BincangMuslimah.Com – Sebaik-baiknya manusia adalah yang paling baik kepada keluarganya, dan sebaik-baiknya lelaki adalah yang paling baik kepada istrinya. Ini merupakan quote yang sangat revolusioner yang disabdakan Nabi Muhammad saw pada ratusan abad silam. Sejak saat itu perempuan diperlakukan lebih baik. Seperti diceritakan dalam riwayat Imam Bukhari berikut,
عن ابن عباس رضي الله عنهما قال عمر بن الخطاب رضي الله عنه: كنا في الجاهلية لانعد النساء شيئا فلمّا جاء الإسلام وذكر هن الله رأينا لهنّ بذلك علينا حقا
Dari Ibn Abbas, ia berkata, “Umar bin Khattab ra berkata; “Dahulu kami, pada masa jahiliyah, tidak memperhitungkan ide atau saran yang berasal dari perempuan sama sekali. Kemudian ketika Islam turun dan Allah mengakui mereka, kami memandang bahwa merekapun memiliki hak atas kami.” (HR. Bukhari)
Hadis di atas merupakan cuplikan dari hadis panjang tentang percakapan Ibn Abbas dan Umar bin Khattab dalam kitab Shahih Bukhari. Umar berkisah bahwa suatu ketika istrinya memberinya masukan dan saran, Umar berkata “Ketika menghadapi suatu persoalan yang hendak aku pertimbangkan, tiba-tiba isteriku berkata, ”Seandainya Anda berbuat seperti ini dan itu! ”
Maka kukatakan padanya, “Ada apa denganmu, kenapa turut campur, dan untuk apa campur tanganmu dalam persoalan yang aku inginkan?”
Isteriku menjawab, “Sungguh Engkau sangat aneh wahai Ibn Khattab! Apakah Anda tidak mau diajak berdiskusi padahal anak perempuanmu sendiri mengajak diskusi bersama Rasulullah Saw? ‘”
Kemudian Umar mengkroscek kepada Anaknya Hafsah, Umar bertanya, “Putriku, kamu biasa mendebat Rasulullah bahwan sampai ia gundah seharian?” Hafsar menjawab, ” Demi, Allah, kami semua bisa mendebatnya.”
Dalam keterangan lain masih dalam Shahih Bukhari, Umar mengatakan bahwasanya pada dahulu kala mayoritas kaum laki-laki dari suku Quraishlah yang paling dominan terhadap kaum perempuan. Namun ternyata setelah mereka hijrah ke Madinah mereka mendapati bahwa perempuan memiliki hak yang sama. Sehingga para perempuan dari kaum kami mulai mengikuti tatakrama yang menjadi kebiasaan kaum Anshar tersebut.
Menurut Ibn Asyur dalam at-Tahrir wa at-Tanwir, riwayat-riwayat tersebut menunjukkan bahwasanya pendudukan Makkah pada waktu itu lebih keras dalam memperlakukan perempuan daripada penduduk Madinah. Hal tersebut bisa jadi disebabkan karna penduduk Madinah berasal dari keturunan Yaman, dan Yaman merupakan bangsa yang memiliki peradaban lebih dahulu daripada Arab, sehingga mereka memiliki sikap yang lebih lembut dan beradap.
Tak heran jika Umar membahasakan sikap para kaum Anshar terhadap perempuan tersebut dengan kalimat al-‘adab yang berarti keindahan, sopan santun, dan tatakrama. Ibn Asyur berkata,
وَقَدْ سَمَّى عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ ذَلِكَ أَدَبًا فَقَالَ: فَطَفِقَ نِسَاؤُنَا يَأْخُذْنَ مِنْ أَدَبِ الْأَنْصَارِ.
Umar menamakan itu sebagai al-adab, ia berkata, “Para perempuan kami pun mulai meniru dan mengambil adab dan kebiasaan perempuan-perempuan Anshar.”
Ini menunjukkan bahwa perilaku diskriminasi terhadap perempuan adalah sisa tradisi jahiliyah, sementara simpatik, empatik, dan kerjasama adalah prinsip yang dibawa oleh Islam. Wallahu’alam.