BincangMuslimah.Com- Pada masa Jahiliah, masyarakat Makkah memiliki satu budaya bahwa seorang ayah diperbolehkan membunuh anak perempuannya. Hal ini karena, mereka khawatir kelak anak perempuannya menikah dengan orang asing atau orang yang berkedudukan sosial rendah.
Histori Budaya Patriarki
Bukan hanya pada masa Jahiliah, pada zaman Romawi, nasib perempuan secara penuh berada di bawah kekuasaan ayahnya. Baru setelah perempuan menikah, kekuasaan itu secara otomatis berpindah kepada suaminya. Kekuasaan yang dimaksud adalah menjual perempuan, mengusir, menganiaya, dan membunuh. Lebih kejam lagi pada masyarakat Yunani Kuno bahwa mereka menganggap sosok perempuan sebagai tempat pelampiasan nafsu semata. Itulah mengapa, pembahasan tentang perempuan dan laki-laki selalu menjadi sorotan dan selalu hangat untuk diperbincangkan.
Dua histori di atas menunjukkan bahwa pada masa itu, memang tidak ada kesetaraan gender. Kedudukan laki-laki jauh lebih tinggi di atas kedudukan perempuan. Selain itu, adanya kesetaraan gender sebenarnya tergantung masyarakat suatu daerah. Kalau masyarakat menempatkan perempuan sebagai pemegang kekuasaan utama atau peran besar dalam masyarakat maka pastinya akan tercipta budaya Matriarki. Sebaliknya, jika masyarakat menempatkan laki-laki sebagai pemegang kekuasaan utama atau peran besar dalam masyarakat maka tentu akan terbentuk doktrin budaya Patriarki. Dengan kata lain, tergantung pada doktrin yang tersebar dalam masyarakat.
Di Indonesia sendiri, doktrin bahwa laki-laki dan perempuan setara masih dibilang kecil. Artinya, masih ada doktrin patriarki yang tersebar dalam masyarakat Indonesia. Kendati demikian, ada beberapa upaya yang dilakukan pemerintah untuk menghilangkan budaya patriarki ini, setidaknya ada dua upaya. Pertama, adanya Undang-Undang Republik Indonesia tahun 1945, pasal 28 ayat (2) yang menyatakan bahwa setiap orang bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.
Secara implisit, Undang-Undang tersebut juga menyatakan bahwa antara laki-laki dan perempuan setara, terutama di mata hukum negara. Kedua, Indonesia telah meratifikasi konvensi melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 Tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita. Konvensi itu diadakan oleh PBB dalam Convention on Commite on The Elimination of All Forms of Discrimination Againts Women (CEDAW) pada tahun 1979.
Mengubah Doktrin Berdasarkan Teori Imam Al-Ghazali
Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali ath-Thusi asy-Syafi’i. Itulah nama lengkap dari Imam Al-Ghazali. Selain seorang sufi beliau memiliki latar belakang seorang filsuf juga. Tetapi, di sisa usianya beliau lebih condong kepada sisi sufinya dari pada sisi filsufnya. Beliau diyakini sebagai ulama Mujaddid pada abad ke-5. Karya beliau banyak sekali, namun yang paling terkenal adalah kitab Ihya’ Ulumiddin dan kitab Tahafut al-Falasifah. Beliau wafat di daerah kelahirannya, yakni Thus pada tanggal 14 Jumadil Akhir tahun 505 Hijriah. Dari karya-karya beliau, bermunculan corak pemikiran Islam yang sangat cemerlang. Itulah mengapa kemudian, Imam Al-Ghazali mendapat julukan ‘Hujjah al-Islam’.
Sebagaimana yang telah penulis jelaskan sebelumnya bahwa persoalan kesetaraan gender adalah problem doktrin dalam masyarakat. Untuk itu, yang harus diubah adalah doktrin tersebut, yang awalnya laki-laki lebih tinggi kedudukannya daripada perempuan maka harus diubah menjadi perempuan dan laki-laki harus setara dalam segala aspeknya. Upaya mengubah doktrin ini penulis menggunakan teori Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya’ Ulumiddin, beliau menyatakan:
وَلَا يُعَالَجُ الشَّيْءُ إِلَّا بِضِدِّهِ
Artinya: “Suatu problem tak bisa diatasi kecuali dengan kebalikannya”.
Ketika seseorang sedang sakit semisal, maka obat adalah solusinya. Ketika seseorang malas belajar, maka solusinya adalah belajar. Sama halnya dengan pembahasan kali ini. Jika ingin menghilangkan doktrin bahwa ‘laki-laki lebih unggul daripada perempuan’ maka solusinya adalah mendoktrin balik bahwa ‘perempuan dan laki-laki adalah setara, tidak ada yang lebih unggul’.
Penjelasan Perempuan dan Laki-Laki Setara Dalam Al-Quran
Salah satu cara untuk mendoktrin bahwa ‘perempuan dan laki-laki setara’ adalah ayat Alquran surah An-Nahl, ayat 97, berikut ayatnya:
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِّنْ ذَكَرٍ اَوْ اُنْثٰى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهٗ حَيٰوةً طَيِّبَةًۚ وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ اَجْرَهُمْ بِاَحْسَنِ مَا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ
Artinya: “Siapa yang mengerjakan kebajikan, baik laki-laki maupun perempuan, sedangkan dia seorang mukmin, sungguh, Kami pasti akan berikan kepadanya kehidupan yang baik dan akan Kami beri balasan dengan pahala yang lebih baik daripada apa yang selalu mereka kerjakan”. Q.S. An-Nahl: 97.
Dalam kitab tafsir Al-Jami’ Al-Ahkam Al-Qur’an, Imam Al-Qurtubi menjelaskan maksud dari lafaz hayaatan thoyyibatan dengan tiga pendapat ulama. Pertama, maksud lafaz tersebut adalah rezeki yang halal. Kedua, maksud lafaz itu yakni kanaah (menerima atau rela). Ketiga, maksud lafaz hayaatan thoyyibatan yaitu Allah akan memberikan taufik (pertolongan) untuk selalu taat kepada-Nya. Dengan taat inilah kemudian akan memperoleh rida Allah SWT.
Ayat sekaligus tafsir di atas menunjukkan bahwa Allah sama sekali tidak membedakan antara laki-laki dan perempuan. Justru sebaliknya, Allah memandang laki-laki dan perempuan merupakan ciptaan-Nya yang setara, yang dipandang oleh Allah adalah amalnya. Selain itu, ayat di atas juga—sekali lagi—menjadi salah satu bahan untuk mendoktrin masyarakat kita agar memandang laki-laki dan perempuan setara dalam hal apapun.
Dengan doktrin di atas—ayat Alquran beserta tafsirnya—penulis sangat yakin akan membantu masyarakat dalam membangun doktrin baru, yakni laki-laki dan perempuan memiliki strata sosial yang sama. Ketika doktrin ini telah tertanam dalam pola pikir masyarakat maka tak perlu heran semisal kelak ada fatwa MUI—secara eksplisit—tentang laki-laki juga harus menjalani masa idah, sebagaimana perempuan.
Demikian penjelasan doktrin untuk menghilangkan budaya patriarki. Semoga bermanfaat. Wallahu A’lam.