BincangMuslimah.Com – Syaikhah Nunah Fatimah binti Al-Mutsanna merupakan sosok sufi perempuan yang menjadi guru tasawuf Ibnu Arabi. Nunah, begitu Ibnu Arabi mengenalnya. Beliau lahir di Cordoba Spanyol, kemudian beliau pindah ke Sevilla.
Seperti yang dituliskan Annemerie Schimmel dalam My Soul is a Women, beliau berjumpa dengan Ibnu Arabi yang diperkirakan masih berusia delapan tahun, ketika itu baru saja pindah dari Murcia pada tahun 568 H. Saat itu Syaikhah Nunah sudah berumur 90-an tahun.
Meskipun sudah tua dan renta, Ibnu Arabi menemukan pancaran sinar dari wajahnya yang begitu terang dan menakjubkan. Perjumpaan dengan Syaikhah Nunah ini menjadi salah satu inspirasi Ibnu Arabi dalam menulis kitab Tarjuman al-Asywaq.
Dalam buku Biografi Ibn Arabi Perjalanan Spiritual Mencari Tuhan Bersama Para Sufi yang ditulis oleh Yunus Masrukhin memberikan sebuah gambaran. Jika Ibnu Arabi lahir pada tahun 560 H, dan berjumpa Syaikhah Nunah berusia 8 tahun maka beliau diperkirakan berusia 95 tahun. Dengan demikian Syaikhah Nunah lahir sekitar sebelum tahun 500 H yaitu antara tahun 470-490 H.
Dalam karyanya yang berjudul Futuhat al-Makiyyah, Ibnu Arabi mengakui keberadaan Syaikhah Nunah Fatimah binti Al-Mutsanna. Ibnu Arabi menjelaskan bahwa dirinya pernah melayani seorang sufi perempuan yang telah berhasil mendapat makrifat ketuhanan dan cinta illahi saat berada di Sevilla. Perempuan tersebut adalah Syaikhah Nunah Fatimah binti Al-Mutsanna. Ibnu arabi juga mengakui bahwa ia melayani sang sufi selama bertahun-tahun.
Syaikhah Nunah merupakan sosok sufi mempunyai daya tarik dan karisma tersendiri yang selalu bersinar luar biasa. Kecantikan Syaikhah Nunah juga pernah disebut dalam Futuhat al-Makiyyah. Ibnu Arabi menuliskan “Sewaktu aku masih melayaninya, aku selalu malu untuk menatap parasnya.
Meskipun beliau sudah berusia tua, Syaikhah Nunah memiliki pipi merah merona dan meranum muda pesona kecantikan. Seolah-olah beliau masih seorang perawan remaja 14 tahun”. Hal ini dikarenakan kelembutan dan pesona kecantikan yang memancar darinya.
Dalam pandangan Ibnu Arabi, Syaikhah Nunah merupakan seorang yang zuhud. Dalam kesehariaannyaو beliau hanya memakan makanan yang sederhana. Beliau juga sosok yang penuh kesungguhan dalam mendalami ilmu pengetahuan dan keagamaan. Beliau mengajarkan bagaimana memelihara sikap yang baik untuk menjadi seorang pecinta illahi kepada muridnya yakni Ibnu Arabi. Beliau selalu menekankan bahwa sebuah kegagalan cinta hanya akan berakibat pada kemurungan yang dashyat. Beliau mengaku pernah mengalami hal ini yakni saat beliau ingin mendapatkan cinta illahi.
“Demi keagungan sang kekasih yang selalu bersamaku, ia adalah kekasih yang sangat pencemburu. Karena sifat sangat pencemburu-Nya aku tidak bisa menggambarkan-Nya. Sesaat saja berpaling dari-Nya dan memberati sesuatu sehingga aku tak menyadari kehadiran-Nya, maka kau mendapat cobaan yang sebanding dengan kelengahanku,” ungkap Syaikhah Nunah sebagaimana ditulis Ibnu Arabi dalam Futuhat al-Makiyyah.
Bagi Syaikhah Nunah seorang sufi merupakan mereka yang menyibukkan diri hanya untuk mengingat kekasih-Nya dan selalu menjaga kesetiaan terhadap-Nya. Dalm kehidupannya, beliau sangat menjunjung tinggi kemanusiaan. Syaikhah Nunah berhubungan dengan manusia tidak terbatas pada kepentingan yang bersifat duniawi saja. Sikap beliau ini menjadi contoh bagi para sufi yang hidup sezamannya, apalagi terkait dengan kesufian dan cinta illahi.
Syaikhah Nunah merupakan perempuan guru yang tidak hanya dihormati namun beliau merupakan sosok yang harus disayangi bagi Ibnu Arabi. Bahkan Ibnu Arabi membuatkan sebuah rumah terbuat dari pohon tebu yang ditempati Syaikhah Nunah hingga meninggal. Hal itu adalah salah satu bukti kasih sayang Ibnu Arabi kepada Syaikhah Nunah.
Syaikhah Nunah merupakan seorang guru yang berjasa dalam membentuk karakter Ibnu Arabi. Mulai dari tasawuf, ketuhanan dan cinta Tuhan. Beliau sosok yang agung sekaligus ibu kedua untuk Ibnu Arabi. Beliau telah mengajarkan dan memberikan pengayoman dalam pancaran cinta illahi dan memberikan pengetahuan ketuhanan.