayat di atas berarti Hawa diciptakan dari tulang rusuk (bagian dari tubuh) Adam sebagai nafs wȃhidah.
Selanjutnya untuk mendukung tafsir atas ayat di atas, para mufassir (ahli tafsir) klasik juga mengutip sebuah hadis: “… wanita itu diciptakan dari tulang rusuk…” Karenanya muffasir klasik memandang bahwa Hawa memang tercipta dari tulang rusuk Adam.
Namun, sekalipun Al-Qur’an turun berabad-abad yang lalu, tetapi tafsir terus bergerak. Karenanya penafsiran mengenai penciptaan Hawa tidaklah tungal.
Mufassir kontemporer seperti Muhammad Abduh dalam Tafsir al-Manar menyatakan bahwa redaksi kata min nafs wȃhidah menunjukkan bawa Adam dan Hawa itu diciptakan dari unsur dan jenis yang sama.
Selain itu dalam Tafsir al-Maraghi, Imam al-Maraghi menegaskan bahwa ide penciptaan Hawa dari tulang rusuk Adam tidak ada di dalam Al-Qur’an.
Turut mengomentari ayat di atas, maestro tafsir Indonesia, Prof. Quraish Shihab menyatakan bahwa, Islam menekankan kesamaan antara laki-laki dan perempuan. Semua laki-laki dan perempuan lahir dari sepasang laki-laki dan perempuan, sehingga mereka semua sama dari sisi kemanusiaan pun dari sisi penciptaan.
Selain itu, Prof. Quraish Shihab menyatakan bahwa kisah penciptaan Hawa tidak berasal dari Al-Qur’an, namun berasal dari sebuah hadis yang dipertentangkan kesahihannya.
“saling wasiat mewasiatilah untuk berbuat baik kepada perempuan. Karena mereka itu diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok, kalau engkau membiarkannya dia tetap bengkok, dan bila engkau berupaya meluruskannya dia akan patah.” (HR. at-Tirmidzi melalui Abu Hurairah).
Hadis di atas oleh ulama klasik dipahami secara harfiah yaitu “memang berasal dari tulang rusuk yang bengkok” sedangkan ulama kontemporer memahaminya secara metafor, hadis tersebut mengingatkan para laki-laki agar menghadapi perempuan dengan bijaksana karena ada sifat dan kodrat bawaan perempuan yang berbeda dengan laki-laki.
Lebih lanjut ia mengingatkan, jika pun seorang perempuan pertama diciptakan dari tulang rusuk laki-laki, hal ini tidak berarti bahwa perempuan menempati posisi yang lebih rendah dibanding laki-laki karena semua laki-laki dan perempuan anak cucu adam lahir dari sepasang perempuan dan laki-laki.
Pendapat ini didukung dan dikonfirmasi dalam Q.S Al-Hujurat [49]: 13
يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَٰكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَىٰ وَجَعَلْنَٰكُمْ شُعُوبًا وَقَبَآئِلَ لِتَعَارَفُوٓا۟ ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ ٱللَّهِ أَتْقَىٰكُمْ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
Artinya: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”
Ayat ini menegaskan bahwa laki-laki dan perempuan lahir dari pasangan yang terdiri dari seorang laki-laki dan seorang perempuan. Karenanya ayat ini dapat dijadikan keterangan bagaimana penciptaan manusia di dalam al-Qur’an dan juga menjadi jawaban bahwa penciptaan perempuan dari tulang rusuk laki-laki tidak terdapat dalam al-Qur’an.
Setelah berpanjang mencari sumber dalam teks suci Islam mengenai asal mula kisah penciptaan perempuan yang dipercaya berasal dari tulang rusuk Adam, Sayyid Muhammad Rasyid Ridha menyampaikan kisah penciptaan Hawa ini berasal dari Perjanjian Lama (Kejadian II: 21-22), ketika Adam tertidur lelap, “… maka diambil oleh Allah sebilah tulang rusuknya, lalu ditutupkannya pula tempat itu dengan daging. Maka dari tulang yang telah dikeluarkan dari Adam itu dibuat Tuhan seorang perempuan.”
Komentar Rasyid Ridha mengenai keterangan penciptaan Hawa dalam Perjanjian Lama di atas, “seandainya tidak tercantum kisah kejadian Adam dan Hawa dalam Perjanjian Lama, seperti redaksi di atas, niscaya pendapat yang menyatakan bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk Adam tidak akan pernah terlintas dalam benak seorang muslim.”
Artinya, dalam Islam tidak pernah menyebut dan menegaskan seorang Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam. Pandangan mengenai penciptaan Hawa dari tulang rusuk Adam dengan jelas terdapat dalam Perjanjian Lama, bukan berasal dari al-Qur’an.
Lantas mengapa mufassir klasik memiliki pendapat yang berbeda dengan mufassir kontemporer? Hal demikian terjadi karena memang ada kisah-kisah israiliyyat—kisah penciptaan manusia dan alam, serta sejarah atau kisah yang terjadi pada zaman nabi terdahulu. Sehingga tidak menutup kemungkinan mufassir klasik terpengaruh oleh kisah israiliyyat.
Jika tidak ada pembaru dalam tafsir penciptaan perempuan, tentu kehadiran Islam yang mengusung prinsip-prinsip keadilan, kesetaraan, dan kemaslahatan menjadi tidak sesuai dan timpang sebelah, juga masih terkesan mengunggulkan manusia yang satu di atas yang lain.
Maka, berterima kasihlah kepada mereka yang amat menyadari semangat kesetaraan dan keadilan dalam Islam dan mari kita sepakati bahwa berpikir secara adil harus sejak dari teori penciptaan.
Wallahu’alam.
3 Comments