BincangMuslimah.Com – Murtadha Muthahhari adalah seorang filsuf Islam atau failsuf yang membuat banyak buku. Beberapa bukunya membahas persoalan perempuan dalam Islam.
Pandangannya tentang perempuan tidak terlepas dari pemikirannya tentang filsafat manusia dan filsafat akhlak yang memang menjadi kunci dalam setiap pemikirannya.
Dalam salah satu buku yang berjudul Filsafat Perempuan dalam Islam: Hak Perempuan dan Relevansi Etika Sosial (2012), Muthahhari menuliskan bahwa Islam memIliki filosofi khusus yang berkaitan dengan hubungan dan hak-hak perempuan dan laki-laki dalam keluarga.
Filosofi Islam tentang perempuan dalam buku tersebut berbeda dengan filosofi yang berlaku empat belas abad silam dan tidak selaras pula dengan apa yang diterima di dunia pada saat ini.
Bagi Muthahhari, Islam sama sekali tidak memperdebatkan apakah perempuan dan laki-laki sama atau sebanding sebagai manusia atau tidak dan apakah hak-hak keluarga mesti sama nilainya dengan setiap anggota keluarga.
Tidak ada pertanyaan tentang kedudukan perempuan dan laki-laki sebab dalam Islam, perempuan dan laki-laki sudah memiliki kedudukan masing-masing di mana keduanya tidak berbeda.
Muthahhari mencatat bahwa menurut Islam, perempuan dan laki-laki adalah sama-sama manusia dan keduanya mendapatkan hak-hak yang sama, tidak berbeda, atau dalam kata lain bisa disebut sebagai makhluk yang sebanding.
Apa yang senantiasa menjadi perhatian dalam Islam adalah perempuan dan laki-laki berdasarkan fakta yang satu adalah perempuan, dan yang satunya lagi adalah laki-laki.
Perempuan dan laki-laki tidak identik antara yang satu dengan yang lainnya dalam banyak aspek. Bagi Muthahhari, dunia tidak persis sama bagi perempuan dan laki-laki.
Apa yang dihadapi perempuan dan laki-laki di dunia tidaklah sama. Maka, yang diperlukan tentu saja kesetaraan, bukan keseragaman. Tidak mungkin menyeragamkan keduanya.
Hal yang perlu digarisbawahi dari pemikiran Muthahhari dalam bagian ketiga buku ini yang bertajuk Status Manusiawi Perempuan dalam Alquran adalah bahwa esensi dan watak perempuan dan laki-laki tidak dimaksudkan untuk hal yang sama.
Ia lalu menambahkan bahwa di dunia Barat, ada upaya untuk menciptakan keseragaman dan keidentikan dalam undang-undang, regulasi, hak-hak, dan fungsi-fungsi antara perempuan dan laki-laki, seraya mengabaikan perbedaan alamiah dan bawaan.
Ada perbedaan alamiah dan bawaan yang tak bisa dinafikan dan ketika perbedaan tersebut dihadapkan pada realitas, ada benturan-benturan yang menimbulkan berbagai kompromi.
Ia menggarisbawahi bahwa di situlah letak perbedaan pandangan antara pandangan Islam dan pandangan Barat tentang kedudukan perempuan. Baginya, kesetaraan bukanlah keseragaman.
Dalam buku ini, ia juga mencatat bahwa pada zaman Eropa sebelum abad ke-20, perempuan secara legal maupun praktik kurang mendapatkan hak-hak sebagai manusia.
Sementara itu, dalam Islam, perempuan sudah mendapatkan haknya bahkan sejak lahir. Seperti yang kita ketahui bersama, Islam telah membebaskan kaum perempuan yang sebelumnya terbelenggu tradisi di masa Arab jahiliyah.
Ia menyatakan bahwa ketidaksamaan hak antara perempuan dan laki-laki mesti diperhatikan tidak hanya secara fisik atau yang kelihatan, tapi juga karakter esensial yang membentuk kepribadian keduanya.
Hal tersebut akan lebih selaras dengan keadilan dan dengan hak-hak alamiah. Hal tersebut juga akan menjamin kemauan positif dalam keluarga, dan menciptakan perkembangan masyarakat yang lebih baik.
Dari pemikiran Muthahhari, kita menemukan perbedaan signifikan antara filsafat Islam tentang perempuan dalam Islam dan pemikiran tentang perempuan dalam filsafat Barat.
Akan tetapi, alih-alih membandingkan keduanya, kecuali untuk kepentingan akademik, ada baiknya kita mengambil yang baik dan membuang yang buruk dari dua pemikiran tersebut.[]