Ikuti Kami

Kajian

Merebut Tafsir: Feminiskah Aisyah?

feminiskah aisyah

BincangMuslimah.Com – Belakangan ada diskusi kecil-kecilan menyangkut pertanyaan apakah Aisyah seorang feminis? Aisyah r.a., adalah perawi hadis Nabi paling terpercaya, salah seorang sahabat Nabi yang memberi kepastian sebagai salah satu mata rantai perawi yang menjamin bahwa suatu hadis benar-benar berasal dari Rasulullah.  Aisyah adalah istri Nabi dan karenanya memiliki legitimasi sebagai saksi tentang prilaku dan ucapan Nabi terhadap dirinya baik sebagai perempuan atau sebagai istri.

Di antara sekian banyak hadis-hadis yang sanadnya melalui Aisyah, tentu kita dapat mencari tahu soal prilaku Nabi kepada perempuan. Dari hadis Aisyah kita mendapatkan gambaran tentang sikap Nabi yang santun, tidak memaksa, mendengarkan, mengakomodasi pendapat pandangan dan bahkan protes kaum perempuan agar mengakhiri kekerasan suami terhadap istrinya. Atas “peran”nya itu, oleh kalangan feminis Muslim, Aisyah disebut-sebut sebagai seorang feminis.

Namun sekelompok perempuan lain (dan lelaki), tidak setuju dengan predikat itu. Argumennya, secara historis Aisyah (dan Islam) lahir abad ke 7, Islam berkembang menjadi sebuah peradaban unggul, sebelum jatuh dan masuk ke era kolonial. Islam telah lebih dulu menempatkan perempuan secara terhormat, setara dan adil jauh sebelum kalangan feminis Barat memperjuangkan keadilan bagi perempuan. Kalangan feminis baru bicara keadilan perempuan di penghujung abad 18, di abad 19 dan meluas di abad 20, sementara Aisyah telah lebih dulu di abad ke 7.

Alasan lain, agaknya terletak pada label feminis dan feminisme itu sendiri. Feminis (orangnya) atau feminisme ( cara pandang/ filsafat/ ideologinya) atau aksi/advokasi feminis (sebagai gerakan sosial, panduan aksi menuju perubahan agar lebih baik bagi perempuan), dianggap sebagai suatu gerakan anti kemapanan yang berpengaruh negatif kepada perempuan. Feminisme juga dianggap sebagai gerakan kebebasan dari Barat. Kata “Barat” dalam konteks feminisme sering mengandung stigma negatif ketimbang positif. Artinya, bisa dianggap bebas-bebasan yang kebablasan, atau dikelompokkan sebagai sekuler, anti agama serta anti keluarga.

Nyatanya feminisme memang sebuah gerakan pemikiran sekaligus gerakan sosial yang menggugat dan mengguncang tatanan norma keluarga dan norma sosial serta hubungan-hubungan yang telah mapan yang berlaku dalam sistem masyarakat patriarki (berpusat kepada lelaki). Sebab feminisme melihat secara kritis kemapanan hubungan-hubungan itu yang didalamya dapat mengandung pelanggengan posisi subordinat perempuan dengan alasan-alasan takhayul dan misoginis (membenci perempuan); perempuan berasal dari tulang rusuk lelaki (Adam), perempuan lemah fisik, mental dan ingatannya; perempuan kurang akalnya karena setiap bulan haid, perempuan sudah dimuliakan di rumah dan perumahan perempuan merupakan ketentuan Tuhan, perempuan sumber fitnah, atau anggapan perempuan tidak bisa amanah, perempuan tidak bisa memimpin, nilai perempuan separuh lelaki dan seterusnya.

Feminisme juga menyoal secara kritis hal-hal yang dianggap tak perlu lagi dibahas terkait hubungan -hubungan personal ( di dunia privat) atau hubungan sosial, politik ( di dunia publik) antara lelaki dan perempuan. Padahal tak sedikit hubungan-hubungan iu memunculkan ketidakadilan meskipun telah dikodifikasikan ke dalam sistem keyakinan agama baik dalam aqidah (keyakinan) maupun dalam sistem hukum ( fiqh utamanya dalam rumpun fiqh keluarga/ perdata – ahwal asy syahsiyah).

Baca Juga:  Lima Teladan yang Dapat Kita Pelajari dari Sayyidah Khadijah Istri Rasul

Hal ketiga yang membuat feminisme ditakuti adalah karena mereka dianggap anti keluarga.

Tapi apa dan bagaimana feminisme bekerja? Dalam pemahaman saya, sederhananya begini. Ketika seseorang atau sekelompok orang (bisa perempuan, atau lelaki tapi umumnya perempuan) mempertanyakan dengan KRITIS, mengapa (ada) perempuan mendapatkan hambatan untuk memperoleh hak-haknya secara adil dengan alasan karena dia perempuan sehingga dengan hilangnya hak-hak itu ia/ mereka mengalami penindasan, maka orang tersebut disebut separuh feminis.

Dikatakan baru separuh feminis, sebab, berbeda dari “isme” yang lain, feminisme adalah sebuah sistem berpikir (filsafat) atau cara pandang (perspektif) yang selalu mendialektikakannya dengan aksi untuk perubahan guna mengakhiri penindasan. Feminisme adalah satu kesatuan tindakan yang dimulai dari berpikir /bertanya secara kritis mengapa perempuan mengalami penindasan, dilanjutkan dengan aksi untuk mengakhiri penindasan itu. Demikianlah cara kerja feminis – bertanya-tanya, berpikir, membangun dan menguji teori tentang sebab musabab penindasan, dan melakukan aksi untuk mengakhirinya. Ketika melakukan AKSI inspirasinya bisa dari mana-mana. Feminis Muslim mengambilnya dari ajaran Islam.

Sebagai “isme” feminisme merupakan pemikiran modern. Ini menyangkut perempuan dan posisinya sebagai warga negara. Pemikiran dan aksi Feminisme lahir dalam lintasan sejarah masyarakat modern. Artinya feminisme berada dalam masyarakat yang telah memiliki aturan bernegara; aturan tentang hubungan rakyat dan negara, ada pemerintahan, ada rakyat, ada sistem parlemen dan ada sistem hukum dll yang berfungsi mengatur/ meregulasi. Masalahnya dalam cara mengatur itu perempuan sering tak dikalkulasi dengan ragam alasannya, antara lain alasan yang bersifat takhayul yang datang dari penafsiran manusia atas teks agama.

Berbeda dari sejarah lahir dan munculnya feminisme di Barat, di dunia berpenduduk Muslim seperti Indonesia, Mesir, India beberapa wilayah di Afrika Utara, feminisme lahir bersamaan dengan kesadaran dan perlawanan terhadap penindasan yang disebabkan oleh kolonialisme. Para feminis di Barat punya persoalannya sendiri. Meski penderitaannya bisa sama dengan perempuan di wilayah kolonial, namun akar masalahnya berbeda. Di Eropa, terkait soal diskriminasi dalam hak mendapatkan upah dan hak bersuara; di Amerika soal serupa sebagaiman di Eropa namun berakar dari diskriminasi berbasis warna kulit. Pokoknya kontekstual sekali.

Namun meskipun perempuan di Barat tak mengalami persoalan kolonialisme serupa perempuan di negara-negara berpenduduk Muslim, pengalaman perempuan dalam dunia kolonialimse dapat mereka resapi dan pelajari. Muncul kesadaran kritis bahwa penjajahan adalah kejahatan kemanusiaan. Mereka kemudian ikut melakukan perlawanan dengan menolak kolonialisme seperti yang dilakukan Estella (Stella) Zeehandelaar, seorang penganut feminis kerakyatan di Belanda. Ia mendukung perjuangan Kartini melawan aturan pembatasan bagi perempuan untuk meraih pendidikan bagi kaum perempuan. Perjuangan yang sama dilakukan kaum sosialis di Belanda yang membela hak-hak bagi lelaki kaum Bumi Putera untuk mengakses pendidikan hanya karena mereka bukan aristokrat dan bukan anak “pangreh praja” (birokrat).

Baca Juga:  Bolehkah Pelaksana Kurban Memakan Daging Kurbannya Sendiri?

Perempuan-perempuan di dunia jajahan menghadapi praktik diskriminasi berganda: dari penjajah mereka didiskriminasi dengan memperlakukan rendah kaum jajahannya (baik lelaki maupun perempuan), sementara dari sisi adat dan budaya perempuan mengalami pengekangan dengan alasan semata-mata karena perempuan dengan atribut-atribut (negatif) sebagai perempuan.

Jadi perjuangan kaum feminis adalah perjuangan bagi kaum perempuan agar mereka mendapatkan hak-haknya. Misalanya hak untuk lahir tanpa disesali hanya karena berkelamin perempuan, hak untuk tidak disunat dengan prasangka demi mengontrol libido seksnya, hak untuk tumbuh dengan mendapatkan gizi tanpa pilih kasih, hak untuk berpendidikan dan bersekolah tanpa restriksi, hak untuk mendapatkan informasi yang benar, hak untuk bersuara dan berpendapat dan didengar pendapatnya, hak mendapatkan kedudukan yang setara dalam ragam pekerjaan, hak untuk menolak dikawinkan secara paksa, hak untuk tidak mengalami kekerasan, hak untuk mendapatkan rasa aman di rumah, di komunitas dan di ruang umum/publik, termasuk tidak dilecehkan dalam cara mereka berpakaian (misalnya pakai hijab atau pakai baju di atas lutut), hak untuk tidak diperlakukan secara diskriminatif dengan alasan kelamin biologis dan kelamin sosialnya (gender) sebagai perempuan.

Bagi kaum feminis di negara-negara mayoritas Islam, mereka berjuang dengan agenda mereka sendiri: mengatasi buta huruf, menghentikan praktik sunat, kawin usia anak, mengatasi larangan keluar rumah setelah mencapai usia tertentu, menolak pemaksaan memakai pakaian berdasarkan aturan yang didakukan sebagai kewajiban mutlak, menolak pemasangan kontrasepsi di luar kepentingan tubuh dan kesehatannya, menolak larangan bersekolah dan larangan ikut ngaji di pesantren. Dalam sejarah pesantren, hanya baru 1924 perempuan di lingkungan pesantren boleh ikut ngaji kitab di luar baca Al Qurian.

Berkat RA Kartini, kita semua kaum perempuan secara historis mendapatkan kesempatan pendidikan. Dalam bentuk AKSI, gagasan emansipasi itu diteruskan oleh sejumlah tokoh pergerakan dan pendidikan seperti R.Dewi Sartika, Rohana Koedoes dll. Di Muhammadiyah dan NU, pintu pendidikan dibuka bagi perempuan. Bahkan mereka yang kini menolak feminisme pun menerima manfaat dari pejuangan para perintis persamaan hak dalam pendidikan bagi kaum perempuan.

Lalu bagaimana dengan Aisyah r.a.? Karena feminisme adalah pemikiran di era modern maka cara bacanya adalah “apa pengaruh Aisyah bagi feminisme di dunia Islam”?. Sebab di eranya feminisme memang jelas tidak (belum) ada, sebagaimana juga isme-isme yang lain yang berkembang di dunia Islam paska kolonial: Wahabisme, Salafisme, Sosialisme Arab dan sejumlah isme yang muncul dalam khazanah politik dunia Islam. Belakangan isme-isme itu berkembang dan menjadi ideologi dalam dunia modern yang ikut memandu umat Islam untuk keluar dari dunia penjajahan, kemiskinan atau kesulitan ekonomi, politik pada umumnya. Inspirasinya mungkin bercermin dari dua periode zaman Nabi yaitu periode Mekkah dan Madinah.

Baca Juga:  Belajar dari Fitnah yang Menimpa Sayyidah Aisyah  

Bagi kaum feminis Muslim mereka juga mengambil inspirasi dari ajaran agama Islam baik dari elemen tasawuf, sejarah politik kekuasaan maupun dari teks-teks suci seperti al Qur’an / tafsir, hadis dan dari kodifikasi hukum Islam (fiqh). Ini tak ada bedanya dengan mereka yang menolak feminisme dalam dunia Islam. Mereka juga mengambil inspirasi dari sumber-sumber ajaran Islam seperti Al Qur’an / tafsir, hadis dan kodifikasi hukum Islam yang mereka sebut Islam sebagai worldview.

Adapun Aisyah, atau sahabat Nabi yang lain atau Nabi Muhammad Saw sendiri, bagi kedua kelompok itu merupakan teks yang dibaca dan ditarfsirkan. Aisyah dan sejarah Nabi serta teks-teks keagamaan terutama Al-Quran dan Hadis menjadi sumber rujukan bagi mereka untuk menemukan ajaran, nilai, pedoman untuk menentukan apakah menerima atau menolak feminisme; apakah perempuan perlu diperjuangkan hak-haknya atau dibiarkannya tunduk pada ragam alasan yang menindasnya.

Selanjutnya tinggal bergantung kepada metodologi (manhaj) dalam mendekati rujukan/ teks itu. Bagi kalangan feminis, terutama yang menekuni kajian hadis dan sejarah Islam di periode awal, melihat Aisyah r.a. adalah sebagai teladan yang menunjukkan bahwa perempuan memiliki kedudukan yang sederajat dengan lelaki dalam menerima amanah sebagai perawi hadis. Aisyah adalah contoh perempuan yang bisa memimpin peperangan untuk menegakkan hal yang ia percayai sebagai kebenaran, Aisyah adalah teladan dalam menolak perkawinan paksa, Aisyah adalah inspirasi positif bagi kaum feminis Muslim yang meyakini perempuan berhak atas pendidikan dan untuk pintar seperti Aisyah.

Bekal yang dimiliki kaum feminis Muslim adalah keyakinan bahwa Allah meletakkan secara setara antara lelaki dan perempuan dan Allah menjanjikan pahala dan hukuman setimpal bagi lelaki atau perempuan. Namun melalui seperangkat metodologi dan tools yang dikembangkan dalam ilmu pengetahuan dan advokasi, kaum feminis Muslim memastikan bahwa sistem yang bekerja dalam negara tidak boleh diskriminatif berdasarkan prasangka jenis kelamin. Di sanalah konsep kepemihakan digunakan sebagai pijakan kesadaran kritis itu.

Jadi feminiskah Aisyah? Dengan pengertian disebutkan di atas, bagi saya, menyebut Aisyah bukan (sumber inspirasi) feminis merupakan sebuah pemahaman yang a-historis. Kenyataannya banyak yang memperjuangkan hak-hak perempuan sebagaimana diajarkan dalam prinsip agama Islam telah mengambil teladan dan inspirasi dari Aisyah r.a.

Rekomendasi

Ummu Habibah; Perempuan yang Dilamar Nabi dengan Mahar Sebanyak 400 Dinar Emas

Tiga Perempuan yang Pernah Rasulullah Ceraikan

Isyarat Pesan Q.S. Al-Baqarah Ayat 186 di Bulan Ramadan Isyarat Pesan Q.S. Al-Baqarah Ayat 186 di Bulan Ramadan

Tafsir Surah At-Tahrim Ayat 11: Teladan Perempuan Salihah

Shafiyah binti Huyay Teungku Fakinah Shafiyah binti Huyay Teungku Fakinah

Kisah Bulan Madu Rasul dengan Shafiyah binti Huyay

Ditulis oleh

Pakar Kajian Islam dan Gender

Komentari

Komentari

Terbaru

QS At-Taubah Ayat 103: Manfaat Zakat dalam Dimensi Sosial QS At-Taubah Ayat 103: Manfaat Zakat dalam Dimensi Sosial

QS At-Taubah Ayat 103: Manfaat Zakat dalam Dimensi Sosial

Kajian

Sedang Haid, Apa Tetap DiAnjurkan Mandi Sunnah Idulfitri Sedang Haid, Apa Tetap DiAnjurkan Mandi Sunnah Idulfitri

Sedang Haid, Apa Tetap DiAnjurkan Mandi Sunnah Idulfitri

Ibadah

Anjuran Saling Mendoakan dengan Doa Ini di Hari Raya Idul Fitri

Ibadah

Bolehkah Menggabungkan Salat Qada Subuh dan Salat Idulfitri? Bolehkah Menggabungkan Salat Qada Subuh dan Salat Idulfitri?

Bolehkah Menggabungkan Salat Qada Subuh dan Salat Idulfitri?

Ibadah

kisah fatimah idul fitri kisah fatimah idul fitri

Kisah Sayyidah Fatimah Merayakan Idul Fitri

Khazanah

Kesedihan Ramadan 58 Hijriah: Tahun Wafat Sayyidah Aisyah Kesedihan Ramadan 58 Hijriah: Tahun Wafat Sayyidah Aisyah

Kesedihan Ramadan 58 Hijriah: Tahun Wafat Sayyidah Aisyah

Muslimah Talk

Kapan Seorang Istri Dapat Keluar Rumah Tanpa Izin Suami? Kapan Seorang Istri Dapat Keluar Rumah Tanpa Izin Suami?

Ummu Mahjan: Reprentasi Peran Perempuan di Masjid pada Masa Nabi

Muslimah Talk

Puasa dalam Perspektif Kesehatan: Manfaat dan Penjelasannya Puasa dalam Perspektif Kesehatan: Manfaat dan Penjelasannya

Puasa dalam Perspektif Kesehatan: Manfaat dan Penjelasannya

Diari

Trending

Ini Tata Cara I’tikaf bagi Perempuan Istihadhah

Video

Ketentuan dan Syarat Iktikaf bagi Perempuan

Video

tips menghindari overthingking tips menghindari overthingking

Problematika Perempuan Saat Puasa Ramadhan (Bagian 3)

Ibadah

Tuan Guru KH Zainuddin Abdul Madjid Tuan Guru KH Zainuddin Abdul Madjid

Tuan Guru KH Zainuddin Abdul Madjid: Pelopor Pendidikan Perempuan dari NTB

Kajian

malam jumat atau lailatul qadar malam jumat atau lailatul qadar

Doa Lailatul Qadar yang Diajarkan Rasulullah pada Siti Aisyah

Ibadah

Anjuran Saling Mendoakan dengan Doa Ini di Hari Raya Idul Fitri

Ibadah

mengajarkan kesabaran anak berpuasa mengajarkan kesabaran anak berpuasa

Parenting Islami : Hukum Mengajarkan Puasa pada Anak Kecil yang Belum Baligh

Keluarga

Puasa Tapi Maksiat Terus, Apakah Puasa Batal?

Video

Connect